Membudayakan Perilaku Politik Bersih

Jum'at, 15 Maret 2019 - 09:10 WIB
Membudayakan Perilaku...
Membudayakan Perilaku Politik Bersih
A A A
Roni Candra
Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Andalas Padang

PEMILIHAN Umum 2019 pada 17 April tinggal meng­hitung hari. Pesta demokrasi ini akan tercatat dalam tinta emas demokrasi dunia dengan istilah the biggest election in the world. Indonesia memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang mencapai 264 juta.Ditambah juga dengan tiga pemilihan umum akan diadakan serentak.

Namun dalam menyambut pesta demokrasi kali ini masih banyak hal yang menjadi per­soal­an kita. Salah satunya ada­lah kurang pahamnya sebagian masyarakat akan mak­na­de­mo­kra­si. Permasalahan seperti gol­put (golongan putih) adalah vi­rus yang sudah lama menjadi akar dari masalah demokrasi di Tanah Air. Sejak dimulainya pe­milihan umum secara langsung oleh rakyat pada 2004 golput selalu muncul dengan jumlah yang signifikan.

Mayoritas masyarakat yang gol­put beralasan bahwa me­mi­lih atau tidak memilih, mereka juga tidak mendapatkan keun­t­ungan apa-apa dari pemilihan umum tersebut. Sikap politik sebagian masyarakat Indonesia dewasa ini terbilang apatis. Mereka hanya melihat pesta demokrasi dari kacamata un­tung dan rugi. Padahal, setiap suara yang diberikan sangat da­lam rangka memilih pemimpin terbaik.

Di saat kecenderungan ma­sya­rakat untuk golput masih ting­gi, lantas siapa yang layak disalahkan? Pemerintah, ma­sya­rakat, atau para calon wakil rakyat yang hanya menjadikan pemilu sebagai suatu kontestasi politik prosedural atau hanya ajang untuk mencari eksistensi belaka? Ada yang lebih penting dari sekadar mencari siapa yang salah, misalnya aktif men­do­rong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan sosia­li­sasi secara masif. Selama ini pemerintah,padahal telah ber­usaha menekan angka golput. Namun, sebagian masyarakat masih kurang tergugah.

Penyebab lain orang cen­de­rung golput adalah ulah buruk oknum elite politik yang kadang melukai nilai-nilai demokrasi. Tak jarang ada yang melakukan politik uang.Masyarakat pun ada yang cenderung men­diam­kan politik kotor tersebut de­ngan alasan mereka juga mem­bu­tuhkan uang.Lalu kesadaran memilih tidak lagi didasarkan pada kewajiban moral sebagai bangsa yang tengah mem­ba­ngun demokrasi, akan tetapi ha­nya karena uang atau sem­bako yang diberikan oleh para politisi “cacat” visi tersebut.

Dengan kata lain, ma­sya­rakat yang terbiasa dengan pola diberi uang dan sembako, ak­hirnya baru akan memilih di pe­milu atau pilkada ketika mereka mendapatkan uang atau sem­bako. Suatu saat, ketika uang dan sembako mandek, mereka akan kembali pada prinsip la­ma, “untuk apa memilih kalau ti­dak ada untungnya”. Elite se­harusnya membudayakan pe­ri­laku politik bersih agar ma­sya­rakat bisa dididik bertindak be­nar dan menghindari ihwal yang mencederai nilai demo­krasi.

Pemerintah juga seyogianya terus menerus memberikan edu­kasi dan pendidikan yang men­dasar terhadap pema­ham­an berdemokrasi kepada ma­sya­rakat. Dengan begitu akan mun­cul kesadaran akan pen­ting­nya partisipasi politik di pe­milu dalam upaya melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Pada ak­hirnya akan muncul ke­sa­daran bahwa golput merugikan dan men­cederai masa depan de­mo­krasi k­ita.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0660 seconds (0.1#10.140)