Indonesia-Etiopia dalam Indonesia-Afrika
A
A
A
Al Busyra Basnur
Duta Besar RI untuk Etiopia, Djibouti, dan Uni Afrika
TANGGAL 30 Januari 2015, setelah tiga bulan dilantik (27 Oktober 2014), Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menginjakkan kaki di Addis Ababa, ibu kota Etiopia dalam rangka menghadiri dan berbicara di KTT Ke-24 Uni Afrika (UA) serta pertemuan bilateral dengan Etiopia. Kunjungan tersebut sangat penting dan bersejarah karena itulah kunjungan pertama menteri luar negeri Republik Indonesia ke Etiopia sejak Indonesia-Etiopia membuka hubungan diplomatik pada 1961. Menlu Retno juga merupakan menlu RI pertama hadir dalam KTT UA sejak Indonesia menjadi negara peninjau (sejak 2012 status Indonesia ditingkatkan menjadi permanent observer), sekaligus menunjukkan pentingnya Afrika dan komitmen Indonesia terhadap Afrika.
Kunjungan Menlu Retno itu serta-merta menyentakkan sekaligus meningkatkan kesadaran dan pemahaman banyak pihak tentang semakin pentingnya hubungan dan kerja sama bilateral Indonesia-Etiopia serta Indonesia-Uni Afrika ke depan. Pada kunjungan tersebut, Menlu Retno antara lain menandatangani MoU forum kerja sama bilateral Indonesia-Etiopia. Setelah kunjungan menlu RI, Etiopia membuka Kedutaan Besar Etiopia di Jakarta pada 2016—sebelumnya dirangkap oleh Kedutaan Besar Etiopia di Tokyo—dan pembukaan penerbangan Ethiopian Airlines, Addis Ababa - Jakarta pada Juli 2018.
Pejabat tinggi lain Indonesia yang telah berkunjung ke Etiopia adalah Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Wardana pada Mei 2013 dalam rangka HUT Ke-50 UA dan Wakil Menteri Luar Negeri RI AM Fachir pada Agustus 2018 dalam rangka meningkatkan hubungan dan kerja sama ekonomi.
Sementara itu, apabila dilihat kunjungan pejabat Etiopia ke Indonesia, pejabat Etiopia telah hadir di Indonesia jauh sebelum Indonesia-Etiopia membuka hubungan diplomatik (1961), yaitu menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KTT AA) di Bandung pada 18-24 April 1955. Pimpinan dan pejabat lain adalah Kaisar Haile Selassie (1968), Menteri Luar Negeri (2005), Menteri Negara Hubungan Luar Negeri (2011 dan 2015), Menteri BUMN (2016), Kepala National Election Board (2917), serta Komisioner Investasi Etiopia dan Wakil Menteri Luar Negeri (2018). Saling kunjung pejabat dua negara diperkirakan semakin meningkat ke depan sehubungan dengan telah disepakati Persetujuan Bebas Visa bagi pemegang paspor diplomatik dan dinas dua negara. Saat ini persetujuan bebas visa tersebut siap untuk ditandatangani.
Segera Bangkit
Masih ingat lagu We are the World yang ditulis antara lain oleh Michael Jackson dan Lionel Richie? Atau, lagu Ethiopia oleh Iwan Fals? Lagu itu lahir karena dan sekaligus menggambarkan Afrika, khususnya Etiopia, pada masa-masa sangat sulit pada 1980-1984 ketika bencana kelaparan dan kematian melanda negara itu. Hampir 1 juta orang diperkirakan meninggal dunia akibat bencana itu. Lagu We are the World menghasilkan USD144 juta bantuan kemanusiaan.
Setelah bencana besar itu, Etiopia segera bangkit. Bangsa Etiopia berjuang keras membangun kembali negeri mereka yang terpuruk dan sangat lemah. Mereka sadar, Etiopia adalah bangsa yang besar dan terhormat, mempunyai catatan sejarah terlengkap sebagai negara merdeka dan tertua di dunia. Wikipedia mencatat bahwa kekaisaran Etiopia atau Abyssinia adalah kerajaan yang berdiri pada 1270 SM sampai 1974 dan merupakan negara Afrika yang berhasil melawan kolonial di abad 19.
Perjuangan bangsa Etiopia membawa hasil menggembirakan, bahkan melebihi perkiraan. Meski tercatat sebagai negara miskin dengan in-come per kapita di bawah USD1.000, pada 2006-2017 pertumbuhan rata-rata ekonomi Etiopia 10,3%, bahkan pernah mencapai 11,5% setahun. Ini jauh di atas rata-rata negara-negara kawasan yang hanya 5,4%. Tahun ini pertumbuhan ekonomi Etiopia diperkirakan 8,5%, tetap tinggi dibandingkan dengan negara-negara sekawasan.
Menuju Afrika
Indonesia-Etiopia memiliki hubungan dan kerja sama yang erat dan bergerak maju di segala bidang, baik politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Dua negara memiliki posisi strategis di masing-masing kawasan dan menjadikan posisi strategis itu sebagai salah satu modal penting pengembangan kerja sama bilateral, regional, dan internasional. Terlebih di Addis Ababa bermarkas Uni Afrika dan berbagai lembaga serta organisasi internasional, sementara di Jakarta terdapat Sekretariat ASEAN dan juga berbagai organisasi dan lembaga internasional. Saat ini Indonesia satu-satunya negara ASEAN yang memiliki kedutaan besar di Addis Ababa yang dipimpin seorang duta besar.
"Kita ingin juga menjadikan Addis Ababa sebagai pusat kegiatan bagi langkah untuk memperkuat konektivitas antara Indonesia dengan wilayah Afrika lainnya, terutama di wilayah Afrika subsahara," kata Menlu Retno pada Indonesia Africa Forum (IAF), April 2018. Mengingat penting dan strategisnya peran Etiopia, beberapa pemerintah negara Afrika bahkan menyampaikan informasi mengenai kemungkinan menjadikan Addis Ababa sebagai pusat kegiatan pelayanan visa untuk negara-negara Afrika.
Beberapa kerja sama yang menonjol di bidang politik dengan Etiopia selama ini antara lain dukungan Etiopia terhadap Indonesia dalam keanggotaan Dewan HAM PBB (2007-2010) Executive Board WHO (2007-2010, DK-PBB (2007-2010), International Law Commission (2007-2011), International Civil Aviation Organization Categori III (2007-2010), DK-PBB (2019-2020).
Di bidang ekonomi, perdagangan Indonesia-Etiopia 2013-2017 naik rata-rata 2,66% dan terus mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahun. Indonesia mengalami surplus karena tingginya nilai ekspor produk utama Indonesia yaitu CPO, sabun, dan kertas. Produk lain Indonesia yang diekspor ke Etiopia adalah peralatan listrik, bahan kimia organik, tekstil, dan ban. Barang-barang lain yang berpeluang besar masuk ke pasar Etiopia di antaranya bahan bangunan, alat kesehatan, obat-obatan, furnitur, tekstil, dan alat pertanian. Saat ini terdapat lima perusahaan Indonesia yang beroperasi di Etiopia, yaitu PT Sinar Antjo, PT Indofood, PT Bukit Perak, PT Sumber Bintang Rejeki, dan Busana Apparels Group.
Memang, ada tantangan yang dihadapi Indonesia dan negara-negara lain dalam berdagang dengan Etiopia dan sebagian besar negara-negara Afrika. Tantangan itu antara lain pembayaran LC dalam nilai yang besar memerlukan waktu cukup lama karena saat ini Etiopia mengalami keterbatasan hard currency . Namun, pengusaha Indonesia yang melakukan perdagangan dengan Etiopia dapat mengatasi tantangan ini sehingga perdagangan Indonesia-Etiopia tercatat tetap tumbuh.
Etiopia saat ini membutuhkan investasi asing yang sangat besar, terutama di bidang tekstil dan garmen, agro industri, farmasi, dan alat kesehatan. Banyak negara ekonomi maju dan perusahaan asing saat ini berinvestasi di Etiopia, terutama China, Jepang, Korea, Turki, dan India.
Menurut World Investment Report, Etiopia adalah salah satu negara terbaik di Afrika dalam Foreign Direct Investment (FDI), meningkat 46% pada 2016. News Business Ethiopia pada Januari 2019 mencatat bahwa The Ethiopian Investment Commission (EIC) mengeluarkan 94 izin investasi asing dalam waktu lima bulan dengan nilai total 23,6 billion biir (mata uang Etiopia) atau setara USD843 juta. Dari Indonesia, beberapa perusahaan telah melakukan pertemuan dan penjajakan kerja sama ekonomi dan investasi di antaranya PT INKA, PT Dirgantara Indonesia (DI), dan PT WIKA, serta banyak perusahaan swasta lain. PT Maspion dan PT Sekar Laut juga sedang mempertimbangkan masuk ke Etiopia.
Di bidang sosial-budaya dan pendidikan tercatat antara lain sekitar 60 pelajar dan mahasiswa Etiopia telah mengikuti berbagai program beasiswa degree dan non-degree yang diberikan Pemerintah Indonesia. Pada 2019 ini tercatat sekitar 15 mahasiswa Etiopia mencalonkan diri untuk mengikuti beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB) yang proses penerimaannya sedang berlangsung oleh Kementerian Ristek, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI.
Sementara di bidang kerja sama teknik, pada 2011 Indonesia dan Etiopia menandatangani Kerja Sama Ekonomi dan Teknik mencakup pertanian, minyak dan mineral, investasi dan perdagangan, kebudayaan dan pariwisata, keluarga berencana dan pemberantasan kemiskinan, serta usaha kecil menengah.
Belum Tahu
Etiopia dengan penduduk 108 juta jiwa, kedua besar di Afrika, membuka peluang kerja sama sangat luas bagi Indonesia. Kerja sama tersebut tidak saja dalam kerangka bilateral, juga regional dan multilateral. Banyak masyarakat dunia, termasuk sebagian besar di Indonesia, yang belum tahu apalagi memahami dengan baik potensi, peluang, dan perkembangan terkini Etiopia terutama di bidang ekonomi, pembangunan, dan sosial-budaya. Namun, banyak pula masyarakat yang sudah mengerti dan memahami bahwa Etiopia adalah negara penting, besar, dan berkembang pesat, terutama di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Dr Abiy Ahmed.
Abiy Ahmed, 42, perdana menteri termuda di Afrika itu, telah melakukan reformasi besar-besaran di bidang politik dan ekonomi dalam tempo kurang 12 bulan kepemimpinannya. Saat ini ada lima kawasan industri di Etiopia untuk menarik investasi asing dan menyerap 45.000 tenaga kerja. Pada 2025 Etiopia akan memiliki 25 kawasan industri. Karena itu, tak heran Brooking dalam rubrik Africa in Focus pada 26 Maret 2019 menurunkan tulisan berjudul "Ethiopia: Africa’s Next Powerhouse?"
Duta Besar RI untuk Etiopia, Djibouti, dan Uni Afrika
TANGGAL 30 Januari 2015, setelah tiga bulan dilantik (27 Oktober 2014), Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menginjakkan kaki di Addis Ababa, ibu kota Etiopia dalam rangka menghadiri dan berbicara di KTT Ke-24 Uni Afrika (UA) serta pertemuan bilateral dengan Etiopia. Kunjungan tersebut sangat penting dan bersejarah karena itulah kunjungan pertama menteri luar negeri Republik Indonesia ke Etiopia sejak Indonesia-Etiopia membuka hubungan diplomatik pada 1961. Menlu Retno juga merupakan menlu RI pertama hadir dalam KTT UA sejak Indonesia menjadi negara peninjau (sejak 2012 status Indonesia ditingkatkan menjadi permanent observer), sekaligus menunjukkan pentingnya Afrika dan komitmen Indonesia terhadap Afrika.
Kunjungan Menlu Retno itu serta-merta menyentakkan sekaligus meningkatkan kesadaran dan pemahaman banyak pihak tentang semakin pentingnya hubungan dan kerja sama bilateral Indonesia-Etiopia serta Indonesia-Uni Afrika ke depan. Pada kunjungan tersebut, Menlu Retno antara lain menandatangani MoU forum kerja sama bilateral Indonesia-Etiopia. Setelah kunjungan menlu RI, Etiopia membuka Kedutaan Besar Etiopia di Jakarta pada 2016—sebelumnya dirangkap oleh Kedutaan Besar Etiopia di Tokyo—dan pembukaan penerbangan Ethiopian Airlines, Addis Ababa - Jakarta pada Juli 2018.
Pejabat tinggi lain Indonesia yang telah berkunjung ke Etiopia adalah Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Wardana pada Mei 2013 dalam rangka HUT Ke-50 UA dan Wakil Menteri Luar Negeri RI AM Fachir pada Agustus 2018 dalam rangka meningkatkan hubungan dan kerja sama ekonomi.
Sementara itu, apabila dilihat kunjungan pejabat Etiopia ke Indonesia, pejabat Etiopia telah hadir di Indonesia jauh sebelum Indonesia-Etiopia membuka hubungan diplomatik (1961), yaitu menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KTT AA) di Bandung pada 18-24 April 1955. Pimpinan dan pejabat lain adalah Kaisar Haile Selassie (1968), Menteri Luar Negeri (2005), Menteri Negara Hubungan Luar Negeri (2011 dan 2015), Menteri BUMN (2016), Kepala National Election Board (2917), serta Komisioner Investasi Etiopia dan Wakil Menteri Luar Negeri (2018). Saling kunjung pejabat dua negara diperkirakan semakin meningkat ke depan sehubungan dengan telah disepakati Persetujuan Bebas Visa bagi pemegang paspor diplomatik dan dinas dua negara. Saat ini persetujuan bebas visa tersebut siap untuk ditandatangani.
Segera Bangkit
Masih ingat lagu We are the World yang ditulis antara lain oleh Michael Jackson dan Lionel Richie? Atau, lagu Ethiopia oleh Iwan Fals? Lagu itu lahir karena dan sekaligus menggambarkan Afrika, khususnya Etiopia, pada masa-masa sangat sulit pada 1980-1984 ketika bencana kelaparan dan kematian melanda negara itu. Hampir 1 juta orang diperkirakan meninggal dunia akibat bencana itu. Lagu We are the World menghasilkan USD144 juta bantuan kemanusiaan.
Setelah bencana besar itu, Etiopia segera bangkit. Bangsa Etiopia berjuang keras membangun kembali negeri mereka yang terpuruk dan sangat lemah. Mereka sadar, Etiopia adalah bangsa yang besar dan terhormat, mempunyai catatan sejarah terlengkap sebagai negara merdeka dan tertua di dunia. Wikipedia mencatat bahwa kekaisaran Etiopia atau Abyssinia adalah kerajaan yang berdiri pada 1270 SM sampai 1974 dan merupakan negara Afrika yang berhasil melawan kolonial di abad 19.
Perjuangan bangsa Etiopia membawa hasil menggembirakan, bahkan melebihi perkiraan. Meski tercatat sebagai negara miskin dengan in-come per kapita di bawah USD1.000, pada 2006-2017 pertumbuhan rata-rata ekonomi Etiopia 10,3%, bahkan pernah mencapai 11,5% setahun. Ini jauh di atas rata-rata negara-negara kawasan yang hanya 5,4%. Tahun ini pertumbuhan ekonomi Etiopia diperkirakan 8,5%, tetap tinggi dibandingkan dengan negara-negara sekawasan.
Menuju Afrika
Indonesia-Etiopia memiliki hubungan dan kerja sama yang erat dan bergerak maju di segala bidang, baik politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Dua negara memiliki posisi strategis di masing-masing kawasan dan menjadikan posisi strategis itu sebagai salah satu modal penting pengembangan kerja sama bilateral, regional, dan internasional. Terlebih di Addis Ababa bermarkas Uni Afrika dan berbagai lembaga serta organisasi internasional, sementara di Jakarta terdapat Sekretariat ASEAN dan juga berbagai organisasi dan lembaga internasional. Saat ini Indonesia satu-satunya negara ASEAN yang memiliki kedutaan besar di Addis Ababa yang dipimpin seorang duta besar.
"Kita ingin juga menjadikan Addis Ababa sebagai pusat kegiatan bagi langkah untuk memperkuat konektivitas antara Indonesia dengan wilayah Afrika lainnya, terutama di wilayah Afrika subsahara," kata Menlu Retno pada Indonesia Africa Forum (IAF), April 2018. Mengingat penting dan strategisnya peran Etiopia, beberapa pemerintah negara Afrika bahkan menyampaikan informasi mengenai kemungkinan menjadikan Addis Ababa sebagai pusat kegiatan pelayanan visa untuk negara-negara Afrika.
Beberapa kerja sama yang menonjol di bidang politik dengan Etiopia selama ini antara lain dukungan Etiopia terhadap Indonesia dalam keanggotaan Dewan HAM PBB (2007-2010) Executive Board WHO (2007-2010, DK-PBB (2007-2010), International Law Commission (2007-2011), International Civil Aviation Organization Categori III (2007-2010), DK-PBB (2019-2020).
Di bidang ekonomi, perdagangan Indonesia-Etiopia 2013-2017 naik rata-rata 2,66% dan terus mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahun. Indonesia mengalami surplus karena tingginya nilai ekspor produk utama Indonesia yaitu CPO, sabun, dan kertas. Produk lain Indonesia yang diekspor ke Etiopia adalah peralatan listrik, bahan kimia organik, tekstil, dan ban. Barang-barang lain yang berpeluang besar masuk ke pasar Etiopia di antaranya bahan bangunan, alat kesehatan, obat-obatan, furnitur, tekstil, dan alat pertanian. Saat ini terdapat lima perusahaan Indonesia yang beroperasi di Etiopia, yaitu PT Sinar Antjo, PT Indofood, PT Bukit Perak, PT Sumber Bintang Rejeki, dan Busana Apparels Group.
Memang, ada tantangan yang dihadapi Indonesia dan negara-negara lain dalam berdagang dengan Etiopia dan sebagian besar negara-negara Afrika. Tantangan itu antara lain pembayaran LC dalam nilai yang besar memerlukan waktu cukup lama karena saat ini Etiopia mengalami keterbatasan hard currency . Namun, pengusaha Indonesia yang melakukan perdagangan dengan Etiopia dapat mengatasi tantangan ini sehingga perdagangan Indonesia-Etiopia tercatat tetap tumbuh.
Etiopia saat ini membutuhkan investasi asing yang sangat besar, terutama di bidang tekstil dan garmen, agro industri, farmasi, dan alat kesehatan. Banyak negara ekonomi maju dan perusahaan asing saat ini berinvestasi di Etiopia, terutama China, Jepang, Korea, Turki, dan India.
Menurut World Investment Report, Etiopia adalah salah satu negara terbaik di Afrika dalam Foreign Direct Investment (FDI), meningkat 46% pada 2016. News Business Ethiopia pada Januari 2019 mencatat bahwa The Ethiopian Investment Commission (EIC) mengeluarkan 94 izin investasi asing dalam waktu lima bulan dengan nilai total 23,6 billion biir (mata uang Etiopia) atau setara USD843 juta. Dari Indonesia, beberapa perusahaan telah melakukan pertemuan dan penjajakan kerja sama ekonomi dan investasi di antaranya PT INKA, PT Dirgantara Indonesia (DI), dan PT WIKA, serta banyak perusahaan swasta lain. PT Maspion dan PT Sekar Laut juga sedang mempertimbangkan masuk ke Etiopia.
Di bidang sosial-budaya dan pendidikan tercatat antara lain sekitar 60 pelajar dan mahasiswa Etiopia telah mengikuti berbagai program beasiswa degree dan non-degree yang diberikan Pemerintah Indonesia. Pada 2019 ini tercatat sekitar 15 mahasiswa Etiopia mencalonkan diri untuk mengikuti beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB) yang proses penerimaannya sedang berlangsung oleh Kementerian Ristek, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI.
Sementara di bidang kerja sama teknik, pada 2011 Indonesia dan Etiopia menandatangani Kerja Sama Ekonomi dan Teknik mencakup pertanian, minyak dan mineral, investasi dan perdagangan, kebudayaan dan pariwisata, keluarga berencana dan pemberantasan kemiskinan, serta usaha kecil menengah.
Belum Tahu
Etiopia dengan penduduk 108 juta jiwa, kedua besar di Afrika, membuka peluang kerja sama sangat luas bagi Indonesia. Kerja sama tersebut tidak saja dalam kerangka bilateral, juga regional dan multilateral. Banyak masyarakat dunia, termasuk sebagian besar di Indonesia, yang belum tahu apalagi memahami dengan baik potensi, peluang, dan perkembangan terkini Etiopia terutama di bidang ekonomi, pembangunan, dan sosial-budaya. Namun, banyak pula masyarakat yang sudah mengerti dan memahami bahwa Etiopia adalah negara penting, besar, dan berkembang pesat, terutama di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Dr Abiy Ahmed.
Abiy Ahmed, 42, perdana menteri termuda di Afrika itu, telah melakukan reformasi besar-besaran di bidang politik dan ekonomi dalam tempo kurang 12 bulan kepemimpinannya. Saat ini ada lima kawasan industri di Etiopia untuk menarik investasi asing dan menyerap 45.000 tenaga kerja. Pada 2025 Etiopia akan memiliki 25 kawasan industri. Karena itu, tak heran Brooking dalam rubrik Africa in Focus pada 26 Maret 2019 menurunkan tulisan berjudul "Ethiopia: Africa’s Next Powerhouse?"
(kri)