Membidik Dukungan Warga Muhammadiyah dalam Pilpres
A
A
A
Arif Nurul Imam
Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting
Perhelatan pemilihan presiden tinggal menghitung hari. Perebutan ceruk suara untuk menggandakan dukungan terus dilakukan oleh kedua pasangan capres-cawapres melalui berbagai perangkat politiknya. Tak terkecuali ceruk suara ormas Muhammadiyah yang disebut-sebut memiliki anggota dan simpatisan puluhan juta.
Penetrasi kedua pasangan calon untuk merebut simpati dan dukungan warga Muhammadiyah memang tidak bisa dilakukan secara institusi. Hal ini karena sebagaimana disampaikan Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir, sikap organisasi secara tegas menyatakan tidak akan terlibat dalam politik praktis. Muhammadiyah memilih jalur high politik melalui jalur politik kebangsaan sekaligus menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik.
Tanwir pada 2002 di Denpasar yang menghasilkan "Khitah Muhammadiyah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara" memutuskan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak memiliki hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau organisasi mana pun.
Akan tetapi Muhammadiyah tetap menganggap penting perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi munkar di ranah politik praktis seperti di partai politik dan lembaga legislatif (low politic). Oleh sebab itu kader dan warga Muhammadiyah diberi kebebasan serta keleluasaan untuk mengekspresikan sikap dan pilihan politik serta terjun ke dalam politik praktis dengan syarat tidak memanfaatkan embel-embel dan simbol Muhammadiyah. Karena itu dalam menyalurkan aspirasi politik kader-kader Muhammadiyah nonparpol yang memiliki interes politik biasanya membentuk relawan guna menghimpun simpati dan dukungan warga Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai ormas raksasa tentu tidak akan lepas dari bidikan para capres-cawapres untuk mendapatkan dukungan jamaah dari ormas yang berdiri di Yogyakarta tersebut. Karena itu merebut dukungan warga Muhammadiyah bukan saja sebagai "keharusan", melainkan prasyarat wajib untuk meraih kemenangan.
Relawan
Relawan sebagai instrumen pemenangan, khususnya relawan yang menyasar ceruk suara warga Muhammadiyah, memang tidak bisa leluasa dan serampangan dalam mencari simpati dan dukungan warga Muhammadiyah. Hal ini karena selain dilarang organisasi, bisa jadi malah kontraproduktif karena akan muncul kesan "menunggangi" Muhammadiyah.
Relawan kubu Jokowi-Amin mengatasnamakan sebagai Relawan Indonesia Berkemajuan (RIB) yang digawangi tokoh-tokoh muda seperti Khairul Mutaqien, Ali Mutahirin, dan Mukhamad Khairul Huda. Sementara untuk relawan di kubu Prabowo-Sandi, kader-kader Muhammadiyah menghimpun diri dalam Aliansi Pencerah Indonesia (API) yang dimotori tokoh-tokoh muda seperti Izzul Muslimin, Pedri Kasman, Fikri Yasin, dan Makmun Murod Al Barbazy.
Kebetulan penulis pernah diundang menjadi narasumber di dua kubu relawan, baik relawan yang mendukung pasangan Jokowi-Amin maupun relawan yang mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Kedua kelompok relawan yang sama-sama diinisiasi oleh kader-kader Muhammadiyah itu tujuannya sama: mencari simpati dan dukungan warga Muhammadiyah agar mendukung pasangan calon capres-cawapresnya.
Membaca Arus Bawah
Untuk bisa mendapatkan dukungan warga Muhammadiyah, tentu relawan harus memahami karakter arus bawah atau jamaah Muhammadiyah. Pemahaman ini penting dan mutlak diperlukan, sebab ketiadaan pemahaman jenis pemilih Muhammadiyah akan berdampak kekeliruan dalam "tebar pesona" merebut hati dan simpati warga grass-root.
Menurut penelitian Malik (2018), pemilih Indonesia terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, pemilih emosional. Pemilih jenis ini merupakan pemilih yang memiliki ikatan emosional sangat kuat dengan identitas seperti paham ideologis, agama, dan budaya yang membentuk dirinya dari sejak kecil.
Kedua, pemilih rasional-emosional. Pemilih jenis ini memiliki kecenderungan akan diam ketika melihat isu yang bersifat agama, identitas, dan simbolik karena mereka membutuhkan waktu untuk melakukan verifikasi isu tersebut. Pemilih seperti ini mampu merasionalkan pilihan mereka, tetapi ketika menyangkut permasalahan ideologis, agama, dan etnik, mereka tidak sanggup memberikan argumentasi yang meyakinkan.
Ketiga, pemilih rasional adalah pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam membaca situasi politik. Pemilih jenis ini lebih condong mengukur rekam jejak, kinerja, dan komitmen politik sebagai preferensi politik dalam menyalurkan aspirasi politik.
Merujuk hasil penelitian di atas, jika melihat tipologi warga Muhammadiyah yang kerap disebut kelompok urban, terdidik, dan kelas menengah, kemungkinan besar mayoritas pemilih merupakan jenis pemilih rasional-emosional dan pemilih rasional.
Warga Muhammadiyah secara umum adalah pemilih yang menggunakan pertimbangan rasional sehingga kalkulasi rekam jejak kandidat serta visi-misi menjadi variabel penting sebagai pertimbangan memilih. Warga Muhammadiyah tidak mengenal taklid buta sehingga instruksi atau imbauan politik dari elite Muhammadiyah sangat kecil mereka gubris.
Karakter pemilih yang demikianlah yang harus dimengerti oleh relawan di dua kubu pasangan capres agar pola dan gaya pendekatan melalui kampanye yang digelar bisa efektif dalam meraup dukungan elektoral. Gaya-gaya kampanye yang mengedepankan simbol hampir dipastikan sekadar sebagai unjuk kekuatan belaka, tapi minus efek elektoral.
Karena itu, seberapa besar warga Muhammadiyah memberikan dukungan kepada pasangan capres-cawapres, di samping persolan branding dan karakter kandidat, tak kalah penting dan menentukan pula pendekatan kampanye dan kemampuan merasionalisasi para relawan pendukung capres dan cawapres yang menyasar ceruk massa organisasi yang didirikan oleh KH Akhmad Dahlan tersebut. Wallahu a’lam bisshawab
Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting
Perhelatan pemilihan presiden tinggal menghitung hari. Perebutan ceruk suara untuk menggandakan dukungan terus dilakukan oleh kedua pasangan capres-cawapres melalui berbagai perangkat politiknya. Tak terkecuali ceruk suara ormas Muhammadiyah yang disebut-sebut memiliki anggota dan simpatisan puluhan juta.
Penetrasi kedua pasangan calon untuk merebut simpati dan dukungan warga Muhammadiyah memang tidak bisa dilakukan secara institusi. Hal ini karena sebagaimana disampaikan Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir, sikap organisasi secara tegas menyatakan tidak akan terlibat dalam politik praktis. Muhammadiyah memilih jalur high politik melalui jalur politik kebangsaan sekaligus menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik.
Tanwir pada 2002 di Denpasar yang menghasilkan "Khitah Muhammadiyah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara" memutuskan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak memiliki hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau organisasi mana pun.
Akan tetapi Muhammadiyah tetap menganggap penting perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi munkar di ranah politik praktis seperti di partai politik dan lembaga legislatif (low politic). Oleh sebab itu kader dan warga Muhammadiyah diberi kebebasan serta keleluasaan untuk mengekspresikan sikap dan pilihan politik serta terjun ke dalam politik praktis dengan syarat tidak memanfaatkan embel-embel dan simbol Muhammadiyah. Karena itu dalam menyalurkan aspirasi politik kader-kader Muhammadiyah nonparpol yang memiliki interes politik biasanya membentuk relawan guna menghimpun simpati dan dukungan warga Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai ormas raksasa tentu tidak akan lepas dari bidikan para capres-cawapres untuk mendapatkan dukungan jamaah dari ormas yang berdiri di Yogyakarta tersebut. Karena itu merebut dukungan warga Muhammadiyah bukan saja sebagai "keharusan", melainkan prasyarat wajib untuk meraih kemenangan.
Relawan
Relawan sebagai instrumen pemenangan, khususnya relawan yang menyasar ceruk suara warga Muhammadiyah, memang tidak bisa leluasa dan serampangan dalam mencari simpati dan dukungan warga Muhammadiyah. Hal ini karena selain dilarang organisasi, bisa jadi malah kontraproduktif karena akan muncul kesan "menunggangi" Muhammadiyah.
Relawan kubu Jokowi-Amin mengatasnamakan sebagai Relawan Indonesia Berkemajuan (RIB) yang digawangi tokoh-tokoh muda seperti Khairul Mutaqien, Ali Mutahirin, dan Mukhamad Khairul Huda. Sementara untuk relawan di kubu Prabowo-Sandi, kader-kader Muhammadiyah menghimpun diri dalam Aliansi Pencerah Indonesia (API) yang dimotori tokoh-tokoh muda seperti Izzul Muslimin, Pedri Kasman, Fikri Yasin, dan Makmun Murod Al Barbazy.
Kebetulan penulis pernah diundang menjadi narasumber di dua kubu relawan, baik relawan yang mendukung pasangan Jokowi-Amin maupun relawan yang mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Kedua kelompok relawan yang sama-sama diinisiasi oleh kader-kader Muhammadiyah itu tujuannya sama: mencari simpati dan dukungan warga Muhammadiyah agar mendukung pasangan calon capres-cawapresnya.
Membaca Arus Bawah
Untuk bisa mendapatkan dukungan warga Muhammadiyah, tentu relawan harus memahami karakter arus bawah atau jamaah Muhammadiyah. Pemahaman ini penting dan mutlak diperlukan, sebab ketiadaan pemahaman jenis pemilih Muhammadiyah akan berdampak kekeliruan dalam "tebar pesona" merebut hati dan simpati warga grass-root.
Menurut penelitian Malik (2018), pemilih Indonesia terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, pemilih emosional. Pemilih jenis ini merupakan pemilih yang memiliki ikatan emosional sangat kuat dengan identitas seperti paham ideologis, agama, dan budaya yang membentuk dirinya dari sejak kecil.
Kedua, pemilih rasional-emosional. Pemilih jenis ini memiliki kecenderungan akan diam ketika melihat isu yang bersifat agama, identitas, dan simbolik karena mereka membutuhkan waktu untuk melakukan verifikasi isu tersebut. Pemilih seperti ini mampu merasionalkan pilihan mereka, tetapi ketika menyangkut permasalahan ideologis, agama, dan etnik, mereka tidak sanggup memberikan argumentasi yang meyakinkan.
Ketiga, pemilih rasional adalah pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam membaca situasi politik. Pemilih jenis ini lebih condong mengukur rekam jejak, kinerja, dan komitmen politik sebagai preferensi politik dalam menyalurkan aspirasi politik.
Merujuk hasil penelitian di atas, jika melihat tipologi warga Muhammadiyah yang kerap disebut kelompok urban, terdidik, dan kelas menengah, kemungkinan besar mayoritas pemilih merupakan jenis pemilih rasional-emosional dan pemilih rasional.
Warga Muhammadiyah secara umum adalah pemilih yang menggunakan pertimbangan rasional sehingga kalkulasi rekam jejak kandidat serta visi-misi menjadi variabel penting sebagai pertimbangan memilih. Warga Muhammadiyah tidak mengenal taklid buta sehingga instruksi atau imbauan politik dari elite Muhammadiyah sangat kecil mereka gubris.
Karakter pemilih yang demikianlah yang harus dimengerti oleh relawan di dua kubu pasangan capres agar pola dan gaya pendekatan melalui kampanye yang digelar bisa efektif dalam meraup dukungan elektoral. Gaya-gaya kampanye yang mengedepankan simbol hampir dipastikan sekadar sebagai unjuk kekuatan belaka, tapi minus efek elektoral.
Karena itu, seberapa besar warga Muhammadiyah memberikan dukungan kepada pasangan capres-cawapres, di samping persolan branding dan karakter kandidat, tak kalah penting dan menentukan pula pendekatan kampanye dan kemampuan merasionalisasi para relawan pendukung capres dan cawapres yang menyasar ceruk massa organisasi yang didirikan oleh KH Akhmad Dahlan tersebut. Wallahu a’lam bisshawab
(rhs)