Urgensi Disahkannya RUU PKS
A
A
A
Anita Karolina
Ketua Bidang Hubungan Internasional Kopri PB PMII 2017-2019
SETIAP 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau biasa dikenal dengan International Women’s Day (IWD). Peringatan ini diresmikan oleh PBB pada 1977 dan masih terus diperingati hingga hari ini. IWD menjadi momen milik perempuan di seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali. IWD juga dijadikan momentum untuk merefleksikan pencapaian serta melakukan berbagai aksi demi terwujudnya kesetaraan gender dan kesejahteraan perempuan. Hari ini menjadi penting diperingati oleh perempuan di seluruh dunia sebagai momentum untuk terus mewujudkan kesetaraan gender, memenuhi hak-hak perempuan, dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual terhadap perempuan.
UN Women, sebagai bagian dari PBB, mencatat sebanyak 35% perempuan telah mengalami kekerasan seksual. Data tersebut tidak mengagetkan mengingat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sudah seperti fenomena gunung es di mana kasus yang diketahui hanya sebagian kecil saja. Di Indonesia kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi momok tersendiri bagi para perempuan. Bagaimana tidak, catatan tahunan 2018 mengenai kasus kekerasan seksual terhadap perempuan oleh Komnas Perempuan menunjukkan hal yang baru dan sangat mengejutkan. Catatan tersebut menunjukkan angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak meningkat dan menempati posisi kedua setelah kekerasan fisik, yaitu sebesar 31%. Yang paling mengejutkan adalah tingginya angka kekerasan seksual di ranah privat yang dilakukan oleh orang-orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga dengan korban, yaitu sebanyak 1.210 kasus. Menempati posisi kedua adalah kasus pemerkosaan sebanyak 619 kasus, kemudian persetubuhan/eksploitasi seksual sebanyak 555 kasus. Dari total 1.210 kasus incest (pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga), sejumlah 266 kasus (22%) dilaporkan ke polisi dan yang masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%).
Kecilnya angka kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, dari jumlah kasus yang ditemukan, menunjukkan bahwa masih banyak di luar sana kasus serupa yang tidak terlaporkan dan akhirnya tidak ditangani pihak yang berwajib. Tingginya kasus yang tidak terlaporkan ini disebabkan beberapa faktor.
Pertama, kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan. Sering kali kekerasan seksual hanya dianggap sebagai pelecehan biasa saja dan dimaklumi, setelah itu dianggap bisa diselesaikan secara kekeluargaan, bahkan tanpa mempertimbangkan kondisi fisik maupun psikis korban.
Kedua, korban pelecehan seksual tidak tahu-menahu harus melakukan apa dan bahkan kebingungan harus mengadukan hal yang baru saja dialaminya kepada siapa. Hal ini sering terjadi karena tidak sedikit korban dan keluarga menganggap ini adalah aib sehingga keluarga akan menanggung malu jika sampai kasusnya diketahui oleh orang lain.
Ketiga, jikapun korban berani melaporkan kepada pihak berwajib, siap-siap saja korban akan berhadapan dengan sederet pertanyaan yang menyudutkan seperti “sedang di mana?”, “bersama siapa dan sedang melakukan apa?”, atau bahkan “memakai baju apa?”, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejahatan pelaku.
Tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak menjadi permasalahan besar di berbagai belahan negara karena kasus ini tidak mengenal apakah itu negara maju atau berkembang, yang akhirnya isu ini menjadi isu bersama. Salah satu concern UN Women atas perlindungan bagi korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak adalah dengan mengesahkan dan mengimplementasikan hukum dan kebijakan yang efektif. Beberapa tahun belakangan, beberapa negara mendapat tuntutan untuk segera membentuk undang-undang baru ataupun merevisi undang-undang yang dirasa diskriminatif terhadap korban kekerasan seksual.
Negara yang akhirnya berhasil merevisi undang-undangnya, setelah beberapa tahun, adalah Tunisia, Yordania, dan Lebanon. Ketiga negara ini, pada tahun 2017 lalu, sama-sama merevisi undang-undang yang diskriminatif terhadap korban, yaitu jika sebelumnya ada pasal yang mengampuni pelaku pemerkosa jika menikahi korban, pasal tersebut dihapuskan dan diganti dengan memberikan hukuman kepada pelaku. Terbaru adalah di Swedia, pada Juli 2018, Swedia memberlakukan undang-undang baru, yaitu seks tanpa persetujuan merupakan pemerkosaan. Dengan adanya undang-undang tersebut, jaksa penuntut tidak boleh meminta bukti berupa kekerasan atau mempertanyakan kondisi korban dalam upaya membuktikan bentuk pemerkosaan tersebut.
Usaha negara-negara tersebut untuk bisa mengesahkan undang-undang perlindungan perempuan terhadap kekerasan seksual tentu menemui beberapa polemik. Seperti halnya di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) juga menemui jalan terjal dan berliku. Untuk mendorong disahkannya RUU PKS ini dibutuhkan dukungan dari berbagai elemen, berbagai multi-stakeholder. Tidak sedikit instansi/lembaga yang menjadikan RUU PKS ini menjadi concern kelembagaan. Bahkan dalam Munas Alim Ulama-Konbes NU di Banjar, bulan Februari lalu, RUU PKS turut menjadi pembahasan dalam forum, yang menyebutkan bahwa NU menyepakati mendukung terbitnya RUU tersebut dengan beberapa catatan. Catatan yang dimaksud antara lain merekomendasikan adanya perubahan nama RUU itu menjadi RUU Pencegahan Kekerasan Seksual dengan alasan agar aspek preventif lebih menjadi perhatian.
Dari tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia, penulis menilai bahwa keberadaan RUU PKS memiliki urgensi yang tinggi dan bisa menjadi solusi yang paling memungkinkan untuk menekan bahkan memberantas kekerasan seksual yang hingga saat ini masih merajalela terjadi di Indonesia. Dengan berhasilnya pengesahan RUU PKS di Indonesia, penulis menilai nantinya Indonesia dengan segala kompleksitasnya akan bisa menjadi role model bagi negara-negara yang belum memberlakukan undang-undang serupa. Kopri PB PMII melalui Bidang Hubungan Internasional sebagai organisasi perempuan intelektual yang memiliki basis kader tersebar dari Sabang sampai Merauke, juga concern terhadap isu-isu perempuan dan anak, pada momentum International Women’s Day ini, turut mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS agar kepastian hukum terhadap perlindungan perempuan dapat terjamin di Indonesia.
Hasil musyawarah Konbes NU tersebut menjadi bukti dukungan terhadap terbitnya RUU PKS, di antara dukungan-dukungan lain yang terus mengalir dari berbagai segmen. Menurut pandangan penulis, Indonesia sebagai negara yang turut menyepakati Suistainable Development Goals (SDGs) 2030, semestinya segera mengesahkan RUU PKS ini sebagai komitmen dalam menjalankan program SDGs, goal kelima, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Dan, terakhir, satu kasus dari ribuan kasus yang berhasil mencuat ke permukaan adalah kasus Baiq Nuril yang gagal memperjuangkan haknya sebagai korban pelecehan seksual di ranah hukum menjadi gambaran betapa pentingnya RUU PKS ini untuk segera disahkan. Terakhir Kopri PB PMII mengajak kader Kopri di seluruh Indonesia untuk turut mendorong disahkannya RUU PKS.
Ketua Bidang Hubungan Internasional Kopri PB PMII 2017-2019
SETIAP 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau biasa dikenal dengan International Women’s Day (IWD). Peringatan ini diresmikan oleh PBB pada 1977 dan masih terus diperingati hingga hari ini. IWD menjadi momen milik perempuan di seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali. IWD juga dijadikan momentum untuk merefleksikan pencapaian serta melakukan berbagai aksi demi terwujudnya kesetaraan gender dan kesejahteraan perempuan. Hari ini menjadi penting diperingati oleh perempuan di seluruh dunia sebagai momentum untuk terus mewujudkan kesetaraan gender, memenuhi hak-hak perempuan, dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual terhadap perempuan.
UN Women, sebagai bagian dari PBB, mencatat sebanyak 35% perempuan telah mengalami kekerasan seksual. Data tersebut tidak mengagetkan mengingat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sudah seperti fenomena gunung es di mana kasus yang diketahui hanya sebagian kecil saja. Di Indonesia kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi momok tersendiri bagi para perempuan. Bagaimana tidak, catatan tahunan 2018 mengenai kasus kekerasan seksual terhadap perempuan oleh Komnas Perempuan menunjukkan hal yang baru dan sangat mengejutkan. Catatan tersebut menunjukkan angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak meningkat dan menempati posisi kedua setelah kekerasan fisik, yaitu sebesar 31%. Yang paling mengejutkan adalah tingginya angka kekerasan seksual di ranah privat yang dilakukan oleh orang-orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga dengan korban, yaitu sebanyak 1.210 kasus. Menempati posisi kedua adalah kasus pemerkosaan sebanyak 619 kasus, kemudian persetubuhan/eksploitasi seksual sebanyak 555 kasus. Dari total 1.210 kasus incest (pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga), sejumlah 266 kasus (22%) dilaporkan ke polisi dan yang masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%).
Kecilnya angka kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, dari jumlah kasus yang ditemukan, menunjukkan bahwa masih banyak di luar sana kasus serupa yang tidak terlaporkan dan akhirnya tidak ditangani pihak yang berwajib. Tingginya kasus yang tidak terlaporkan ini disebabkan beberapa faktor.
Pertama, kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan. Sering kali kekerasan seksual hanya dianggap sebagai pelecehan biasa saja dan dimaklumi, setelah itu dianggap bisa diselesaikan secara kekeluargaan, bahkan tanpa mempertimbangkan kondisi fisik maupun psikis korban.
Kedua, korban pelecehan seksual tidak tahu-menahu harus melakukan apa dan bahkan kebingungan harus mengadukan hal yang baru saja dialaminya kepada siapa. Hal ini sering terjadi karena tidak sedikit korban dan keluarga menganggap ini adalah aib sehingga keluarga akan menanggung malu jika sampai kasusnya diketahui oleh orang lain.
Ketiga, jikapun korban berani melaporkan kepada pihak berwajib, siap-siap saja korban akan berhadapan dengan sederet pertanyaan yang menyudutkan seperti “sedang di mana?”, “bersama siapa dan sedang melakukan apa?”, atau bahkan “memakai baju apa?”, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejahatan pelaku.
Tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak menjadi permasalahan besar di berbagai belahan negara karena kasus ini tidak mengenal apakah itu negara maju atau berkembang, yang akhirnya isu ini menjadi isu bersama. Salah satu concern UN Women atas perlindungan bagi korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak adalah dengan mengesahkan dan mengimplementasikan hukum dan kebijakan yang efektif. Beberapa tahun belakangan, beberapa negara mendapat tuntutan untuk segera membentuk undang-undang baru ataupun merevisi undang-undang yang dirasa diskriminatif terhadap korban kekerasan seksual.
Negara yang akhirnya berhasil merevisi undang-undangnya, setelah beberapa tahun, adalah Tunisia, Yordania, dan Lebanon. Ketiga negara ini, pada tahun 2017 lalu, sama-sama merevisi undang-undang yang diskriminatif terhadap korban, yaitu jika sebelumnya ada pasal yang mengampuni pelaku pemerkosa jika menikahi korban, pasal tersebut dihapuskan dan diganti dengan memberikan hukuman kepada pelaku. Terbaru adalah di Swedia, pada Juli 2018, Swedia memberlakukan undang-undang baru, yaitu seks tanpa persetujuan merupakan pemerkosaan. Dengan adanya undang-undang tersebut, jaksa penuntut tidak boleh meminta bukti berupa kekerasan atau mempertanyakan kondisi korban dalam upaya membuktikan bentuk pemerkosaan tersebut.
Usaha negara-negara tersebut untuk bisa mengesahkan undang-undang perlindungan perempuan terhadap kekerasan seksual tentu menemui beberapa polemik. Seperti halnya di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) juga menemui jalan terjal dan berliku. Untuk mendorong disahkannya RUU PKS ini dibutuhkan dukungan dari berbagai elemen, berbagai multi-stakeholder. Tidak sedikit instansi/lembaga yang menjadikan RUU PKS ini menjadi concern kelembagaan. Bahkan dalam Munas Alim Ulama-Konbes NU di Banjar, bulan Februari lalu, RUU PKS turut menjadi pembahasan dalam forum, yang menyebutkan bahwa NU menyepakati mendukung terbitnya RUU tersebut dengan beberapa catatan. Catatan yang dimaksud antara lain merekomendasikan adanya perubahan nama RUU itu menjadi RUU Pencegahan Kekerasan Seksual dengan alasan agar aspek preventif lebih menjadi perhatian.
Dari tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia, penulis menilai bahwa keberadaan RUU PKS memiliki urgensi yang tinggi dan bisa menjadi solusi yang paling memungkinkan untuk menekan bahkan memberantas kekerasan seksual yang hingga saat ini masih merajalela terjadi di Indonesia. Dengan berhasilnya pengesahan RUU PKS di Indonesia, penulis menilai nantinya Indonesia dengan segala kompleksitasnya akan bisa menjadi role model bagi negara-negara yang belum memberlakukan undang-undang serupa. Kopri PB PMII melalui Bidang Hubungan Internasional sebagai organisasi perempuan intelektual yang memiliki basis kader tersebar dari Sabang sampai Merauke, juga concern terhadap isu-isu perempuan dan anak, pada momentum International Women’s Day ini, turut mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS agar kepastian hukum terhadap perlindungan perempuan dapat terjamin di Indonesia.
Hasil musyawarah Konbes NU tersebut menjadi bukti dukungan terhadap terbitnya RUU PKS, di antara dukungan-dukungan lain yang terus mengalir dari berbagai segmen. Menurut pandangan penulis, Indonesia sebagai negara yang turut menyepakati Suistainable Development Goals (SDGs) 2030, semestinya segera mengesahkan RUU PKS ini sebagai komitmen dalam menjalankan program SDGs, goal kelima, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Dan, terakhir, satu kasus dari ribuan kasus yang berhasil mencuat ke permukaan adalah kasus Baiq Nuril yang gagal memperjuangkan haknya sebagai korban pelecehan seksual di ranah hukum menjadi gambaran betapa pentingnya RUU PKS ini untuk segera disahkan. Terakhir Kopri PB PMII mengajak kader Kopri di seluruh Indonesia untuk turut mendorong disahkannya RUU PKS.
(mhd)