Sengkarut Pemilihan Rektor di Kemenag

Jum'at, 22 Maret 2019 - 07:06 WIB
Sengkarut Pemilihan Rektor di Kemenag
Sengkarut Pemilihan Rektor di Kemenag
A A A
Zezen Zaenal Mutaqin Dosen UIN Jakarta,

Mahasiswa Doktoral UCLA Law School, Amerika Serikat

TAK banyak yang ta­hu, sejak dua atau tiga tahun lalu ter­jadi “tsunami” ke­lem­bagaan di lingkungan per­gu­­ruan tinggi Islam negeri (UIN/IAIN) di bawah naungan Kementerian Agama. Pe­nye­bab­nya adalah berlakunya Per­aturan Kementerian Agama (PMA) Nomor 68/2015 di ma­na rektor perguruan tinggi ne­ge­ri di bawah Kementerian Aga­ma dipilih, diangkat, dan dite­ta­pkan menteri (Pasal 5-8). Ber­da­sar PMA itu, menteri punya hak prerogatif 100% mengang­kat dan menetapkan rektor.

Memang berdasar per­atur­an itu menteri harus meng­ang­kat anggota tim penyeleksi. Na­mun tim penyeleksi se­pe­nuh­nya juga diangkat menteri. Le­bih lanjut, tim seleksi ini tidak pula punya kewenangan selain mere­ko­men­dasikan tiga nama calon. Pada akhirnya menteri yang se­penuhnya berwenang memilih dan mengangkat rek­tor. Meski tim seleksi me­nen­tu­kan se­se­orang, misalnya, men­teri bisa me­nentukan nama lain di ti­kungan terakhir karena lobi-lobi, tekanan, bahkan an­caman. Ini kasus yang terjadi da­lam pe­milihan rektor UIN Malang dan Jakarta, seti­dak­nya dari in­for­masi yang ber­edar.

Akal-akalan Aturan

Kekuasaan di mana pun cen­­derung membawa pe­me­gang­­nya pada korupsi (power tends to corrupt). Kasus makelar jabatan (trading of influence) di Ke­men­trian Agama yang men­je­rat Ke­tua Umum PPP Ro­ma­hurmuziy (kini telah me­ng­un­durkan diri) adalah indikasi kuat bahwa ke­kuasaan dan ke­wenangan yang dimonopoli akan sangat ren­tan terjerumus pada kese­wenang-wenangan dan korupsi.

Saya tidak tahu apa latar be­lakang pasti penetapan per­aturan menteri yang sangat jang­gal ini. Dilihat dari sudut apa pun, orang yang berakal se­hat mestinya menolak per­atur­an menteri ini. Universitas ha­rus menjadi benteng in­de­pen­densi, kreativitas, keter­bu­ka­an, dan kejujuran yang bisa ber­fungsi sebagai penyeimbang de­mokrasi. Jika rektor sudah se­penuhnya dipilih menteri, yang dikhawatirkan adalah ber­­alih­nya fungsi universitas men­jadi tak lebih dari kepan­ja­ngan ta­ngan rezim.

Memang di media masa me­ngemuka alasan kenapa per­atur­an ini lahir. Depolitisasi kam­pus adalah salah satu alas­an yang disampaikan. Menurut ar­gu­men ini, pemilihan lewat se­nat se­lalu membuat kampus ter­­po­la­risasi antara yang me­nang dan yang kalah. Ke­lan­ju­tannya, yang menang cen­de­rung tidak me­ng­ako­modasi yang kalah.

Meskipun alasan itu me­mi­liki unsur kebenaran, alasan ter­sebut lemah setidaknya di­lihat dari dua hal. Pertama, bu­kankah pemilihan lewat men­teri juga sa­ngat politis? Bahkan lebih po­li­tis karena magnitudo dan wi­layah politisnya semakin le­bar. Jika dulu para calon rek­tor ha­nya berkonsolidasi di ting­kat se­nat di universitas, se­karang ca­lon rektor, para ang­gota De­wan, pejabat di Ke­men­terian Aga­ma, ormas ke­aga­ma­an tu­rut terlibat dalam lobi-lobi.

Membawa pemilihan rektor ke tangan menteri sama dengan menjerumuskan kampus da­lam kancah politik yang lebih luas. Ujungnya siapa yang pa­ling kuat lobi kepada menteri, pa­ling de­kat dengan menteri, itulah yang paling berpeluang men­jabat. Jika Anda satu or­ga­nisasi, satu ormas atau satu partai po­li­tik dengan menteri, peluang Anda semakin besar untuk men­jadi rektor. Alih-alih men­de­politisasi kampus, pe­ng­ang­katan rektor oleh menteri ma­lah men­je­ru­mus­kan kam­pus ke dalam kan­cah spektrum po­litik dan ne­po­tisme yang lebih luas.

Kedua, meski pemilihan se­nat di kampus melibatkan lobi politik di tingkat lokal, se­pen­dek pengetahuan saya, tidak pernah terjadi kasus the winner take s all. Selalu saja ada sharing and dis­tri­bution of power. Jika yang men­ja­di rektor kelompok kuning, di­pas­tikan kom­po­si­si­nya: dua w­a­kil rektor dari ke­lompok kuning, satu dari ke­lom­pok hitam, dan satu dari ke­lompok pink.

Dalam praktiknya, rektor yang sepenuhnya diangkat men­teri pun pasti akan me­me­n­tingkan kelompok atau aktor yang membantunya dalam lobi-lobi untuk meyakinkan men­teri. Lebih berbahaya lagi, da­lam beberapa kasus banyak rek­tor yang “dicomot” menteri dari luar kampus setempat tidak me­ngakar dan mengerti di­na­mika kampus yang di­pim­pin­nya. Aki­batnya warga kam­pus secara keseluruhan di­ru­gikan.

Sangat sulit mencari alasan ra­­sio­nal dan manfaat nyata dari mo­­del pemilihan dan peng­ang­katan rektor oleh menteri.

Kembalikan Fungsi Senat

Pemilihan rektor dan dekan oleh senat membuat kekua­sa­an tersebar dan saling me­ngon­trol satu sama lain. Saya me­mim­pi­kan bahwa dekan fa­kul­tas juga kembali dipilih oleh senat de­ngan tujuan me­ngu­rangi po­ten­si “korup” rektor karena aku­mulasi kewe­na­ngan­nya. Prak­tik ini berjalan se­belumnya se­la­ma bertahun-ta­hun sebelum kemudian di­ubah entah karena alasan apa.

Senat adalah penyeimbang paling baik karena bersifat ko­lektif. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui jen­jang karier akademik sampai men­ca­pai posisi guru besar. Meski ti­dak lepas sepenuhnya dari ke­pen­ti­ngan, mereka ada­lah para senior dan pemimpin kampus dari be­ragam latar be­la­kang ke­il­muan. Mereka telah melalui pro­ses pan­jang un­tuk mencapai posisi itu. Pemilihan kolektif oleh se­nat yang me­ngerti betul per­so­al­an kampus se­tempat adalah cara paling bijak dan rasional.

Jikapun menteri ingin me­ngambil peran dan porsi dalam pemilihan rektor, juga dengan asas power control, mengambil alih sepenuhnya kewenangan pengangkatan rektor dari we­we­nang senat itu tak lebih dari perampokan kewenangan yang berpotensi terjerumus pada tin­dakan sewenang-wenang. Jika ingin memiliki hak suara, porsi 20% adalah yang paling wajar.

Inilah saat terbaik semua orang memikirkan kema­s­la­hat­an pendidikan kita yang sudah terpuruk jauh. Men­ca­but PMA 68/2015 dan me­ngem­balikan fungsi senat ada­lah upaya kecil yang bisa di­la­kukan untuk me­ngembalikan fungsi lembaga pendidikan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3379 seconds (0.1#10.140)