Perlukah Wisata Halal di Bali?

Selasa, 05 Maret 2019 - 08:30 WIB
Perlukah Wisata Halal di Bali?
Perlukah Wisata Halal di Bali?
A A A
Sapta Nirwandar
Chairman Indonesia Halal Lifestyle Center dan Pemerhati Pariwisata

Dalam suatu wawancara dengan sebuah media, Rainier H Daulay --pemilik hotel halal Rhadana Kuta Bali--, dengan konsep muslim friendly menyatakan bahwa halal itu pilihan, kesempatan bisnis dan halal itu sehat sehingga tidak perlu di zonasi atau dikotak-kotakkan. Hotel Rhadana di Kuta Bali yang dikelola berdasarkan konsep halal untuk para pelanggannya tersebut mendapatkan award dari PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia) sebagai The Leading Muslim Friendly Hotel di Indonesia pada perayaan Ulang Tahun ke 50 PHRI. Konon Hotel Rhadana tidak sendirian sebagai hotel halal, tetapi ada Hotel Oasis dan yang lain di Bali.

Jadi, hotel dan restoran halal yang tersedia di Bali dan dunia esensinya adalah pelayanan untuk mempermudah, baik untuk wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan Nusantara (wisnus) yang jumlahnya cukup besar. Pelayanan ini akan menambah peluang bisnis dan memperbesar pangsa pasar, bukan sebaliknya mengurangi jumlah kunjungan.

Wisata halal itu adalah servis, sebagaimana dikemukakan oleh KH Ma’ruf Amin sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada High Level Discussion Ikatan Ahli Ekonomi Islam pada 2017. Menurutnya, "bicara wisata halal, yang dihalalkan bukan destinasi atau tempat tujuan wisatanya, melainkan pelayanannya. Termasuk di dalamnya hotel, restoran halal dan spa pun harus halal". Demikian juga dalam kesempatan itu Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan, "Halal tourism jangan berdasarkan zonasi, yang perlu kita perkuat bukanlah zonasi halal, tapi barang dan jasa yang didorong agar sesuai dengan aturan syariat islam untuk wisata halal."

Dari pendapat para ulama dan kalangan pemerintah tersebut, seharusnya tidak perlu dipertentangkan antara wisata halal atau disebut juga muslim friendly dengan adat budaya dan agama yang ada di Indonesia, karena esensinya adalah pelayanan bagi yang membutuhkan dan terbuka bagi masyarakat untuk menjadikan peluang bisnis bagi siapa pun, tidak selalu harus muslim, sepanjang sesuai dengan aturan dan nilai Islam. Banyak pemilik produk, hotel, dan restoran halal yang nonmuslim, apalagi untuk mengonsumsi produk halal tidak ada batasan, halal adalah bagi semua manusia seperti diamanahkan dalam Alquran (Al Baqarah ayat 168), tidak eksklusif untuk kaum muslim, karena halal diakui sebagai healthy dan safety bagi produk dan jasa.

Wisata Halal di Sejumlah Negara
Jadi tidak heran kalau negara seperti Jepang, Korea, Thailand, Singapura, bahkan Taiwan menyediakan fasilitas bagi pelancong dan penduduk yang bermukim, produk dan jasa halal. Korea pada 2015 telah memiliki 150 restoran halal yang dapat diakses melalui daring, fasilitas ibadah pun terdapat di beberapa destinasi wisata seperti Pulau Nami yang terkenal karena drama Korea Winter Sonata, Gunung Sorak, dan tentunya di ibu kota Seoul. Saat ini mereka masuk ke Industri kosmetik halal untuk diekspor ke negara OIC. Negara Jepang juga sangat mempermudah produk dan pelayanan bagi wisatawan muslim di bandara, hotel dan restoran.

Apalagi Thailand negara pariwisata nomor tiga penghasil devisa di dunia, dengan jumlah perolehan devisa lebih dari 50 miliar dolar pada 2017 kunjungan wisman muslimnya sekitar 5,2 juta orang. Bahkan Thailand menjadi negara pengekspor produk makanan olahan halal, sekitar 25% dari total ekspornya. Thailand sangat sigap walaupun jumlah penduduk muslimnya hanya 5% (sekitar 6 juta) dari total penduduk.Thailand menjaring pasar wisman muslim dunia dengan menyediakan hotel halal dan restoran. Sebagai contoh hotel Al-Meroz Bangkok, hotel bintang 5 yang mem-branding hotelnya sebagai The Leading Halal Hotel , selanjutnya di daerah pariwisata yang mempunyai daerah pantai "hot spot" seperti Phuket dan Pattaya tersedia hotel dan restoran halal. Tentu yang tidak halal juga tersedia, itu hanya soal pilihan.
Singapura sepengetahuan saya semua franchise sudah berlogo halal, mengapa? Sederhana saja alasan mereka dengan logo dan sertifikasi halal kita tidak kehilangan pelanggan muslim, dibandingkan bila kita tidak bersertifikat halal. Memang masyarakat muslim Singapura hanya sekitar 700-800 ribu, tetapi mempunyai income middle class ke atas, sehingga mempunyai bergaining power kepada para produsen. Contoh lain yang mungkin lebih dekat kalau kita bandingkan dengan pariwisata dan industri halal Malaysia, dari laporan Global Islamic Economy (GIE) Negeri Jiran menduduki rangking tinggi pada sektor-sektor keuangan, makanan, pariwisata, farmasi dan kosmetik.

Berdasarkan Global Muslim Travel Index Report (GMTI), Malaysia sudah sejak lama bertengger di peringkat pertama. Kelebihan utama Malaysia selain akses dan amenitas, juga pelayanan kepada wisatawan muslim. Lebih dari itu untuk pelancong dari Timur Tengah diberikan fasilitas restoran, hotel dan spa halal di Jalan Bukit Bintang yang dibuka sampai jam 04.30 untuk memenuhi lifestyle wisatawan Timur Tengah. Lebih dari itu, Malaysia juga menerapkan aturan yang sangat ketat untuk perlindungan konsumen bila restoran tersebut menyediakan makanan nonhalal dan halal maka dapurnya pun harus terpisah atau dua dapur.

Potensi Wisata Halal Indonesia
Bila kita menyimak jumlah kunjungan wisatawan muslim ke negara-negara ASEAN, seperti Malaysia 6,4 juta orang, Thailand 5,2 juta, Singapura 4,1 juta orang, dan Indonesia masih tertinggal jauh sekitar 3 juta orang (data Kementerian Pariwisata). Berkaca dari perkembangan wisata halal di negara tersebut, mestinya Indonesia sebagai negara yang mempunyai potensi besar mengembangkan wisata halal, lebih jauh lagi halal industri.Tidak hanya untuk wisman muslim tetapi juga wisnus yang jumlah kunjungannya 275 juta. Tentu sebagian besar membutuhkan pelayanan hotel, restoran halal, tempat ibadah bagi wisatawan muslim. Ditambah wisman muslim yang juga ingin berkunjung ke Indonesia karena dikenal mempunyai penduduk muslim yang besar, sejarah, adat dan budaya yang beragam.
Dari catatan Global Islamic Economy Report yang disusun Dinar Standard wisatawan muslim itu mempunyai spending terhadap produk halal yang cukup tinggi, mencapai USD2,101 triliun pada 2017 dan diperkirakan akan mencapai USD3,007 triliun pada 2023, untuk sektor pariwisata atau halal travel sendiri mencapai (USD177 triliun) dengan jumlah kunjungan sekitar 131 juta orang.

Kita masih ingat Raja Salman saat datang ke Bali, tidak hanya spending- nya yang besar, tetapi juga berdampak pada brand image Bali yang akan meningkatkan kunjungan wisatawan Timur Tengah khususnya dari Arab Saudi ke Bali. Sayangnya jumlah kunjungan wisman dari Timur Tengah pada 2018 menurun (-6,3% dari 2017) yakni hanya 266.200 wisatawan (data BPS). Belum lagi bila kita memperhitungkan wisman dari negara maju non OIC seperti dari Perancis, Inggris, Jerman yang mempunyai spending lebih tinggi dibandingkan wisatawan konvensional dari China.

Halal economy yang di dalamnya halal tourism sudah menjadi global trend dan peluang bisnis yang besar. Hal ini utamanya disebabkan pertumbuhan ekonomi penduduk muslim dunia yang berjumlah 1,8 miliar (25% penduduk dunia) dan GDP 7.580 triliun dolar AS dengan daya beli yang relatif tinggi. Tinggal bagaimana kita dapat mengambil peluang atau kita akan tertinggal dengan para pesaing kita negara-negara ASEAN lainnya, atau kita lebih menjadi konsumen dibandingkan produsen.

Pariwisata adalah salah satu mesin efektif menghasilkan devisa dengan proses yang relatif cepat. Pariwisata adalah akses, amenitas dan atraksi serta pelayanan. Bagi pelancong muslim mereka membutuhkan pelayanan khusus seperti restoran halal, hotel, spa, tempat ibadah untuk memberikan keamanan dan kenyamanan. Fasilitas hotel dan restoran tidak eksklusif hanya untuk pelanggan muslim, tetapi juga dapat dinikmati nonmuslim, seperti tersedianya vegetarian food bagi pemeluk agama tertentu.

Rasanya, soal wisata halal tidak perlu dijadikan polemik apalagi komoditi politik menjelang pemilihan presiden (pilpres), masalahnya sudah jelas soal pelayanan. Bali menurut saya tidak akan berubah tetap jadi Bali, seperti juga Bangkok, Tokyo, Osaka, dan Seoul tidak akan berubah pada dasarnya. Bahkan, pelayanan bagi pelancong muslim ini menjadi tambahan pengunjung dan peluang bisnis. Wallahu A'lam.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3676 seconds (0.1#10.140)