Rohingya Menangis, Rohingya Tragis

Jum'at, 22 Maret 2019 - 07:37 WIB
Rohingya Menangis, Rohingya Tragis
Rohingya Menangis, Rohingya Tragis
A A A
Faisal Ismail Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

NASIB mengenaskan sangat dirasakan oleh etnis Rohingya di Myanmar. Sebagai kelompok minoritas yang didiskriminasi dan terusir, mereka meninggalkan rumah dan harta benda dan mengungsi, ingin menyelamatkan diri dari persekusi dan diskriminasi yang dilakukan oleh rezim militer Myanmar. Rohingya adalah etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan, atau Rohang dalam bahasa Rohingya). Rohingya adalah etno-linguistik yang memiliki hubungan dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh. Etnis Rohingya berbeda dari mayoritas rakyat Myanmar yang Sino-Tibet.Sejarawan mencatat, migrasi etnis Rohingya dari Bengal ke Myanmar terjadi pada masa pemerintahan Inggris di Myanmar (Burma), kemudian pada masa setelah kemerdekaan Myamnar pada 1948, dan selama Perang Kemerdekaan Bangladesh pada 1971. Pada 2013 sekitar 1,3 juta warga etnis Rohingya menetap di Myanmar, mendiami Kota Rakhine Utara, dan merupakan 80-98% populasi. Kebanyakan etnis Rohingya adalah petani miskin.

Pemerintah militer Myanmar berlaku diskriminatif, bahkan bertindak keras, terhadap etnis Rohingya yang dianggap sebagai etnis pendatang dan warga negara kelas dua. Pada 2012 kerusuhan menyeruak di Rakhine, kemudian pada 2015 kerusuhan pecah lagi yang menyebabkan orang-orang Rohingya dalam jumlah besar melarikan diri dari tempat tinggal mereka dan menempuh perjalanan laut yang berbahaya ke beberapa negara Asia Tenggara. Selama 65 tahun terakhir pemerintahan militer Myanmar telah membunuh ribuan orang dari hampir semua minoritas di negara itu: Shans, Karens, Kachins, Karennis, Mon, Chin, dan kelompok-kelompok minoritas lain. Tapi, satu-satunya etnis yang mengalami genosida adalah Rohingya yang semuanya muslim.

Kewarganegaraan Rohingya Dicabut Kewarganegaraan Rohingya dicabut pada 1982. Undang-undang baru lainnya diberlakukan dengan melarang mereka bepergian tanpa izin resmi, melarang mereka memiliki tanah, dan pasangan yang baru menikah harus menandatangani sebuah komitmen untuk tidak punya lebih dari dua orang anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut Rohingya merupakan kelompok minoritas paling teraniaya di dunia.Pada Agustus 2017 tentara Myanmar melancarkan serangan balik yang sarat kekerasan setelah sekelompok kecil pemuda Rohingya yang disebut Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang beberapa pos keamanan yang menewaskan 12 orang polisi. ARSA bersenjatakan bubuk mesiu, senjata api, dan pedang buatan sendiri, namun Pemerintah Myanmar menuding serangan ARSA itu "disponsori" oleh teroris.

Serangan balik penuh kekerasan yang dilancarkan militer Myanmar itu mengakibatkan ratusan orang Rohingya tewas dan ratusan ribu lain melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh. Menurut data Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri ke Bangladesh setelah militer Myanmar melancarkan operasi sarat kekerasan di Rakhine. Akibatnya, para pengungsi mengalami krisis kemanusiaan yang sangat parah. Etnis Rohingya yang tersisa di Myanmar (diperkirakan lebih dari setengah juta) hampir semuanya berada di kamp pengungsian yang oleh Pemerintah Myanmar—dengan ungkapan bahasa yang halus tidak disebut "kamp konsentrasi."

Tinggal di kamp-kamp penampungan dengan bangunan yang amat bersahaja, pengungsi Rohingya di Bangladesh menghadapi berbagai kekurangan fasilitas, misalnya biaya hidup setiap hari, air bersih, obat-obatan, tempat MCK (mandi, cuci, kakus), dll. Lingkungan tidak sehat ini menyebabkan para pengungsi rentan terkena penyakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sedikitnya 832 pengungsi Rohingya di kamp pengungsian di Cox's Bazar terkena penyakit cacar. Untuk mengatasi mewabahnya penyakit cacar air ini, mitra-mitra kesehatan yang dipimpin Kementerian Kesehatan Bangladesh dan WHO mulai melakukan upaya pengobatan dan pencegahan. Kewalahan menangani pengungsi Rohingya, Pemerintah Bangladesh akan merelokasi sebagian mereka ke pulau kecil.

Suu Kyi dan Krisis Rohingya

Tiga belas peraih Nobel Perdamaian dan sepuluh tokoh mengirim surat terbuka ke Dewan Keamanan PBB yang isinya mengkritik Aung San Suu Kyi dalam menangani kekerasan terhadap etnis Rohingya dan mengingatkan dia tentang tragedi pemusnahan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Di antara peraih Nobel Perdamaian yang menandatangani surat terbuka itu adalah Uskup Desmond Tutu, Malala Yousafzai, Jose Ramos Horta, Tawakul Karman, Shirin Ebadi, dan Betty Williams.Adapun tokoh yang melakukan hal yang sama adalah Emma Bonino, Arianna Huffington, Sir Richard Branson, dan Paul Polman. Dalam surat terbuka itu, para peraih Nobel Perdamaian dan tokoh itu menyatakan serangan militer Myanmar telah membunuh ratusan orang termasuk anak-anak, pemerkosaan terhadap perempuan, pembakaran rumah, dan penangkapan warga sipil secara semena-mena. Akses organisasi bantuan kemanusiaan hampir sepenuhnya ditolak, dan tindakan ini menciptakan krisis kemanusiaan sangat mengenaskan.

Amnesty International mencabut gelar Duta Hati Nurani yang diberikan kepada Aung San Suu Kyi karena dia dianggap membiarkan pembunuhan massal yang dilakukan rezim militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. Organisasi hak asasi manusia (HAM) yang berbasis di London itu mengatakan, penghargaan HAM tertinggi tersebut diberikan kepada Suu Kyi pada 2009 saat ia masih menjadi tahanan rumah rezim militer di negaranya.

Sebelumnya US Holocaust Memorial Museum juga mencabut Wiesel Award yang mereka berikan kepada Suu Kyi pada 2012. Suu Kyi juga kehilangan penghargaan Freedom of the City of Oxford, yang diberikan kepadanya pada 1997 karena perannya melakukan "oposisi terhadap opresi dan kepemimpinan militer di Myanmar." Tetapi, Panitia Nobel Perdamaian Norwegia mengonfirmasi penghargaan yang diberikan kepada Suu Kyi tidak akan dicabut.

Petinggi militer Myanmar dituding harus bertanggung jawab atas terjadinya genosida etnis Rohingya. Pada 2017 Pengadilan Internasional memvonis pemerintah Myanmar terbukti bersalah melakukan genosida terhadap etnis Rohingya dan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis-etnis minoritas lain.Sementara itu, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) membuat terobosan diplomatik dengan mengadopsi resolusi untuk menggugat pemerintah Myanmar di Pengadilan Internasional mengenai hak hukum etnis Rohingya. Resolusi ini dicapai dalam sesi final pertemuan ke-46 Dewan Menteri Luar Negeri OKI di Abu Dhabi (Maret 2019).Dari perspektif hukum, langkah OKI ini tepat. Kita tunggu hasilnya dan berharap hasilnya tentu yang terbaik bagi etnis Rohingya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4526 seconds (0.1#10.140)