Sengkarut Pemilihan Rektor di Kemenag
A
A
A
Zezen Zaenal Mutaqin Dosen UIN Jakarta,
Mahasiswa Doktoral UCLA Law School, Amerika Serikat
TAK banyak yang tahu, sejak dua atau tiga tahun lalu terjadi “tsunami” kelembagaan di lingkungan perguruan tinggi Islam negeri (UIN/IAIN) di bawah naungan Kementerian Agama. Penyebabnya adalah berlakunya Peraturan Kementerian Agama (PMA) Nomor 68/2015 di mana rektor perguruan tinggi negeri di bawah Kementerian Agama dipilih, diangkat, dan ditetapkan menteri (Pasal 5-8). Berdasar PMA itu, menteri punya hak prerogatif 100% mengangkat dan menetapkan rektor.
Memang berdasar peraturan itu menteri harus mengangkat anggota tim penyeleksi. Namun tim penyeleksi sepenuhnya juga diangkat menteri. Lebih lanjut, tim seleksi ini tidak pula punya kewenangan selain merekomendasikan tiga nama calon. Pada akhirnya menteri yang sepenuhnya berwenang memilih dan mengangkat rektor. Meski tim seleksi menentukan seseorang, misalnya, menteri bisa menentukan nama lain di tikungan terakhir karena lobi-lobi, tekanan, bahkan ancaman. Ini kasus yang terjadi dalam pemilihan rektor UIN Malang dan Jakarta, setidaknya dari informasi yang beredar.
Akal-akalan Aturan
Kekuasaan di mana pun cenderung membawa pemegangnya pada korupsi (power tends to corrupt). Kasus makelar jabatan (trading of influence) di Kementrian Agama yang menjerat Ketua Umum PPP Romahurmuziy (kini telah mengundurkan diri) adalah indikasi kuat bahwa kekuasaan dan kewenangan yang dimonopoli akan sangat rentan terjerumus pada kesewenang-wenangan dan korupsi.
Saya tidak tahu apa latar belakang pasti penetapan peraturan menteri yang sangat janggal ini. Dilihat dari sudut apa pun, orang yang berakal sehat mestinya menolak peraturan menteri ini. Universitas harus menjadi benteng independensi, kreativitas, keterbukaan, dan kejujuran yang bisa berfungsi sebagai penyeimbang demokrasi. Jika rektor sudah sepenuhnya dipilih menteri, yang dikhawatirkan adalah beralihnya fungsi universitas menjadi tak lebih dari kepanjangan tangan rezim.
Memang di media masa mengemuka alasan kenapa peraturan ini lahir. Depolitisasi kampus adalah salah satu alasan yang disampaikan. Menurut argumen ini, pemilihan lewat senat selalu membuat kampus terpolarisasi antara yang menang dan yang kalah. Kelanjutannya, yang menang cenderung tidak mengakomodasi yang kalah.
Meskipun alasan itu memiliki unsur kebenaran, alasan tersebut lemah setidaknya dilihat dari dua hal. Pertama, bukankah pemilihan lewat menteri juga sangat politis? Bahkan lebih politis karena magnitudo dan wilayah politisnya semakin lebar. Jika dulu para calon rektor hanya berkonsolidasi di tingkat senat di universitas, sekarang calon rektor, para anggota Dewan, pejabat di Kementerian Agama, ormas keagamaan turut terlibat dalam lobi-lobi.
Membawa pemilihan rektor ke tangan menteri sama dengan menjerumuskan kampus dalam kancah politik yang lebih luas. Ujungnya siapa yang paling kuat lobi kepada menteri, paling dekat dengan menteri, itulah yang paling berpeluang menjabat. Jika Anda satu organisasi, satu ormas atau satu partai politik dengan menteri, peluang Anda semakin besar untuk menjadi rektor. Alih-alih mendepolitisasi kampus, pengangkatan rektor oleh menteri malah menjerumuskan kampus ke dalam kancah spektrum politik dan nepotisme yang lebih luas.
Kedua, meski pemilihan senat di kampus melibatkan lobi politik di tingkat lokal, sependek pengetahuan saya, tidak pernah terjadi kasus the winner take s all. Selalu saja ada sharing and distribution of power. Jika yang menjadi rektor kelompok kuning, dipastikan komposisinya: dua wakil rektor dari kelompok kuning, satu dari kelompok hitam, dan satu dari kelompok pink.
Dalam praktiknya, rektor yang sepenuhnya diangkat menteri pun pasti akan mementingkan kelompok atau aktor yang membantunya dalam lobi-lobi untuk meyakinkan menteri. Lebih berbahaya lagi, dalam beberapa kasus banyak rektor yang “dicomot” menteri dari luar kampus setempat tidak mengakar dan mengerti dinamika kampus yang dipimpinnya. Akibatnya warga kampus secara keseluruhan dirugikan.
Sangat sulit mencari alasan rasional dan manfaat nyata dari model pemilihan dan pengangkatan rektor oleh menteri.
Kembalikan Fungsi Senat
Pemilihan rektor dan dekan oleh senat membuat kekuasaan tersebar dan saling mengontrol satu sama lain. Saya memimpikan bahwa dekan fakultas juga kembali dipilih oleh senat dengan tujuan mengurangi potensi “korup” rektor karena akumulasi kewenangannya. Praktik ini berjalan sebelumnya selama bertahun-tahun sebelum kemudian diubah entah karena alasan apa.
Senat adalah penyeimbang paling baik karena bersifat kolektif. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui jenjang karier akademik sampai mencapai posisi guru besar. Meski tidak lepas sepenuhnya dari kepentingan, mereka adalah para senior dan pemimpin kampus dari beragam latar belakang keilmuan. Mereka telah melalui proses panjang untuk mencapai posisi itu. Pemilihan kolektif oleh senat yang mengerti betul persoalan kampus setempat adalah cara paling bijak dan rasional.
Jikapun menteri ingin mengambil peran dan porsi dalam pemilihan rektor, juga dengan asas power control, mengambil alih sepenuhnya kewenangan pengangkatan rektor dari wewenang senat itu tak lebih dari perampokan kewenangan yang berpotensi terjerumus pada tindakan sewenang-wenang. Jika ingin memiliki hak suara, porsi 20% adalah yang paling wajar.
Inilah saat terbaik semua orang memikirkan kemaslahatan pendidikan kita yang sudah terpuruk jauh. Mencabut PMA 68/2015 dan mengembalikan fungsi senat adalah upaya kecil yang bisa dilakukan untuk mengembalikan fungsi lembaga pendidikan.
Mahasiswa Doktoral UCLA Law School, Amerika Serikat
TAK banyak yang tahu, sejak dua atau tiga tahun lalu terjadi “tsunami” kelembagaan di lingkungan perguruan tinggi Islam negeri (UIN/IAIN) di bawah naungan Kementerian Agama. Penyebabnya adalah berlakunya Peraturan Kementerian Agama (PMA) Nomor 68/2015 di mana rektor perguruan tinggi negeri di bawah Kementerian Agama dipilih, diangkat, dan ditetapkan menteri (Pasal 5-8). Berdasar PMA itu, menteri punya hak prerogatif 100% mengangkat dan menetapkan rektor.
Memang berdasar peraturan itu menteri harus mengangkat anggota tim penyeleksi. Namun tim penyeleksi sepenuhnya juga diangkat menteri. Lebih lanjut, tim seleksi ini tidak pula punya kewenangan selain merekomendasikan tiga nama calon. Pada akhirnya menteri yang sepenuhnya berwenang memilih dan mengangkat rektor. Meski tim seleksi menentukan seseorang, misalnya, menteri bisa menentukan nama lain di tikungan terakhir karena lobi-lobi, tekanan, bahkan ancaman. Ini kasus yang terjadi dalam pemilihan rektor UIN Malang dan Jakarta, setidaknya dari informasi yang beredar.
Akal-akalan Aturan
Kekuasaan di mana pun cenderung membawa pemegangnya pada korupsi (power tends to corrupt). Kasus makelar jabatan (trading of influence) di Kementrian Agama yang menjerat Ketua Umum PPP Romahurmuziy (kini telah mengundurkan diri) adalah indikasi kuat bahwa kekuasaan dan kewenangan yang dimonopoli akan sangat rentan terjerumus pada kesewenang-wenangan dan korupsi.
Saya tidak tahu apa latar belakang pasti penetapan peraturan menteri yang sangat janggal ini. Dilihat dari sudut apa pun, orang yang berakal sehat mestinya menolak peraturan menteri ini. Universitas harus menjadi benteng independensi, kreativitas, keterbukaan, dan kejujuran yang bisa berfungsi sebagai penyeimbang demokrasi. Jika rektor sudah sepenuhnya dipilih menteri, yang dikhawatirkan adalah beralihnya fungsi universitas menjadi tak lebih dari kepanjangan tangan rezim.
Memang di media masa mengemuka alasan kenapa peraturan ini lahir. Depolitisasi kampus adalah salah satu alasan yang disampaikan. Menurut argumen ini, pemilihan lewat senat selalu membuat kampus terpolarisasi antara yang menang dan yang kalah. Kelanjutannya, yang menang cenderung tidak mengakomodasi yang kalah.
Meskipun alasan itu memiliki unsur kebenaran, alasan tersebut lemah setidaknya dilihat dari dua hal. Pertama, bukankah pemilihan lewat menteri juga sangat politis? Bahkan lebih politis karena magnitudo dan wilayah politisnya semakin lebar. Jika dulu para calon rektor hanya berkonsolidasi di tingkat senat di universitas, sekarang calon rektor, para anggota Dewan, pejabat di Kementerian Agama, ormas keagamaan turut terlibat dalam lobi-lobi.
Membawa pemilihan rektor ke tangan menteri sama dengan menjerumuskan kampus dalam kancah politik yang lebih luas. Ujungnya siapa yang paling kuat lobi kepada menteri, paling dekat dengan menteri, itulah yang paling berpeluang menjabat. Jika Anda satu organisasi, satu ormas atau satu partai politik dengan menteri, peluang Anda semakin besar untuk menjadi rektor. Alih-alih mendepolitisasi kampus, pengangkatan rektor oleh menteri malah menjerumuskan kampus ke dalam kancah spektrum politik dan nepotisme yang lebih luas.
Kedua, meski pemilihan senat di kampus melibatkan lobi politik di tingkat lokal, sependek pengetahuan saya, tidak pernah terjadi kasus the winner take s all. Selalu saja ada sharing and distribution of power. Jika yang menjadi rektor kelompok kuning, dipastikan komposisinya: dua wakil rektor dari kelompok kuning, satu dari kelompok hitam, dan satu dari kelompok pink.
Dalam praktiknya, rektor yang sepenuhnya diangkat menteri pun pasti akan mementingkan kelompok atau aktor yang membantunya dalam lobi-lobi untuk meyakinkan menteri. Lebih berbahaya lagi, dalam beberapa kasus banyak rektor yang “dicomot” menteri dari luar kampus setempat tidak mengakar dan mengerti dinamika kampus yang dipimpinnya. Akibatnya warga kampus secara keseluruhan dirugikan.
Sangat sulit mencari alasan rasional dan manfaat nyata dari model pemilihan dan pengangkatan rektor oleh menteri.
Kembalikan Fungsi Senat
Pemilihan rektor dan dekan oleh senat membuat kekuasaan tersebar dan saling mengontrol satu sama lain. Saya memimpikan bahwa dekan fakultas juga kembali dipilih oleh senat dengan tujuan mengurangi potensi “korup” rektor karena akumulasi kewenangannya. Praktik ini berjalan sebelumnya selama bertahun-tahun sebelum kemudian diubah entah karena alasan apa.
Senat adalah penyeimbang paling baik karena bersifat kolektif. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui jenjang karier akademik sampai mencapai posisi guru besar. Meski tidak lepas sepenuhnya dari kepentingan, mereka adalah para senior dan pemimpin kampus dari beragam latar belakang keilmuan. Mereka telah melalui proses panjang untuk mencapai posisi itu. Pemilihan kolektif oleh senat yang mengerti betul persoalan kampus setempat adalah cara paling bijak dan rasional.
Jikapun menteri ingin mengambil peran dan porsi dalam pemilihan rektor, juga dengan asas power control, mengambil alih sepenuhnya kewenangan pengangkatan rektor dari wewenang senat itu tak lebih dari perampokan kewenangan yang berpotensi terjerumus pada tindakan sewenang-wenang. Jika ingin memiliki hak suara, porsi 20% adalah yang paling wajar.
Inilah saat terbaik semua orang memikirkan kemaslahatan pendidikan kita yang sudah terpuruk jauh. Mencabut PMA 68/2015 dan mengembalikan fungsi senat adalah upaya kecil yang bisa dilakukan untuk mengembalikan fungsi lembaga pendidikan.
(kri)