Narasi Positif Komunikasi Politik
A
A
A
Dian HaeraniMahasiswi Program Doktoral Ilmu Komunikasi Sekolah Pascasarjana
Universitas Sahid Jakarta
PERSOALAN politik bukan hanya seputar lobi dan bagi-bagi kekuasaan. Ada instrumen yang paling menentukan dalam membangun narasi positif, yakni bagaimana menyampaikan gagasan dan ide. Komunikasi politik yang dimaksud bukan hanya aktivitas kehumasan partai politik, tapi lebih dari itu, yaitu membangun kesadaran publik tentang pentingnya menyampaikan gagasan politik serta ide demi kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Untuk mewujudkan politik adiluhung dibutuhkan upaya serius narasi politik yang positif dan sehat. Kepentingan politik yang sering kali memengaruhi roda pemerintahan suatu negara harus dipandang sebagai bagian demokrasi. Namun, jika kepentingan politik kelompok tertentu lebih dominan, maka itu akan merusak iklim demokrasi dan menghambat roda pemerintahan.
Sering kali kelompok kepentingan memainkan peran besar dalam perjalanan suatu negara. Demi memuluskan kepentingannya, kelompok ini bersimbiosis dengan rezim atau bahkan mereka melakukan tekanan. Menurut Thomas Tokan Pureklolon, kelompok kepentingan adalah setiap entitas yang berusaha memengaruhi kebijakan pemerintah. Kelompok kepentingan juga sejatinya tidak secara langsung menguasai pengelolaan pemerintah, namun melalui banyak celah yang mungkin dimasuki. Mereka bisa hadir dari kelompok elite pengusaha, agamawan, LSM, ataupun pimpinan partai politik.
Di Australia, kelompok kepentingan sering kali memainkan isu anti-imigrasi. Politik supremasi kulit putih sudah mendarah daging dalam benak sebagian politisi di negeri Kanguru itu. Kelompok yang hadir dari sayap kanan dengan beberapa politisi muncul ke permukaan, antara lain Frasser Anning, Pauline Hanson, Scott Morrison, dan Tony Abbot.
Ketakutan akan hadirnya imigran dan muslim dari benua lain melahirkan sikap anti-terhadap kelompok berbeda. Oleh sebab itu, mereka akan senantiasa mengukuhkan supremasi kelompok mereka dibandingkan yang lainnya. Komentar Frasser Anning yang menyalahkan muslim dalam peristiwa penembakan muslim di Masjid Christchurch, Selandia Baru, beberapa waktu lalu, menggambarkan bagaimana komunikasi politik lebih mengedepankan kepentingan supremasi kulit putih.
Meredam Narasi Negatif
Indonesia dipenuhi dengan berbagai kepentingan antarkelompok. Ini tidak mengherankan, mengingat Indonesia adalah negara besar yang terdiri dari berbagai kelompok agama, suku, ras, dan adat istiadat. Dalam sejarah perjuangan, para pendiri bangsa telah bersepakat pada nilai-nilai yang kemudian tertuang dalam UUD 1945, Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesepakatan ini lahir dari berbagai organisasi agama, kepentingan politik, beragam suku, dan bahasa.
Sayangnya, setelah merdeka lebih dari 70 tahun, kita tidak selalu mengacu pada spirit kesatuan dan persatuan para pendiri bangsa tersebut. Banyak elite partai politik, tokoh agama, tokoh LSM, ataupun pengusaha, yang memiliki kepentingan masing-masing. Perbedaan itu kian meruncing, khususnya jika menghadapi tahun-tahun pemilu.
Masing-masing kelompok memaksakan kepentingannya untuk merebut hegemoni dan kekuasaan. Hal itu tidak lepas karena mereka membawa kepentingan masing-masing yang sulit didapatkan titik temunya. Pemilihan umum yang seharusnya menjadi pesta demokrasi berubah menjadi ancaman negara karena panasnya suhu politik. Kontestan politik ikut memanaskan suasana karena mewabahnya hoaks, kampanye hitam, hingga serangan pembunuhan karakter.
Di media sosial, setiap hari bermunculan narasi-narasi negatif yang mengarah pada kampanye hitam. Bisa dibilang narasi politik di Pemilu 2019 ini dipenuhi dengan hasutan, kedengkian, bahkan politik identitas SARA. Istilah cebong dan kampret menjadi bukti tidak sehatnya politik komunikasi yang dibangun masing-masing kekuatan.
Hal ini tentu membutuhkan perhatian semua pihak agar Indonesia bisa kembali dirajut dalam persatuan bangsa dan negara. Publik harus diarahkan pada pendidikan politik yang benar dan sesuai dengan tujuan kita berbangsa dan bernegara. Elite politik harus menjadikan komunikasi politik dalam dimensi lebih strategis, yaitu membangun opini publik yang positif dan sehat dengan tujuan mencerdaskan publik tentang politik.
Komunikasi politik harus berangkat dari ideologi dan cita-cita nasional yang telah diletakkan oleh pendiri bangsa dan negara ini. Kita bisa melihat Amerika Serikat dan Eropa di mana nilai, ideal, dan karakter kebangsaan diletakkan sebagai warisan suci yang menjiwai serta menjadi napas perjalanan bangsa.
Declaration of Independence, The America Constitution, dan The Bill of Rights yang sarat dengan nilai, pesan moral, dan cita-cita bangsa Amerika. Begitu pula di Prancis, ada Liberte, egalite, dan fraternite, yang menjadi napas perjalanan bangsa Prancis menembus tantangan generasi demi generasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita memiliki Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, Pancasila, dan NKRI, yang semuanya sarat dengan nilai ideal sebagai sebuah bangsa dan negara. Seharusnya para politisi dan kelompok kepentingan menarasikan nilai-nilai itu kepada publik, khususnya pada tahun-tahun politik.
Era kebebasan saat ini membuat falsafah tersebut hilang dari ingatan publik. Narasi positif politik komunikasi sejatinya menjadikan civil society sebagai sebuah masyarakat yang otonom dan berdaya mendampingi pemerintah menjalankan roda pemerintahan. Jika semua pihak mau bergandengan tangan, meski berbeda pilihan politik, kelak akan lahir masyarakat madani yang menerapkan demokrasi mapan, yaitu masyarakat politik yang menghormati proses politik, menghargai hasil politik, terbuka, akuntabel, ada tatanan, check and balances, dan tentu menjadi kontrol sosial.
Universitas Sahid Jakarta
PERSOALAN politik bukan hanya seputar lobi dan bagi-bagi kekuasaan. Ada instrumen yang paling menentukan dalam membangun narasi positif, yakni bagaimana menyampaikan gagasan dan ide. Komunikasi politik yang dimaksud bukan hanya aktivitas kehumasan partai politik, tapi lebih dari itu, yaitu membangun kesadaran publik tentang pentingnya menyampaikan gagasan politik serta ide demi kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Untuk mewujudkan politik adiluhung dibutuhkan upaya serius narasi politik yang positif dan sehat. Kepentingan politik yang sering kali memengaruhi roda pemerintahan suatu negara harus dipandang sebagai bagian demokrasi. Namun, jika kepentingan politik kelompok tertentu lebih dominan, maka itu akan merusak iklim demokrasi dan menghambat roda pemerintahan.
Sering kali kelompok kepentingan memainkan peran besar dalam perjalanan suatu negara. Demi memuluskan kepentingannya, kelompok ini bersimbiosis dengan rezim atau bahkan mereka melakukan tekanan. Menurut Thomas Tokan Pureklolon, kelompok kepentingan adalah setiap entitas yang berusaha memengaruhi kebijakan pemerintah. Kelompok kepentingan juga sejatinya tidak secara langsung menguasai pengelolaan pemerintah, namun melalui banyak celah yang mungkin dimasuki. Mereka bisa hadir dari kelompok elite pengusaha, agamawan, LSM, ataupun pimpinan partai politik.
Di Australia, kelompok kepentingan sering kali memainkan isu anti-imigrasi. Politik supremasi kulit putih sudah mendarah daging dalam benak sebagian politisi di negeri Kanguru itu. Kelompok yang hadir dari sayap kanan dengan beberapa politisi muncul ke permukaan, antara lain Frasser Anning, Pauline Hanson, Scott Morrison, dan Tony Abbot.
Ketakutan akan hadirnya imigran dan muslim dari benua lain melahirkan sikap anti-terhadap kelompok berbeda. Oleh sebab itu, mereka akan senantiasa mengukuhkan supremasi kelompok mereka dibandingkan yang lainnya. Komentar Frasser Anning yang menyalahkan muslim dalam peristiwa penembakan muslim di Masjid Christchurch, Selandia Baru, beberapa waktu lalu, menggambarkan bagaimana komunikasi politik lebih mengedepankan kepentingan supremasi kulit putih.
Meredam Narasi Negatif
Indonesia dipenuhi dengan berbagai kepentingan antarkelompok. Ini tidak mengherankan, mengingat Indonesia adalah negara besar yang terdiri dari berbagai kelompok agama, suku, ras, dan adat istiadat. Dalam sejarah perjuangan, para pendiri bangsa telah bersepakat pada nilai-nilai yang kemudian tertuang dalam UUD 1945, Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesepakatan ini lahir dari berbagai organisasi agama, kepentingan politik, beragam suku, dan bahasa.
Sayangnya, setelah merdeka lebih dari 70 tahun, kita tidak selalu mengacu pada spirit kesatuan dan persatuan para pendiri bangsa tersebut. Banyak elite partai politik, tokoh agama, tokoh LSM, ataupun pengusaha, yang memiliki kepentingan masing-masing. Perbedaan itu kian meruncing, khususnya jika menghadapi tahun-tahun pemilu.
Masing-masing kelompok memaksakan kepentingannya untuk merebut hegemoni dan kekuasaan. Hal itu tidak lepas karena mereka membawa kepentingan masing-masing yang sulit didapatkan titik temunya. Pemilihan umum yang seharusnya menjadi pesta demokrasi berubah menjadi ancaman negara karena panasnya suhu politik. Kontestan politik ikut memanaskan suasana karena mewabahnya hoaks, kampanye hitam, hingga serangan pembunuhan karakter.
Di media sosial, setiap hari bermunculan narasi-narasi negatif yang mengarah pada kampanye hitam. Bisa dibilang narasi politik di Pemilu 2019 ini dipenuhi dengan hasutan, kedengkian, bahkan politik identitas SARA. Istilah cebong dan kampret menjadi bukti tidak sehatnya politik komunikasi yang dibangun masing-masing kekuatan.
Hal ini tentu membutuhkan perhatian semua pihak agar Indonesia bisa kembali dirajut dalam persatuan bangsa dan negara. Publik harus diarahkan pada pendidikan politik yang benar dan sesuai dengan tujuan kita berbangsa dan bernegara. Elite politik harus menjadikan komunikasi politik dalam dimensi lebih strategis, yaitu membangun opini publik yang positif dan sehat dengan tujuan mencerdaskan publik tentang politik.
Komunikasi politik harus berangkat dari ideologi dan cita-cita nasional yang telah diletakkan oleh pendiri bangsa dan negara ini. Kita bisa melihat Amerika Serikat dan Eropa di mana nilai, ideal, dan karakter kebangsaan diletakkan sebagai warisan suci yang menjiwai serta menjadi napas perjalanan bangsa.
Declaration of Independence, The America Constitution, dan The Bill of Rights yang sarat dengan nilai, pesan moral, dan cita-cita bangsa Amerika. Begitu pula di Prancis, ada Liberte, egalite, dan fraternite, yang menjadi napas perjalanan bangsa Prancis menembus tantangan generasi demi generasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita memiliki Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, Pancasila, dan NKRI, yang semuanya sarat dengan nilai ideal sebagai sebuah bangsa dan negara. Seharusnya para politisi dan kelompok kepentingan menarasikan nilai-nilai itu kepada publik, khususnya pada tahun-tahun politik.
Era kebebasan saat ini membuat falsafah tersebut hilang dari ingatan publik. Narasi positif politik komunikasi sejatinya menjadikan civil society sebagai sebuah masyarakat yang otonom dan berdaya mendampingi pemerintah menjalankan roda pemerintahan. Jika semua pihak mau bergandengan tangan, meski berbeda pilihan politik, kelak akan lahir masyarakat madani yang menerapkan demokrasi mapan, yaitu masyarakat politik yang menghormati proses politik, menghargai hasil politik, terbuka, akuntabel, ada tatanan, check and balances, dan tentu menjadi kontrol sosial.
(mhd)