Debat Capres dan Plus-Minusnya

Jum'at, 15 Maret 2019 - 07:32 WIB
Debat Capres dan Plus-Minusnya
Debat Capres dan Plus-Minusnya
A A A
Indria Samego
Pengamat Politik

TAK dapat disangkal bahwa kita sudah mampu mengimplementasikan prosedur demokrasi yang benar. Bila partisipasi dan kontestasi dijadikan rujukannya, kita sudah sangat layak untuk disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat.

Proses transformasi politik tersebut sekaligus menolak anggapan Indonesianis yang meragukan suksesi kepemimpinan Indonesia dapat dilakukan secara gradual dan damai. Hanya dalam waktu yang relatif cepat sejak awal reformasi politik dilakukan pada 1998, arah demokratisasi kita makin jelas dan terlembagakan.

Salah satu landmark dari proses transformasi politik itu adalah pemilihan presiden dan pemilihan wakil presiden (selanjutnya disebut pilpres) secara langsung. Di dalamnya, terkait pula prosesi yang sebelumnya tak pernah dilakukan di sini, yakni debat capres. Bila praktik debat capres di Amerika Serikat menjadi ukurannya, apalagi yang belum diterapkan di sini.

Walau suasananya tidak persis seperti di negara asalnya, namun kita sudah berhasil "mengadu" gagasan antara calon pemimpin di depan publik dan disiarkan secara langsung oleh media massa nasional ke seluruh penjuru Tanah Air. Hasilnya, memang belum optimal.

Namun, jika debat tersebut dijadikan ukuran untuk memperkenalkan capres dan cawapres pada calon pemilihnya, tak dapat dipungkiri bahwa tujuan itu sudah tercapai. Sadar akan kelemahan di satu pihak dan harapan perbaikan, di pihak lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) senantiasa membuka diri terhadap usul perbaikannya. Mulai dari format, konten, waktu, moderator dan panelis debat sampai evaluasinya, semuanya dinilai secara kritis bersama tim sukses pasangan calon presiden.

Di era pilpres yang dilaksanakan secara serempak dengan pemilu DPD, DPR dan DPRD sekarang, debat tersrbut dilaksanakan sebanyak lima kali. Dimulai pada 17 Februari dan terakhir pada 13 April 2019 alias empat hari sebelum hari H pencoblosan pemilu yanmg digelar pada 17 April.

Jika tujuan debat adalah untuk mendekatkan hubungan emosional dan profesional antara calon pemimpin dengan yang akan dipimpinnya, mestinya soal waktu harus dipandang penting. Jangan sampai hanya demi memenuhi prosedur, acara itu harus disusun sedemikian rupa, mengabaikan aspek fungsi dan efektivitasnya. Apalagi bila dikaitkan dengan sistem pemilu serempak sekarang, di mana nasib calon anggota legislatif (caleg) seolah ditentukan oleh kemenangan capres yang diusungnya.

Hanya berharap dari efek ekor jas (coattail effect ) caleg kelihatanya kurang dibebaskan untuk berkampanye. Padahal, merekapun perlu mendulang suara sebanyak banyaknya di dapil masing-masing. Untuk itu, dalam waktu yang tak terlalu lama ini, KPU mesti merevisi jadual debat capres bila ingin menyelenggarakannya sebanyak lima. Jadwal debat terakhir, sebaiknya dimajukan sebelum 13 April. Masing-masing caleg berharap agar mereka dapat secara all out mengampanyekan dirinya sebelum masa minggu tenang tiba.

Setelah sekian bulan berkampanye secara kolektif bersama capresnya, kini tinggal memberi kesempatan kepada mereka untuk berkampanye secara individual. Jangan lupa, dalam sistem pileg terbuka, mereka bukan hanya bersaing dengan caleg dari parpol lain, tapi dengan sesama caleg dari partai yang sama. Sistem penghitungan hasil pemilu baru, Saint Lague juga sangat mempersyaratkan selisih suara kemenangan dalam pileg.

Menang pilpres, menang parpol dan menang pencalegan, menjadi harga mati mereka dalam sistem pemilu yang ambang batas parpolnya makin berat. Akhirnya, kita berharap agar transformasi sistem pemilu menjadi medium bagi perbaikan proses dan hasil pemilu. Ibarat pepetah, sekali mendayung, dua atau tiga pulau terlampaui. Semoga.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7062 seconds (0.1#10.140)