Urun Rembuk Tarif MRT Jakarta
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
AKHIRNYA warga Jakarta memiliki angkutan massal yang paling "sempurna", yakni MRT (mass rapid transit ) dan LRT (light rapid transit ). Jika tak ada aral melintang, per 12 Maret 2019, sistem MRT yang membentang dari area Lebak Bulus hingga Bundaran HI ini akan beroperasi melayani warga Jakarta. MRT yang panjangnya mencapai 16,5 km ini akan menjadi moda transportasi andalan warga Jakarta yang nantinya akan bersinergi dengan sistem BRT (bus rapid transit ), yakni Transjakarta/busway yang lebih dulu eksis. Kehadiran MRT dan LRT akan mengukuhkan Jakarta sebagai kota modern yang setara dengan kota-kota besar lain di dunia. Sebab salah satu ciri kota modern adalah jika kota tersebut ditopang angkutan massal sebagai instrumen utama untuk mobilitas warga kotanya. Diharapkan kehadiran MRT menjadi hak pilih bagi warga Jakarta, apakah akan tetap bermacet-macet-ria dengan kendaraan bermotor pribadinya atau memilih menggunakan MRT yang aman, nyaman, selamat, tarifnya terjangkau, dan cepat sampai tujuan. MRT akan menjadi instrumen untuk mengurangi kemacetan di Kota Jakarta yang secara de facto sudah sangat crowded dan supermacet!
Tapi tunggu dulu. Secara fisik MRT Jakarta sudah sangat siap beroperasi walau konon suara bising di dalam ruangan bawah tanah masih sangat tinggi. Ada beberapa persoalan krusial yang hingga kini belum terselesaikan. Misalnya, pertama , berapakah tarif yang ideal untuk MRT dan LRT? Pemprov DKI Jakarta mengusulkan Rp10.000 untuk MRT dan Rp6.000 untuk LRT. Hingga kini DPRD DKI belum menyetujui usulan tarif tersebut. Padahal, dengan tarif sebesar itu, subsidi yang harus digelontorkan Pemprov DKI sangatlah besar. Lihatlah, jika formulasi itu disetujui, subsidi untuk MRT Rp21.659/penumpang dan untuk LRT Rp31.659/penumpang. Dengan subsidi sebesar itu, kalkulasi di atas kertas, jika penumpangnya 500.000 orang per hari, subsidi untuk LRT sebesar Rp17,8 miliar per hari dan Rp6,5 triliun per tahun!
Adapun untuk MRT, dengan asumsi yang sama, diperlukan subsidi Rp10,8 miliar per hari dan Rp3,5 triliun dalam satu tahun. Jika subsidi MRT dan LRT digabung, dana subsidi yang diperlukan adalah Rp28,6 miliar per hari dan Rp 10,4 triliun dalam satu tahun. Pertanyaannya, mampukah Pemprov DKI mengeluarkan dana subsidi sebanyak itu? Kita berharap penentuan tarif MRT dan LRT bukan hanya "asbun" dan/atau sebatas pendekatan politik jangka pendek.
Penentuan tarif MRT dan LRT seharusnya sudah didukung dengan survei yang komprehensif. Survei tersebut secara umum menggambarkan adanya aspek ability to pay dan willingness to pay calon konsumen. Aspek ability to pay sangat penting untuk menentukan berapa sebenarnya keterjangkauan konsumen terhadap tarif, sedangkan aspek willingness to pay untuk mengukur bagaimana sebenarnya harapan konsumen terhadap pelayanannya. Kedua aspek ini berkelindan, tidak berdiri sendiri. Selain itu survei juga menggambarkan jenis moda transportasi apa yang digunakan konsumen sebelum menggunakan MRT. Apakah migrasi dari kendaraan pribadi, migrasi dari penumpang bus umum/Bus Transjakarta atau moda transportasi lain.
Jika penumpang MRT/LRT merupakan migrasi pengguna roda empat, tarif Rp15.000-20.000 masih terjangkau. Dengan tarif sebesar itu, per hari konsumen rerata biaya transportasinya hanya Rp50.000-60.000 per hari. Jauh lebih murah daripada mereka menggunakan kendaraan pribadinya karena harus bayar tol, parkir, dan tentu saja bahan bakar minyak. Lain halnya jika calon penumpang MRT/LRT berasal dari penumpang migrasi roda dua, bus umum, atau Transjakarta, tarif Rp6.000-10.000 akan terasa mahal. Indikator lain juga harus dilihat, apa sebenarnya tujuan mereka menggunakan MRT/LRT? Jika tujuannya adalah faktor keamanan, kenyamanan, dan cepatnya waktu tempuh, besaran tarif tidak terlalu sensitif. Tapi sebaliknya jika tujuan menggunakan MRT/LRT adalah masalah keterjangkauan tarif, besaran tarif akan sangat sensitif.
Kedua , Pemprov DKI juga seharusnya punya data berapa persen sebenarnya alokasi anggaran warga Jakarta untuk biaya transportasinya dari total pengeluaran. Patut diduga, dari survei terdahulu, alokasi anggaran warga Jakarta untuk biaya transportasi lebih dari 25% dari total pengeluarannya. Persentase ini sebenarnya sangat tidak wajar karena jauh melebihi batas best practices belanja transportasi di negara maju, yang kurang dari 10%. Seharusnya keberadaan MRT dan LRT bisa memangkas tingginya belanja transportasi warga Jakarta. Jika yang terjadi sebaliknya, MRT dan LRT hanya akan menjadi benalu bagi sektor transportasi di Jakarta.
Kemudian, ketiga , sukses tidaknya MRT/LRT selain ditentukan besaran tarif, juga dipengaruhi manajemen trafik di sekitar rute yang dilewati MRT dan LRT. Jika tak ada manajemen trafik yang andal, MRT dan LRT kurang dilirik warga Jakarta. Bagaimanapun menggunakan kendaraan pribadi akan lebih nyaman (untuk mobil). Untuk sepeda motor, tak akan ada moda transportasi yang bisa melawan efisiensi ekonomi sepeda motor. Semurah-murah tarif MRT dan LRT, tak akan semurah pengeluaran jika menggunakan sepeda motor. Pertanyaannya, beranikah Gubernur DKI melakukan pengendalian secara ketat terhadap pengguna kendaraan pribadi di sepanjang rute yang dilewati MRT dan LRT? Jika sebaliknya, Gubernur DKI ciut nyali, hal ini merupakan tengara kuat adanya lonceng kematian bagi MRT dan LRT. Kasus LRT Palembang dan/atau kereta bandara seharusnya menjadi pembelajaran yang paling konkret untuk menjaga keberlanjutan MRT dan LRT di Jakarta.
Harus diakui, keberadaan MRT dan LRT di Jakarta adalah wujud komitmen pemerintah untuk melakukan pembenahan manajemen transportasi di Jakarta. Hampir semua kota besar dunia memiliki MRT dan angkutan massal sejenis. Di London, Inggris, under ground (sebutan populer MRT di Inggris) telah eksis sejak 155 tahun yang silam. Tapi, ingat, fungsi utama MRT dan LRT bukan hanya sebagai sarana transportasi bagi warga Jakarta. Bukan sekadar mewujudkan adanya moda transportasi yang aman, nyaman, harga terjangkau, dan terintegrasi. Lebih dari itu, MRT dan LRT harus menjadi pemicu bagi warga Jakarta untuk meninggalkan penggunaan kendaraan pribadinya dan berpindah menjadi pengguna angkutan massal yang ada.
Fenomena ini sejatinya mulai terjadi dengan adanya kereta Commuter Line (KRL) yang makin eksis. Pun dengan keberadaan Transjakarta. Kita tunggu aksi nyata Pemprov DKI dan DPRD DKI untuk secara cepat dan akurat menetapkan tarif MRT dan LRT. Plus kita tunggu nyali Gubernur DKI untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi di sepanjang koridor yang dilewati MRT dan LRT. Tanpa ditopang dengan kedua instrumen kebijakan itu, jangan heran jika kelak kedua angkutan massal itu hanya akan menjadi besi tua saja.
Ketua Pengurus Harian YLKI
AKHIRNYA warga Jakarta memiliki angkutan massal yang paling "sempurna", yakni MRT (mass rapid transit ) dan LRT (light rapid transit ). Jika tak ada aral melintang, per 12 Maret 2019, sistem MRT yang membentang dari area Lebak Bulus hingga Bundaran HI ini akan beroperasi melayani warga Jakarta. MRT yang panjangnya mencapai 16,5 km ini akan menjadi moda transportasi andalan warga Jakarta yang nantinya akan bersinergi dengan sistem BRT (bus rapid transit ), yakni Transjakarta/busway yang lebih dulu eksis. Kehadiran MRT dan LRT akan mengukuhkan Jakarta sebagai kota modern yang setara dengan kota-kota besar lain di dunia. Sebab salah satu ciri kota modern adalah jika kota tersebut ditopang angkutan massal sebagai instrumen utama untuk mobilitas warga kotanya. Diharapkan kehadiran MRT menjadi hak pilih bagi warga Jakarta, apakah akan tetap bermacet-macet-ria dengan kendaraan bermotor pribadinya atau memilih menggunakan MRT yang aman, nyaman, selamat, tarifnya terjangkau, dan cepat sampai tujuan. MRT akan menjadi instrumen untuk mengurangi kemacetan di Kota Jakarta yang secara de facto sudah sangat crowded dan supermacet!
Tapi tunggu dulu. Secara fisik MRT Jakarta sudah sangat siap beroperasi walau konon suara bising di dalam ruangan bawah tanah masih sangat tinggi. Ada beberapa persoalan krusial yang hingga kini belum terselesaikan. Misalnya, pertama , berapakah tarif yang ideal untuk MRT dan LRT? Pemprov DKI Jakarta mengusulkan Rp10.000 untuk MRT dan Rp6.000 untuk LRT. Hingga kini DPRD DKI belum menyetujui usulan tarif tersebut. Padahal, dengan tarif sebesar itu, subsidi yang harus digelontorkan Pemprov DKI sangatlah besar. Lihatlah, jika formulasi itu disetujui, subsidi untuk MRT Rp21.659/penumpang dan untuk LRT Rp31.659/penumpang. Dengan subsidi sebesar itu, kalkulasi di atas kertas, jika penumpangnya 500.000 orang per hari, subsidi untuk LRT sebesar Rp17,8 miliar per hari dan Rp6,5 triliun per tahun!
Adapun untuk MRT, dengan asumsi yang sama, diperlukan subsidi Rp10,8 miliar per hari dan Rp3,5 triliun dalam satu tahun. Jika subsidi MRT dan LRT digabung, dana subsidi yang diperlukan adalah Rp28,6 miliar per hari dan Rp 10,4 triliun dalam satu tahun. Pertanyaannya, mampukah Pemprov DKI mengeluarkan dana subsidi sebanyak itu? Kita berharap penentuan tarif MRT dan LRT bukan hanya "asbun" dan/atau sebatas pendekatan politik jangka pendek.
Penentuan tarif MRT dan LRT seharusnya sudah didukung dengan survei yang komprehensif. Survei tersebut secara umum menggambarkan adanya aspek ability to pay dan willingness to pay calon konsumen. Aspek ability to pay sangat penting untuk menentukan berapa sebenarnya keterjangkauan konsumen terhadap tarif, sedangkan aspek willingness to pay untuk mengukur bagaimana sebenarnya harapan konsumen terhadap pelayanannya. Kedua aspek ini berkelindan, tidak berdiri sendiri. Selain itu survei juga menggambarkan jenis moda transportasi apa yang digunakan konsumen sebelum menggunakan MRT. Apakah migrasi dari kendaraan pribadi, migrasi dari penumpang bus umum/Bus Transjakarta atau moda transportasi lain.
Jika penumpang MRT/LRT merupakan migrasi pengguna roda empat, tarif Rp15.000-20.000 masih terjangkau. Dengan tarif sebesar itu, per hari konsumen rerata biaya transportasinya hanya Rp50.000-60.000 per hari. Jauh lebih murah daripada mereka menggunakan kendaraan pribadinya karena harus bayar tol, parkir, dan tentu saja bahan bakar minyak. Lain halnya jika calon penumpang MRT/LRT berasal dari penumpang migrasi roda dua, bus umum, atau Transjakarta, tarif Rp6.000-10.000 akan terasa mahal. Indikator lain juga harus dilihat, apa sebenarnya tujuan mereka menggunakan MRT/LRT? Jika tujuannya adalah faktor keamanan, kenyamanan, dan cepatnya waktu tempuh, besaran tarif tidak terlalu sensitif. Tapi sebaliknya jika tujuan menggunakan MRT/LRT adalah masalah keterjangkauan tarif, besaran tarif akan sangat sensitif.
Kedua , Pemprov DKI juga seharusnya punya data berapa persen sebenarnya alokasi anggaran warga Jakarta untuk biaya transportasinya dari total pengeluaran. Patut diduga, dari survei terdahulu, alokasi anggaran warga Jakarta untuk biaya transportasi lebih dari 25% dari total pengeluarannya. Persentase ini sebenarnya sangat tidak wajar karena jauh melebihi batas best practices belanja transportasi di negara maju, yang kurang dari 10%. Seharusnya keberadaan MRT dan LRT bisa memangkas tingginya belanja transportasi warga Jakarta. Jika yang terjadi sebaliknya, MRT dan LRT hanya akan menjadi benalu bagi sektor transportasi di Jakarta.
Kemudian, ketiga , sukses tidaknya MRT/LRT selain ditentukan besaran tarif, juga dipengaruhi manajemen trafik di sekitar rute yang dilewati MRT dan LRT. Jika tak ada manajemen trafik yang andal, MRT dan LRT kurang dilirik warga Jakarta. Bagaimanapun menggunakan kendaraan pribadi akan lebih nyaman (untuk mobil). Untuk sepeda motor, tak akan ada moda transportasi yang bisa melawan efisiensi ekonomi sepeda motor. Semurah-murah tarif MRT dan LRT, tak akan semurah pengeluaran jika menggunakan sepeda motor. Pertanyaannya, beranikah Gubernur DKI melakukan pengendalian secara ketat terhadap pengguna kendaraan pribadi di sepanjang rute yang dilewati MRT dan LRT? Jika sebaliknya, Gubernur DKI ciut nyali, hal ini merupakan tengara kuat adanya lonceng kematian bagi MRT dan LRT. Kasus LRT Palembang dan/atau kereta bandara seharusnya menjadi pembelajaran yang paling konkret untuk menjaga keberlanjutan MRT dan LRT di Jakarta.
Harus diakui, keberadaan MRT dan LRT di Jakarta adalah wujud komitmen pemerintah untuk melakukan pembenahan manajemen transportasi di Jakarta. Hampir semua kota besar dunia memiliki MRT dan angkutan massal sejenis. Di London, Inggris, under ground (sebutan populer MRT di Inggris) telah eksis sejak 155 tahun yang silam. Tapi, ingat, fungsi utama MRT dan LRT bukan hanya sebagai sarana transportasi bagi warga Jakarta. Bukan sekadar mewujudkan adanya moda transportasi yang aman, nyaman, harga terjangkau, dan terintegrasi. Lebih dari itu, MRT dan LRT harus menjadi pemicu bagi warga Jakarta untuk meninggalkan penggunaan kendaraan pribadinya dan berpindah menjadi pengguna angkutan massal yang ada.
Fenomena ini sejatinya mulai terjadi dengan adanya kereta Commuter Line (KRL) yang makin eksis. Pun dengan keberadaan Transjakarta. Kita tunggu aksi nyata Pemprov DKI dan DPRD DKI untuk secara cepat dan akurat menetapkan tarif MRT dan LRT. Plus kita tunggu nyali Gubernur DKI untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi di sepanjang koridor yang dilewati MRT dan LRT. Tanpa ditopang dengan kedua instrumen kebijakan itu, jangan heran jika kelak kedua angkutan massal itu hanya akan menjadi besi tua saja.
(wib)