Rasio Pajak Masih Rendah, Benarkah?

Sabtu, 06 April 2019 - 06:22 WIB
Rasio Pajak Masih Rendah,...
Rasio Pajak Masih Rendah, Benarkah?
A A A
BENARKAH rasio pajak (tax ratio) Indonesia masih rendah akibat kebocoran pajak? Saat ini rasio pajak berada pada kisaran 10,3% dari produk domestik bruto (PDB). Padahal untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dibutuhkan rasio pajak 12,75% hingga 15% berdasarkan versi Dana Moneter Internasional (IMF).

Melihat peluang dan potensi yang dimiliki Indonesia untuk merealisasi tercapainya rasio pajak sekitar 15% dari PDB sangat terbuka. Namun faktanya masih jauh panggang dari api.

Jangankan mendongkrak rasio pajak, untuk mencapai target yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja sulit direalisasikan, termasuk tahun lalu target realisasi pajak tak tercapai. Meski demikian setiap tahun target pajak selalu dipatok lebih tinggi daripada tahun sebelumnya.

Lalu bagaimana caranya mengerek rasio pajak hingga menembus 15% dari PDB? Salah satu kunci utamanya adalah bagaimana menutup segera titik-titik kebocoran. Pengamat pajak Danny Darussalam menyebut lima titik kebocoran pajak yang harus ditambal.

Pertama, ekonomi yang tidak bisa terekam (shadow economy) karena berbagai hal, di antaranya ekonomi digital. PerĀ­soalan pajak ekonomi digital bukan hanya di Indonesia tetapi juga berbagai negara yang kesulitan memajaki akibatnya penerimaan pajak tidak optimal.

Kedua, kompetisi pajak (tax competition). Untuk menarik investasi sebanyak-banyaknya sejumlah negara menurunkan pajak. Kebijakan menurunkan pajak tidak masalah sepanjang dibarengi penguatan objek dan subjek pajak, guna menghindari anjloknya penerimaan pajak.

Ketiga, praktik penghindaran pajak caranya melalui perusahaan cangkang di negara tax heaven. Keempat, praktik penghindaran pajak dengan membawa keuntungan ke negara dengan tarif pajak yang rendah. Kelima, praktik pelaporan pajak yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Dibandingkan dengan rasio pajak negeri jiran Malaysia, Indonesia masih kalah. Rasio pajak Malaysia terhadap PDB sudah mencapai 15% dan Indonesia masih pada kisaran 10,3% pada tahun lalu. Pemerintah membenarkan rasio pajak tahun lalu sekitar 10,3% berasal dari total penerimaan perpajakan, yakni pajak dan bea cukai.

Apabila rasio pajak dihitung dengan memasukkan seluruh komponen pajak, baik di pusat maupun di daerah, atau meminjam istilah Yon Arsal rasio pajak dalam arti luas, angkanya berada pada kisaran 13% hingga 13,5% sehingga rentang angka rasio pajak dengan Malaysia tidak terlalu jauh.

Rasio pajak dalam arti luas menyangkut penerimaan pajak, bea cukai, PNBP, minyak dan gas (migas), sumber daya alam (SDA), dan pertambangan. Total penerimaan tersebut dibagi dengan PDB. Penerimaan pajak senantiasa mendapat perhatian serius karena pajak menjadi kontributor terbesar untuk terlaksananya pemĀ­bangunan nasional. Tengok saja, pajak berkontribusi sebesar 70% dari total penerimaan negara.

Adapun penerimaan negara melalui pajak hingga Februari 2019 telah mencapai 10,2% dari target pajak yang dipatok dalam APBN 2019 sebesar Rp1.577,6 triliun atau sebesar Rp160,84 triliun. Realisasi pajak berasal dari PPh 21 (pajak atas penghasilan berupa gaji) sebesar Rp24,48 triliun atau tumbuh 15,7%.

Menyusul PPh 22 impor sebesar Rp8,96 triliun atau tumbuh 4%, dan PPh OP sebesar Rp860 miliar atau tumbuh 28,2%. Selanjutnya PPh Badan menyumbang Rp 25,11 triliun atau tumbuh 40,4%. PPh Final sebesar Rp 17,48 triliun atau tumbuh 3,7%, PPN Impor sebesar Rp 26,89 triliun atau tumbuh 0,8%.

Sebaliknya, PPh 26 sebesar Rp4,9 triliun atau minus 26,6% dan PPN DN sebesar Rp29,18 triliun atau minus 18,3%. Dengan demikian untuk periode Maret hingga Desember 2019, DJP Kementerian Keuangan masih harus mengumpulkan pajak sebesar Rp1.416,7 triliun. Melihat kecenderungan penerimaan pajak yang bertumbuh pada awal tahun ini, pemerintah optimistis target realisasi pajak bisa terpenuhi.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5615 seconds (0.1#10.140)