Christchurch dan Solidaritas Global
A
A
A
Abdul Halim
Analis Geopolitik dan Diplomasi Internasional;
Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity, Jakarta
DUNIA berduka setelah 50 orang dinyatakan meninggal dunia dan 46 orang lainnya mengalami cedera akibat tragedi penembakan yang terjadi di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood Avenue, Christchurch, pada Jumat (15/3) siang. Tak lama berselang, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern bereaksi dan menyebut, “Serangan ini adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Inilah aksi terorisme sesungguhnya dan mereka tidak memiliki tempat di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keragaman, kebaikan, dan kasih sayang ini.”
Di dalam keterangan pers PM Ardern yang dimuat di laman Beehive.govt.nz diketahui bahwa mayoritas korban penembakan di dua masjid yang terletak di pusat Kota Christchurch ini adalah masyarakat pengungsi dan imigran yang telah menetap di negeri yang berlokasi di barat daya Samudra Pasifik tersebut. Pertanyaannya, kenapa mereka menjadi sasaran penembakan oleh Brendon Tarrant?
Seperti diketahui, sebelum melakukan aksi ekstremnya, Tarrant mengunggah manifesto berjudul The Great Replacement setebal 73 halaman. Di dalam dokumen ini dia menuliskan kekhawatirannya atas apa yang dia sebut sebagai genosida kulit putih (white genocide).Apa yang melatarbelakangi tudingan ini? Tarrant menengarai masifnya gelombang pengungsi dan imigran memasuki daratan Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru menjadi penyebab kian terusirnya penduduk asli. Dengan mengutip proyeksi populasi negara-negara Barat di Wikipedia.org, dia mengatakan bahwa ancaman terusirnya suku asli oleh kian membesarnya jumlah pengungsi dan imigran bakal terjadi pada 2100.
Tak hanya itu, adanya kebutuhan terhadap tenaga kerja murah, perluasan pasar produk, dan peningkatan pajak turut mendorong hadirnya ratusan ribu pengungsi dan imigran ke negara-negara Barat. Tarrant menyampaikan sinyalir adanya keterlibatan negara dan perusahaan multinasional dalam upaya penghilangan suku asli ini. Sejumlah faktor inilah yang melatarbelakangi aksi terorisme Tarrant di Christchurch.
Dalam ungkapan Slavoj Zizek, apa yang dilakukan oleh Tarrant adalah imbas dari dilema ideologis (ideological blackmail) yang tengah dialami oleh negara-negara Barat. Hal ini dipicu oleh konflik politik sumber daya alam yang mereka ciptakan di Afghanistan, Irak, dan belakangan Suriah.Tak pelak, aksi ini mendorong lahirnya krisis pengungsi. UNHCR (Juni 2016) mencatat jumlah orang yang melakukan perpindahan terpaksa mencapai 65,3 juta manusia pada tahun 2015. Angka ini melonjak drastis dari tahun sebelumnya, yakni 59,5 juta orang.
Tingginya gelombang pengungsi yang menyeberang melalui jalur Mediterania sontak menghadirkan kecemasan di dunia Barat. Personifikasi sebagai arsitektur demokrasi yang menjunjung nilai-nilai kemerdekaan manusia, persamaan hak, dan antikekerasan “dipaksa” beradaptasi dengan membeludaknya orang yang melakukan perpindahan paksa ke sudut-sudut negeri mereka. Di Jerman, misalnya, terdapat 441,900 klaim suaka di Jerman, di mana populasi pengungsi meningkat sebanyak 46% dari tahun 2014 (316.000 jiwa).
Di lain pihak, serangkaian aksi terorisme yang terjadi di Paris (13 November 2015), Stockholm (7 April 2017), dan Inggris (19 Juni 2017) melahirkan trauma tersendiri bagi masyarakat Barat. Di sinilah dilema ideologis terjadi. Betapa tidak, ada dua opsi yang mesti dipilih untuk mengatasi krisis pengungsi.Pertama, membuka tapal batas seluas mungkin dengan risiko adanya ketidakmampuan masyarakat Barat beradaptasi dengan hadirnya yang lain (the others) dan memicu lahirnya masalah-masalah baru. Kedua, menutup rapat jalur laut dan/atau jembatan penghubung antarnegara di wilayah perbatasan kepada pengungsi dan imigran yang berimbas pada pelekatan stigma antikemanusiaan kepada pemimpin politik mereka. Inilah pilihan sulit yang dihadapi oleh dunia Barat.
Situasi dilema ideologis itulah yang melatarbelakangi terjadinya aksi terorisme di Christchurch dan belahan dunia Barat lain. Tak mengherankan apabila belakangan muncul sentimen antiimigran dan anti-Islam yang dipergunakan sebagai bahan kampanye politik elektoral di sejumlah negara, di antaranya oleh Marine Le Pen dari Front Nasional Prancis, Donald Trump dari Partai Republik di Amerika Serikat, dan Geert Wilder dari Partai Ultrakanan di Belanda.Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh masyarakat global guna mengatasi problem sesungguhnya di balik masifnya gelombang pengungsi dan serangkaian aksi terorisme ini?
Tak dimungkiri bahwa persoalan sesungguhnya di balik masifnya gelombang pengungsi dan serangkaian aksi terorisme ini adalah efek negatif yang dihadirkan oleh mesin kapitalisme global. Dalam buku In the World Interior of Capital (2005), Peter Sloterdijk menyebut capitalist globalization tidak hanya mengampanyekan pentingnya nilai-nilai keterbukaan, tetapi pada saat yang sama juga melakukan penaklukan.Dalam kondisi inilah mereka merealisasikan gagasan mengenai dunia tertutup yang dipenuhi keistimewaan dan kemewahan, serta berjarak dari dunia luar yang serbarentan. Bagaimana caranya?
Tanpa disadari, globalisasi telah menciptakan adanya pembagian kelas secara radikal di seantero dunia. Pengklasifikasian ini setidaknya mengacu pada empat dimensi globalisasi sebagaimana digagas oleh Anthony Giddens, yakni ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Dengan menggunakan keempat dimensi ini, pemetaan terhadap sumber daya alam, tenaga kerja murah, pasar produk, dan konsumen yang loyal dilakukan dengan melibatkan sejumlah organisasi keuangan internasional yang telah mereka bentuk lebih dulu.
Pada perkembangannya, pelbagai peristiwa kemanusiaan yang menghiasi layar kaca publik, seperti eksodus pengungsi Suriah secara besar-besaran ke Eropa, aneka aksi terorisme, pelecehan seksual yang disertai pembunuhan perempuan atau dikenal sebagai serial femicide di Afrika Selatan, konflik Iran-Arab Saudi di Timur Tengah, dan fenomena perubahan iklim yang menghadirkan serangkaian bencana alam, bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan hanya konsekuensi pilihan hidup yang mesti diambil oleh capitalist globalization.
Untuk itu, langkah konkret yang perlu dilakukan secara terus-menerus adalah memperbesar solidaritas global terhadap mereka yang mengalami penindasan dan dieksploitasi secara membabi buta, bukan malah memperparah situasi dengan aksi terorisme. Betapa tidak, FAO menyebut jumlah penduduk bumi yang mengalami kelaparan mencapai 821 juta orang pada 2017 atau meningkat sebanyak 37 juta orang dalam 3 tahun terakhir. Ditambah lagi adanya fakta bahwa pada 2010 ada 275 juta ton sampah plastik telah dihasilkan oleh 192 negara dan 12,7 juta ton di antaranya bermuara di lautan. Inilah dunia nyata yang dinafikan oleh Tarrant.
Pada akhirnya, apabila kita tidak melibatkan diri di dalam upaya menghadirkan solusi atas pelbagai masalah bersama yang dihadapi oleh masyarakat internasional saat ini, sesungguhnya kita telah salah jalan. Di sinilah solidaritas global dibutuhkan untuk memerangi terorisme, perusakan lingkungan, dan kejahatan kemanusiaan luar biasa lainnya.
Analis Geopolitik dan Diplomasi Internasional;
Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity, Jakarta
DUNIA berduka setelah 50 orang dinyatakan meninggal dunia dan 46 orang lainnya mengalami cedera akibat tragedi penembakan yang terjadi di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood Avenue, Christchurch, pada Jumat (15/3) siang. Tak lama berselang, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern bereaksi dan menyebut, “Serangan ini adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Inilah aksi terorisme sesungguhnya dan mereka tidak memiliki tempat di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keragaman, kebaikan, dan kasih sayang ini.”
Di dalam keterangan pers PM Ardern yang dimuat di laman Beehive.govt.nz diketahui bahwa mayoritas korban penembakan di dua masjid yang terletak di pusat Kota Christchurch ini adalah masyarakat pengungsi dan imigran yang telah menetap di negeri yang berlokasi di barat daya Samudra Pasifik tersebut. Pertanyaannya, kenapa mereka menjadi sasaran penembakan oleh Brendon Tarrant?
Seperti diketahui, sebelum melakukan aksi ekstremnya, Tarrant mengunggah manifesto berjudul The Great Replacement setebal 73 halaman. Di dalam dokumen ini dia menuliskan kekhawatirannya atas apa yang dia sebut sebagai genosida kulit putih (white genocide).Apa yang melatarbelakangi tudingan ini? Tarrant menengarai masifnya gelombang pengungsi dan imigran memasuki daratan Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru menjadi penyebab kian terusirnya penduduk asli. Dengan mengutip proyeksi populasi negara-negara Barat di Wikipedia.org, dia mengatakan bahwa ancaman terusirnya suku asli oleh kian membesarnya jumlah pengungsi dan imigran bakal terjadi pada 2100.
Tak hanya itu, adanya kebutuhan terhadap tenaga kerja murah, perluasan pasar produk, dan peningkatan pajak turut mendorong hadirnya ratusan ribu pengungsi dan imigran ke negara-negara Barat. Tarrant menyampaikan sinyalir adanya keterlibatan negara dan perusahaan multinasional dalam upaya penghilangan suku asli ini. Sejumlah faktor inilah yang melatarbelakangi aksi terorisme Tarrant di Christchurch.
Dalam ungkapan Slavoj Zizek, apa yang dilakukan oleh Tarrant adalah imbas dari dilema ideologis (ideological blackmail) yang tengah dialami oleh negara-negara Barat. Hal ini dipicu oleh konflik politik sumber daya alam yang mereka ciptakan di Afghanistan, Irak, dan belakangan Suriah.Tak pelak, aksi ini mendorong lahirnya krisis pengungsi. UNHCR (Juni 2016) mencatat jumlah orang yang melakukan perpindahan terpaksa mencapai 65,3 juta manusia pada tahun 2015. Angka ini melonjak drastis dari tahun sebelumnya, yakni 59,5 juta orang.
Tingginya gelombang pengungsi yang menyeberang melalui jalur Mediterania sontak menghadirkan kecemasan di dunia Barat. Personifikasi sebagai arsitektur demokrasi yang menjunjung nilai-nilai kemerdekaan manusia, persamaan hak, dan antikekerasan “dipaksa” beradaptasi dengan membeludaknya orang yang melakukan perpindahan paksa ke sudut-sudut negeri mereka. Di Jerman, misalnya, terdapat 441,900 klaim suaka di Jerman, di mana populasi pengungsi meningkat sebanyak 46% dari tahun 2014 (316.000 jiwa).
Di lain pihak, serangkaian aksi terorisme yang terjadi di Paris (13 November 2015), Stockholm (7 April 2017), dan Inggris (19 Juni 2017) melahirkan trauma tersendiri bagi masyarakat Barat. Di sinilah dilema ideologis terjadi. Betapa tidak, ada dua opsi yang mesti dipilih untuk mengatasi krisis pengungsi.Pertama, membuka tapal batas seluas mungkin dengan risiko adanya ketidakmampuan masyarakat Barat beradaptasi dengan hadirnya yang lain (the others) dan memicu lahirnya masalah-masalah baru. Kedua, menutup rapat jalur laut dan/atau jembatan penghubung antarnegara di wilayah perbatasan kepada pengungsi dan imigran yang berimbas pada pelekatan stigma antikemanusiaan kepada pemimpin politik mereka. Inilah pilihan sulit yang dihadapi oleh dunia Barat.
Situasi dilema ideologis itulah yang melatarbelakangi terjadinya aksi terorisme di Christchurch dan belahan dunia Barat lain. Tak mengherankan apabila belakangan muncul sentimen antiimigran dan anti-Islam yang dipergunakan sebagai bahan kampanye politik elektoral di sejumlah negara, di antaranya oleh Marine Le Pen dari Front Nasional Prancis, Donald Trump dari Partai Republik di Amerika Serikat, dan Geert Wilder dari Partai Ultrakanan di Belanda.Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh masyarakat global guna mengatasi problem sesungguhnya di balik masifnya gelombang pengungsi dan serangkaian aksi terorisme ini?
Tak dimungkiri bahwa persoalan sesungguhnya di balik masifnya gelombang pengungsi dan serangkaian aksi terorisme ini adalah efek negatif yang dihadirkan oleh mesin kapitalisme global. Dalam buku In the World Interior of Capital (2005), Peter Sloterdijk menyebut capitalist globalization tidak hanya mengampanyekan pentingnya nilai-nilai keterbukaan, tetapi pada saat yang sama juga melakukan penaklukan.Dalam kondisi inilah mereka merealisasikan gagasan mengenai dunia tertutup yang dipenuhi keistimewaan dan kemewahan, serta berjarak dari dunia luar yang serbarentan. Bagaimana caranya?
Tanpa disadari, globalisasi telah menciptakan adanya pembagian kelas secara radikal di seantero dunia. Pengklasifikasian ini setidaknya mengacu pada empat dimensi globalisasi sebagaimana digagas oleh Anthony Giddens, yakni ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Dengan menggunakan keempat dimensi ini, pemetaan terhadap sumber daya alam, tenaga kerja murah, pasar produk, dan konsumen yang loyal dilakukan dengan melibatkan sejumlah organisasi keuangan internasional yang telah mereka bentuk lebih dulu.
Pada perkembangannya, pelbagai peristiwa kemanusiaan yang menghiasi layar kaca publik, seperti eksodus pengungsi Suriah secara besar-besaran ke Eropa, aneka aksi terorisme, pelecehan seksual yang disertai pembunuhan perempuan atau dikenal sebagai serial femicide di Afrika Selatan, konflik Iran-Arab Saudi di Timur Tengah, dan fenomena perubahan iklim yang menghadirkan serangkaian bencana alam, bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan hanya konsekuensi pilihan hidup yang mesti diambil oleh capitalist globalization.
Untuk itu, langkah konkret yang perlu dilakukan secara terus-menerus adalah memperbesar solidaritas global terhadap mereka yang mengalami penindasan dan dieksploitasi secara membabi buta, bukan malah memperparah situasi dengan aksi terorisme. Betapa tidak, FAO menyebut jumlah penduduk bumi yang mengalami kelaparan mencapai 821 juta orang pada 2017 atau meningkat sebanyak 37 juta orang dalam 3 tahun terakhir. Ditambah lagi adanya fakta bahwa pada 2010 ada 275 juta ton sampah plastik telah dihasilkan oleh 192 negara dan 12,7 juta ton di antaranya bermuara di lautan. Inilah dunia nyata yang dinafikan oleh Tarrant.
Pada akhirnya, apabila kita tidak melibatkan diri di dalam upaya menghadirkan solusi atas pelbagai masalah bersama yang dihadapi oleh masyarakat internasional saat ini, sesungguhnya kita telah salah jalan. Di sinilah solidaritas global dibutuhkan untuk memerangi terorisme, perusakan lingkungan, dan kejahatan kemanusiaan luar biasa lainnya.
(whb)