Pertanyaan untuk Kandidat Presiden
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
PARA kandidat presiden 2019-2024 akan membicarakan topik hubungan internasional atau diplomasi pada akhir minggu ini. Ada beberapa hal yang perlu untuk dibicarakan dalam debat capres nanti.
Pertama adalah masalah Palestina. Masalah Palestina semakin hari semakin jauh dari harapan penyelesaian dan perdamaian. Amerika Serikat (AS) telah banyak melakukan langkah-langkah agresif dalam empat tahun terakhir terkait dengan dukungannya kepada Israel.
Salah satu keputusan penting yang mengubah peta relasi antarnegara adalah pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan yang terkini adalah pengakuan Dataran Golan di Suriah sebagai bagian dari kedaulatan Israel.
Langkah-langkah agresif AS dalam meningkatkan hubungan dengan Israel itu telah banyak dikecam oleh dunia termasuk oleh PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam Internasional, tetapi tidak ada yang berdampak kepada Israel. Masyarakat dunia selalu meminta Israel dan AS untuk menghormati keputusan-keputusan dan larangan-larangan yang dikeluarkan oleh PBB dan badan-badan yang terkait, seperti Dewan HAM.
Namun ironisnya, dunia juga berlindung di balik keputusan internasional itu untuk tidak mengambil langkah yang konkret yang bisa membawa posisi tawar Palestina ke tempat lebih tinggi.
Apa yang Indonesia akan lakukan untuk memecahkan kebuntuan tersebut? Indonesia telah banyak memberikan bantuan sosial dan ekonomi (rumah sakit, pelatihan pekerjaan, dan lain-lain) tetapi apakah kita memiliki strategi untuk meningkatkan posisi tawar Palestina secara politik agar dapat berdiri sejajar dengan Israel dan AS?Apa yang Indonesia lakukan seandainya terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB, sementara AS sendiri tidak lagi ada di sana? Indonesia saat ini dikabarkan sedang mempersiapkan diri untuk mengajukan lagi sebagai anggota Dewan HAM PBB.
Kedua adalah masalah Rohingya. Masalah Rohingya juga menghadapi situasi yang sama terutama di tingkat ASEAN. Indonesia percaya bahwa pendekatan dialogis akan lebih membuahkan hasil yang permanen dan berkelanjutan daripada dengan sanksi atau tekanan.
Kita mengakui bahwa Myanmar menjadi lebih terbuka ketika sanksi ekonomi terhadap negara itu dicabut dan tokoh oposisi seperti Aung San Suu Kyi dapat menduduki kursi Penasihat Negara Myanmar. Sebuah posisi penting yang mengawasi kinerja kabinet.
Namun demikian, struktur kekuasaan di Myanmar masih belum banyak berubah dari tuntutan awal, yaitu mendorong sistem politik Myanmar lebih terbuka dan partisipatif. Ironisnya, dicabutnya sanksi ekonomi di Myanmar justru lebih banyak dinikmati negara lain, termasuk negara anggota ASEAN untuk berinvestasi di Rakhine State. Investasi itu semestinya mendorong proses demokratisasi lebih lanjut tetapi pada kenyataannya justru menjauhkan solusi-solusi berbasis HAM di Myanmar.
Bagaimana Indonesia akan berperan dalam masalah ini? Bagaimana Indonesia menyelesaikan masalah Rohingya bersama negara-negara ASEAN yang juga berkepentingan meningkatkan investasi ke Rakhine State? Perubahan apa di tingkat ASEAN yang dapat dimainkan Indonesia agar masalah Rohingya dapat menjadi masalah bersama dengan solusi yang berkelanjutan dan tidak abai pada HAM?
Ketiga adalah masalah perang dagang dan kebijakan proteksionisme. Beberapa lembaga ekonomi meramalkan bahwa Indonesia dalam sepuluh tahun ke depan akan masuk menjadi jajaran elite negara dengan ekonomi terbesar di dunia. IMF meramalkan Indonesia menjadi 10 ekonomi terbesar pada 2023, Standar Chartered dan Pricewaterhouse Coopers menempatkan Indonesia di lima terbesar pada 2030, sementara Indonesia sendiri meyakini bisa mencapai posisi itu pada 2045.
Ramalan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perdagangan dunia berjalan normal. Ramalan tersebut mungkin bermakna positif bagi kita tetapi bagi negara lain, terutama AS dan Eropa, hal itu menjadi ancaman yang harus diantisipasi segera.
Artinya, mereka tidak akan tinggal diam melihat Indonesia atau India dapat menikmati manisnya surplus perdagangan sementara mereka yang harus menikmati pahitnya. AS telah menempatkan Indonesia saat ini sebagai negara ke-15 yang perlu dievaluasi karena telah menikmati surplus perdagangan dalam beberapa tahun belakangan ini.
AS mungkin akan menerapkan tarif perdagangan untuk produk unggulan mulai produk tekstil, alas kaki, hingga minyak kelapa sawit. Kita juga tahu bahwa sejumlah produk unggulan nonmigas Indonesia sudah mengalami tekanan keras dari Uni Eropa.
Apakah strategi Indonesia untuk mencegah menjadi sasaran perang dagang AS? Apakah Indonesia akan melakukan perlawanan sendiri atau akan mengajak koalisi dengan negara-negara lain?
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
PARA kandidat presiden 2019-2024 akan membicarakan topik hubungan internasional atau diplomasi pada akhir minggu ini. Ada beberapa hal yang perlu untuk dibicarakan dalam debat capres nanti.
Pertama adalah masalah Palestina. Masalah Palestina semakin hari semakin jauh dari harapan penyelesaian dan perdamaian. Amerika Serikat (AS) telah banyak melakukan langkah-langkah agresif dalam empat tahun terakhir terkait dengan dukungannya kepada Israel.
Salah satu keputusan penting yang mengubah peta relasi antarnegara adalah pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan yang terkini adalah pengakuan Dataran Golan di Suriah sebagai bagian dari kedaulatan Israel.
Langkah-langkah agresif AS dalam meningkatkan hubungan dengan Israel itu telah banyak dikecam oleh dunia termasuk oleh PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam Internasional, tetapi tidak ada yang berdampak kepada Israel. Masyarakat dunia selalu meminta Israel dan AS untuk menghormati keputusan-keputusan dan larangan-larangan yang dikeluarkan oleh PBB dan badan-badan yang terkait, seperti Dewan HAM.
Namun ironisnya, dunia juga berlindung di balik keputusan internasional itu untuk tidak mengambil langkah yang konkret yang bisa membawa posisi tawar Palestina ke tempat lebih tinggi.
Apa yang Indonesia akan lakukan untuk memecahkan kebuntuan tersebut? Indonesia telah banyak memberikan bantuan sosial dan ekonomi (rumah sakit, pelatihan pekerjaan, dan lain-lain) tetapi apakah kita memiliki strategi untuk meningkatkan posisi tawar Palestina secara politik agar dapat berdiri sejajar dengan Israel dan AS?Apa yang Indonesia lakukan seandainya terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB, sementara AS sendiri tidak lagi ada di sana? Indonesia saat ini dikabarkan sedang mempersiapkan diri untuk mengajukan lagi sebagai anggota Dewan HAM PBB.
Kedua adalah masalah Rohingya. Masalah Rohingya juga menghadapi situasi yang sama terutama di tingkat ASEAN. Indonesia percaya bahwa pendekatan dialogis akan lebih membuahkan hasil yang permanen dan berkelanjutan daripada dengan sanksi atau tekanan.
Kita mengakui bahwa Myanmar menjadi lebih terbuka ketika sanksi ekonomi terhadap negara itu dicabut dan tokoh oposisi seperti Aung San Suu Kyi dapat menduduki kursi Penasihat Negara Myanmar. Sebuah posisi penting yang mengawasi kinerja kabinet.
Namun demikian, struktur kekuasaan di Myanmar masih belum banyak berubah dari tuntutan awal, yaitu mendorong sistem politik Myanmar lebih terbuka dan partisipatif. Ironisnya, dicabutnya sanksi ekonomi di Myanmar justru lebih banyak dinikmati negara lain, termasuk negara anggota ASEAN untuk berinvestasi di Rakhine State. Investasi itu semestinya mendorong proses demokratisasi lebih lanjut tetapi pada kenyataannya justru menjauhkan solusi-solusi berbasis HAM di Myanmar.
Bagaimana Indonesia akan berperan dalam masalah ini? Bagaimana Indonesia menyelesaikan masalah Rohingya bersama negara-negara ASEAN yang juga berkepentingan meningkatkan investasi ke Rakhine State? Perubahan apa di tingkat ASEAN yang dapat dimainkan Indonesia agar masalah Rohingya dapat menjadi masalah bersama dengan solusi yang berkelanjutan dan tidak abai pada HAM?
Ketiga adalah masalah perang dagang dan kebijakan proteksionisme. Beberapa lembaga ekonomi meramalkan bahwa Indonesia dalam sepuluh tahun ke depan akan masuk menjadi jajaran elite negara dengan ekonomi terbesar di dunia. IMF meramalkan Indonesia menjadi 10 ekonomi terbesar pada 2023, Standar Chartered dan Pricewaterhouse Coopers menempatkan Indonesia di lima terbesar pada 2030, sementara Indonesia sendiri meyakini bisa mencapai posisi itu pada 2045.
Ramalan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perdagangan dunia berjalan normal. Ramalan tersebut mungkin bermakna positif bagi kita tetapi bagi negara lain, terutama AS dan Eropa, hal itu menjadi ancaman yang harus diantisipasi segera.
Artinya, mereka tidak akan tinggal diam melihat Indonesia atau India dapat menikmati manisnya surplus perdagangan sementara mereka yang harus menikmati pahitnya. AS telah menempatkan Indonesia saat ini sebagai negara ke-15 yang perlu dievaluasi karena telah menikmati surplus perdagangan dalam beberapa tahun belakangan ini.
AS mungkin akan menerapkan tarif perdagangan untuk produk unggulan mulai produk tekstil, alas kaki, hingga minyak kelapa sawit. Kita juga tahu bahwa sejumlah produk unggulan nonmigas Indonesia sudah mengalami tekanan keras dari Uni Eropa.
Apakah strategi Indonesia untuk mencegah menjadi sasaran perang dagang AS? Apakah Indonesia akan melakukan perlawanan sendiri atau akan mengajak koalisi dengan negara-negara lain?
(poe)