Masalah Ketenagakerjaan untuk Pemerintahan Baru
A
A
A
Mohamad Anis Agung NugrohoBekerja Pada Program Better Work Indonesia/
International Labour Organization
MASALAH ketenagakerjaan akan menjadi tema debat ketiga pemilihan presiden (pilpres) pada 17 Maret 2019. Saya ingin menyampaikan beberapa masalah ketenagakerjaan yang nantinya bisa dikupas dalam debat. Dan, selanjutnya ditindaklanjuti dan diselesaikan oleh presiden dan wakil presiden periode 2019-2024.
Sayangnya, tema ketenagakerjaan “hanya” akan diperdebatkan oleh calon wakil presiden, bukan calon presiden. Bersama dengan pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya, ketenagakerjaan tampaknya menjadi isu “kelas dua” dibandingkan tema energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan infrastruktur yang menjadi tema untuk calon presiden pada debat sebelumnya.
Tantangan utama dalam membuat kebijakan ketenagakerjaan adalah mencari keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan pekerja. Peran pemerintah menjadi penting karena harus cukup kuat untuk berada di tengah, ditekan oleh pengusaha dan pekerja yang seringkali mempunyai kepentingan yang berseberangan. Kebijakan pemerintah harus memberikan ruang yang cukup luas untuk berusaha dan pada saat yang sama menjamin pekerjaan yang layak untuk pekerjanya.
Untuk itu, dalam debat nanti akan sangat menarik untuk mengetahui apa rencana cawapres untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Kita mengharapkan jawaban yang praktis dan nyata pada masalah-masalah ketenagakerjaan, tidak hanya pernyataan yang bersifat jargon.
Undang-Undang Ketenagakerjaan
Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 menjadi penting, terutama karena sudah banyak pasal-pasal dalam undang-undang yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Asosiasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh sudah mengajukan usulan perubahan karena masing-masing merasa tidak cukup terlindungi dengan undang-undang ini. Kementerian Ketenagakerjaan juga sedang melakukan kajian untuk merevisi UU Nomor 13/2003.
Undang-undang lain yang terkait yaitu UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini seharusnya memperkuat posisi pekerja yang berserikat untuk mendorong kesetaraan di hadapan pengusaha. Kenyataannya, menurut catatan Kemenaker, hanya 2,7 juta pekerja yang berserikat. Jauh menurun dibandingkan awal 2000-an yang jumlahnya 9 juta pekerja. Sedangkan di sisi lain, jumlah konfederasi serikat pekerja/buruh jauh meningkat, dari tiga di awal 2000-an menjadi 14 konfederasi serikat pekerja/buruh.
Artinya, buruh makin terpecah-pecah dalam banyak organisasi. Ini dikeluhkan tidak hanya oleh pekerja karena daya tawar mereka menjadi lebih rendah, tetapi juga oleh pengusaha karena sulit menentukan mitra berundingnya.
Dengan begitu, sangat menarik untuk mengetahui pandangan umum para calon wakil presiden dan apakah yang akan mereka rencanakan berkaitan UU Ketenagakerjaan dan UU Serikat Pekerja/Buruh.
Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja merupakan awal dari hubungan kerja di antara pengusaha dan pekerja. Saat ini ada dua model perjanjian kerja dalam UU Nomor 13/2003, perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Pengusaha cenderung ingin menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu karena lebih fleksibel bagi usaha mereka dan tidak ada kewajiban membayar pesangon ketika perjanjian kerja berakhir. Akan tetapi, pekerja menginginkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang lebih memberikan jaminan jangka panjang dan dapat menikmati uang pesangon apabila ada pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha. Akan menarik untuk mengetahui pendapat para cawapres mengenai masalah ini.
Pengupahan
Sistem pengupahan yang sudah diatur pada UU Nomor 13/2003 sebenarnya sudah cukup ideal. Hanya saja, sejak ada pemilihan kepala daerah langsung, upah minimum kabupaten, kota, dan provinsi menjadi janji politik dan pada akhirnya menjadi ancaman bagi terciptanya hubungan kerja yang berkelanjutan.
Upah minimum yang sebenarnya menjadi jaring pengaman dikerek tinggi karena kepala daerah terpilih harus memenuhi janji politiknya. Ketika kemudian pengusaha keberatan dengan upah minimum kabupaten yang tinggi dibuatlah sebuah upah minimum untuk sektor tertentu yang nilainya lebih rendah dari upah minimum.
Hal ini membingungkan karena kita tidak tahu, yang mana sebenarnya upah minimum itu? Selain tentu saja upah minimum di bawah upah minimum kabupaten tidak dikenal dalam sistem pengupahan di Indonesia.
Ketika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 diterbitkan, beberapa serikat pekerja/buruh menolak, terutama karena peran mereka dalam dewan pengupahan menjadi sangat terbatas. Sedangkan pengusaha awalnya mendukung karena PP ini memberikan prediktabilitas karena upah minimum ditetapkan secara matematis sesuai dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Tetapi, setelah beberapa tahun, pengusaha juga mengeluhkan tingginya kenaikan di daerah-daerah yang upah minimumnya sudah cukup tinggi. Serikat pekerja juga menyatakan, PP 78/2015 tidak mengurangi kesenjangan antardaerah karena daerah yang upah minimumnya sudah tinggi akan naik lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang upah minimumnya lebih rendah karena patokan kenaikannya adalah persentase.
Jika kedua kandidat hendak merevisi PP 78/2015, kita ingin tahu, kalau terpilih, seperti apa kebijakan pengupahan mereka.
Jaminan Sosial dan Pesangon
UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dikritik karena berkontribusi pada tumpang tindihnya jaminan sosial yang harus dibayar oleh pengusaha dan pekerja, yang sudah diatur oleh UU Nomor 13/2003. Ada jaminan hari tua dan jaminan pensiun yang serupa, tapi tak sama.
Dan, ada pesangon yang masih diperdebatkan, apakah ini termasuk jaminan sosial atau bukan perlu ada harmonisasi sehingga setiap jaminan dapat dipertanggungjawabkan peruntukannya, memberikan kenyamanan berusaha dan bekerja dan dikelola secara berkesinambungan. Tapi, harmonisasi seperti apa yang ditawarkan oleh cawapres?
Selamat menikmati debat cawapres ini.
(Tulisan ini adalah opini pribadi penulis, bukan merupakan opini Better Work Indonesia/ILO)
International Labour Organization
MASALAH ketenagakerjaan akan menjadi tema debat ketiga pemilihan presiden (pilpres) pada 17 Maret 2019. Saya ingin menyampaikan beberapa masalah ketenagakerjaan yang nantinya bisa dikupas dalam debat. Dan, selanjutnya ditindaklanjuti dan diselesaikan oleh presiden dan wakil presiden periode 2019-2024.
Sayangnya, tema ketenagakerjaan “hanya” akan diperdebatkan oleh calon wakil presiden, bukan calon presiden. Bersama dengan pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya, ketenagakerjaan tampaknya menjadi isu “kelas dua” dibandingkan tema energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan infrastruktur yang menjadi tema untuk calon presiden pada debat sebelumnya.
Tantangan utama dalam membuat kebijakan ketenagakerjaan adalah mencari keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan pekerja. Peran pemerintah menjadi penting karena harus cukup kuat untuk berada di tengah, ditekan oleh pengusaha dan pekerja yang seringkali mempunyai kepentingan yang berseberangan. Kebijakan pemerintah harus memberikan ruang yang cukup luas untuk berusaha dan pada saat yang sama menjamin pekerjaan yang layak untuk pekerjanya.
Untuk itu, dalam debat nanti akan sangat menarik untuk mengetahui apa rencana cawapres untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Kita mengharapkan jawaban yang praktis dan nyata pada masalah-masalah ketenagakerjaan, tidak hanya pernyataan yang bersifat jargon.
Undang-Undang Ketenagakerjaan
Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 menjadi penting, terutama karena sudah banyak pasal-pasal dalam undang-undang yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Asosiasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh sudah mengajukan usulan perubahan karena masing-masing merasa tidak cukup terlindungi dengan undang-undang ini. Kementerian Ketenagakerjaan juga sedang melakukan kajian untuk merevisi UU Nomor 13/2003.
Undang-undang lain yang terkait yaitu UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini seharusnya memperkuat posisi pekerja yang berserikat untuk mendorong kesetaraan di hadapan pengusaha. Kenyataannya, menurut catatan Kemenaker, hanya 2,7 juta pekerja yang berserikat. Jauh menurun dibandingkan awal 2000-an yang jumlahnya 9 juta pekerja. Sedangkan di sisi lain, jumlah konfederasi serikat pekerja/buruh jauh meningkat, dari tiga di awal 2000-an menjadi 14 konfederasi serikat pekerja/buruh.
Artinya, buruh makin terpecah-pecah dalam banyak organisasi. Ini dikeluhkan tidak hanya oleh pekerja karena daya tawar mereka menjadi lebih rendah, tetapi juga oleh pengusaha karena sulit menentukan mitra berundingnya.
Dengan begitu, sangat menarik untuk mengetahui pandangan umum para calon wakil presiden dan apakah yang akan mereka rencanakan berkaitan UU Ketenagakerjaan dan UU Serikat Pekerja/Buruh.
Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja merupakan awal dari hubungan kerja di antara pengusaha dan pekerja. Saat ini ada dua model perjanjian kerja dalam UU Nomor 13/2003, perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Pengusaha cenderung ingin menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu karena lebih fleksibel bagi usaha mereka dan tidak ada kewajiban membayar pesangon ketika perjanjian kerja berakhir. Akan tetapi, pekerja menginginkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang lebih memberikan jaminan jangka panjang dan dapat menikmati uang pesangon apabila ada pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha. Akan menarik untuk mengetahui pendapat para cawapres mengenai masalah ini.
Pengupahan
Sistem pengupahan yang sudah diatur pada UU Nomor 13/2003 sebenarnya sudah cukup ideal. Hanya saja, sejak ada pemilihan kepala daerah langsung, upah minimum kabupaten, kota, dan provinsi menjadi janji politik dan pada akhirnya menjadi ancaman bagi terciptanya hubungan kerja yang berkelanjutan.
Upah minimum yang sebenarnya menjadi jaring pengaman dikerek tinggi karena kepala daerah terpilih harus memenuhi janji politiknya. Ketika kemudian pengusaha keberatan dengan upah minimum kabupaten yang tinggi dibuatlah sebuah upah minimum untuk sektor tertentu yang nilainya lebih rendah dari upah minimum.
Hal ini membingungkan karena kita tidak tahu, yang mana sebenarnya upah minimum itu? Selain tentu saja upah minimum di bawah upah minimum kabupaten tidak dikenal dalam sistem pengupahan di Indonesia.
Ketika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 diterbitkan, beberapa serikat pekerja/buruh menolak, terutama karena peran mereka dalam dewan pengupahan menjadi sangat terbatas. Sedangkan pengusaha awalnya mendukung karena PP ini memberikan prediktabilitas karena upah minimum ditetapkan secara matematis sesuai dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Tetapi, setelah beberapa tahun, pengusaha juga mengeluhkan tingginya kenaikan di daerah-daerah yang upah minimumnya sudah cukup tinggi. Serikat pekerja juga menyatakan, PP 78/2015 tidak mengurangi kesenjangan antardaerah karena daerah yang upah minimumnya sudah tinggi akan naik lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang upah minimumnya lebih rendah karena patokan kenaikannya adalah persentase.
Jika kedua kandidat hendak merevisi PP 78/2015, kita ingin tahu, kalau terpilih, seperti apa kebijakan pengupahan mereka.
Jaminan Sosial dan Pesangon
UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dikritik karena berkontribusi pada tumpang tindihnya jaminan sosial yang harus dibayar oleh pengusaha dan pekerja, yang sudah diatur oleh UU Nomor 13/2003. Ada jaminan hari tua dan jaminan pensiun yang serupa, tapi tak sama.
Dan, ada pesangon yang masih diperdebatkan, apakah ini termasuk jaminan sosial atau bukan perlu ada harmonisasi sehingga setiap jaminan dapat dipertanggungjawabkan peruntukannya, memberikan kenyamanan berusaha dan bekerja dan dikelola secara berkesinambungan. Tapi, harmonisasi seperti apa yang ditawarkan oleh cawapres?
Selamat menikmati debat cawapres ini.
(Tulisan ini adalah opini pribadi penulis, bukan merupakan opini Better Work Indonesia/ILO)
(kri)