Membudayakan Perilaku Politik Bersih
A
A
A
Roni Candra
Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Andalas Padang
PEMILIHAN Umum 2019 pada 17 April tinggal menghitung hari. Pesta demokrasi ini akan tercatat dalam tinta emas demokrasi dunia dengan istilah the biggest election in the world. Indonesia memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang mencapai 264 juta.Ditambah juga dengan tiga pemilihan umum akan diadakan serentak.
Namun dalam menyambut pesta demokrasi kali ini masih banyak hal yang menjadi persoalan kita. Salah satunya adalah kurang pahamnya sebagian masyarakat akan maknademokrasi. Permasalahan seperti golput (golongan putih) adalah virus yang sudah lama menjadi akar dari masalah demokrasi di Tanah Air. Sejak dimulainya pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada 2004 golput selalu muncul dengan jumlah yang signifikan.
Mayoritas masyarakat yang golput beralasan bahwa memilih atau tidak memilih, mereka juga tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari pemilihan umum tersebut. Sikap politik sebagian masyarakat Indonesia dewasa ini terbilang apatis. Mereka hanya melihat pesta demokrasi dari kacamata untung dan rugi. Padahal, setiap suara yang diberikan sangat dalam rangka memilih pemimpin terbaik.
Di saat kecenderungan masyarakat untuk golput masih tinggi, lantas siapa yang layak disalahkan? Pemerintah, masyarakat, atau para calon wakil rakyat yang hanya menjadikan pemilu sebagai suatu kontestasi politik prosedural atau hanya ajang untuk mencari eksistensi belaka? Ada yang lebih penting dari sekadar mencari siapa yang salah, misalnya aktif mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan sosialisasi secara masif. Selama ini pemerintah,padahal telah berusaha menekan angka golput. Namun, sebagian masyarakat masih kurang tergugah.
Penyebab lain orang cenderung golput adalah ulah buruk oknum elite politik yang kadang melukai nilai-nilai demokrasi. Tak jarang ada yang melakukan politik uang.Masyarakat pun ada yang cenderung mendiamkan politik kotor tersebut dengan alasan mereka juga membutuhkan uang.Lalu kesadaran memilih tidak lagi didasarkan pada kewajiban moral sebagai bangsa yang tengah membangun demokrasi, akan tetapi hanya karena uang atau sembako yang diberikan oleh para politisi “cacat” visi tersebut.
Dengan kata lain, masyarakat yang terbiasa dengan pola diberi uang dan sembako, akhirnya baru akan memilih di pemilu atau pilkada ketika mereka mendapatkan uang atau sembako. Suatu saat, ketika uang dan sembako mandek, mereka akan kembali pada prinsip lama, “untuk apa memilih kalau tidak ada untungnya”. Elite seharusnya membudayakan perilaku politik bersih agar masyarakat bisa dididik bertindak benar dan menghindari ihwal yang mencederai nilai demokrasi.
Pemerintah juga seyogianya terus menerus memberikan edukasi dan pendidikan yang mendasar terhadap pemahaman berdemokrasi kepada masyarakat. Dengan begitu akan muncul kesadaran akan pentingnya partisipasi politik di pemilu dalam upaya melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Pada akhirnya akan muncul kesadaran bahwa golput merugikan dan mencederai masa depan demokrasi kita.
Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Andalas Padang
PEMILIHAN Umum 2019 pada 17 April tinggal menghitung hari. Pesta demokrasi ini akan tercatat dalam tinta emas demokrasi dunia dengan istilah the biggest election in the world. Indonesia memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang mencapai 264 juta.Ditambah juga dengan tiga pemilihan umum akan diadakan serentak.
Namun dalam menyambut pesta demokrasi kali ini masih banyak hal yang menjadi persoalan kita. Salah satunya adalah kurang pahamnya sebagian masyarakat akan maknademokrasi. Permasalahan seperti golput (golongan putih) adalah virus yang sudah lama menjadi akar dari masalah demokrasi di Tanah Air. Sejak dimulainya pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada 2004 golput selalu muncul dengan jumlah yang signifikan.
Mayoritas masyarakat yang golput beralasan bahwa memilih atau tidak memilih, mereka juga tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari pemilihan umum tersebut. Sikap politik sebagian masyarakat Indonesia dewasa ini terbilang apatis. Mereka hanya melihat pesta demokrasi dari kacamata untung dan rugi. Padahal, setiap suara yang diberikan sangat dalam rangka memilih pemimpin terbaik.
Di saat kecenderungan masyarakat untuk golput masih tinggi, lantas siapa yang layak disalahkan? Pemerintah, masyarakat, atau para calon wakil rakyat yang hanya menjadikan pemilu sebagai suatu kontestasi politik prosedural atau hanya ajang untuk mencari eksistensi belaka? Ada yang lebih penting dari sekadar mencari siapa yang salah, misalnya aktif mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan sosialisasi secara masif. Selama ini pemerintah,padahal telah berusaha menekan angka golput. Namun, sebagian masyarakat masih kurang tergugah.
Penyebab lain orang cenderung golput adalah ulah buruk oknum elite politik yang kadang melukai nilai-nilai demokrasi. Tak jarang ada yang melakukan politik uang.Masyarakat pun ada yang cenderung mendiamkan politik kotor tersebut dengan alasan mereka juga membutuhkan uang.Lalu kesadaran memilih tidak lagi didasarkan pada kewajiban moral sebagai bangsa yang tengah membangun demokrasi, akan tetapi hanya karena uang atau sembako yang diberikan oleh para politisi “cacat” visi tersebut.
Dengan kata lain, masyarakat yang terbiasa dengan pola diberi uang dan sembako, akhirnya baru akan memilih di pemilu atau pilkada ketika mereka mendapatkan uang atau sembako. Suatu saat, ketika uang dan sembako mandek, mereka akan kembali pada prinsip lama, “untuk apa memilih kalau tidak ada untungnya”. Elite seharusnya membudayakan perilaku politik bersih agar masyarakat bisa dididik bertindak benar dan menghindari ihwal yang mencederai nilai demokrasi.
Pemerintah juga seyogianya terus menerus memberikan edukasi dan pendidikan yang mendasar terhadap pemahaman berdemokrasi kepada masyarakat. Dengan begitu akan muncul kesadaran akan pentingnya partisipasi politik di pemilu dalam upaya melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Pada akhirnya akan muncul kesadaran bahwa golput merugikan dan mencederai masa depan demokrasi kita.
(thm)