Menangkal Hoaks, Membenahi Pendidikan Agama

Senin, 25 Februari 2019 - 09:05 WIB
Menangkal Hoaks, Membenahi Pendidikan Agama
Menangkal Hoaks, Membenahi Pendidikan Agama
A A A
Muhtadin AR
ASN Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI

HOAKS dan ujaran kebencian hari ini telah sampai pada tahap sangat mengkhawatirkan. Penyebarannya tidak hanya meracuni cara berpikir masyarakat, tetapi juga mengancam keutuhan bangsa. Rasa saling benci dan hilangnya kepercayaan di antara sesama anak bangsa menjadi pemandangan yang setiap saat kita saksikan.

Pertanyaannya, mengapa hoaks dan ujaran kebencian bisa menyebar begitu cepat? Sebegitu mudahkah masyarakat bertindak tanpa terlebih dahulu memfilter informasi yang diterimanya? Sebegitu rapuhkah ikatan sosial kita sehingga hanya dengan beberapa kata saja teman jadi lawan dan lawan jadi teman? Tidak sadarkah kita bahwa yang beredar itu adalah hoaks?

Pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab dengan sangat sederhana, yaitu karena hoaks dan ujaran kebencian diproduksi dengan melibatkan tokoh agama serta disampaikan di mimbar-mimbar agama sehingga penerimanya menganggap sebagai sebuah kebenaran. Namun, jika dikaji secara saksama, fenomena hoaks dan ujaran kebencian hari ini sebenarnya adalah panen dari tanaman pendidikan agama yang kita tanam di lembaga pendidikan puluhan tahun sebelumnya.

Ada dua persoalan besar dalam pengajaran agama (Islam) di dunia pendidikan kita, yaitu kurikulumnya dan guru agamanya. Dari sisi kurikulum, materi pendidikan agama yang diajarkan di sekolah umum sangat bermasalah, karena kurikulum pendidikan agama hanya memotret wajah agama secara simbolik dan tidak pernah menampilkan wajah agama yang substansialis.

Saat mempelajari materi salat (fikih) misalnya, kurikulum kita hanya menjangkau syariatnya saja, sementara maqasid -nya tidak. Misalnya saat mempelajari materi salat yang terpapar hanyalah syarat rukunnya, sedangkan makna dibalik salat itu sendiri, seperti makna takbir, pesan salam, sujud, dan lainnya, tidak diajarkan.

Demikian juga saat mempelajari sejarah Islam. Kurikulum sejarah hanya memuat tentang peristiwanya (khadhoroh ) saja, sementara makna dibalik peristiwa atau kita kenal dengan tsamrotul khadhoroh sama sekali tidak terpapar dalam kurikulum. Padahal kita tahu ketika sejarah hanya dipelajari peristiwanya saja, maka yang muncul hanyalah kebanggaan sebagai pemenang atau kebencian sebagai yang kalah.

Kekurangan dalam kurikulum ini sebenarnya bisa ditutupi oleh penguasaan materi yang baik dari guru. Guru bisa menyampaikan pesan utama agama yang substansialis dari serangkaian materi yang ada dalam kurikulum itu sendiri. Masalahnya, guru agama hari ini juga menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Karena sangat sedikit guru agama yang memiliki penguasaan materi dengan baik.

Rendahnya penguasaan materi agama para guru ini sangat bisa dimaklumi karena memang dari hulunya sudah bermasalah. Bayangkan, pelajaran agama di sekolah yang isinya empat rumpun mata pelajaran berat, yakni Alquran Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, dan Sejarah Islam, hanya diajarkan beberapa semester saja. Karena sisanya untuk belajar mata kuliah umum dan pedagogi, yaitu tentang tata cara mengajar.

Andai semua mata kuliah di Fakultas Tarbiah (atau Fakultas Agama Islam) dirancang untuk mempelajari semua konten pelajaran agama saja masih kurang, apalagi hanya beberapa mata kuliah. Ini belum termasuk problem bahasa (Arab) yang harus dikuasai karena sumber utama materi agama adalah khazanah klasik yang ada dalam turats (kitab kuning).

Inilah dua masalah besar memberi andil besar terhadap pembentukan pola pikir keagamaan para siswa. Pendidikan agama diajarkan dengan materi yang dangkal dan disampaikan dengan penyampaian dangkal pula. Dampaknya adalah apa yang kita saksikan hari ini. Maraknya hoaks dan ujaran kebencian bukan kita sikapi dengan berpikir jernih, membuka kitab rujukan untuk mengetahui asal usul masalah, tapi justru langsung menyebarkannya.

Tidak ada kritisisme dalam diri kita karena yang ditanamkan dalam pikiran kita adalah hitam putih, bukan pilihan-pilihan, karena memang kurikulumnya tidak memberikan keleluasaan berpikir dan pemberi materinya tidak menginformasikan adanya pendapat lain tentang sebuah masalah.

Memang Kurikulum 2013 sangat menekankan mengenai pentingnya pendidikan karakter. Tetapi, mudahnya kita menyebar berita hoaks dan ujaran kebencian adalah antitesa bahwa pembentukan karakter itu tidak bisa dibentuk satu dua tahun. Karakter kita hari ini adalah pembentukan dari dunia pendidikan puluhan tahun lalu.

Lalu apa yang mesti dilakukan dengan kondisi ini? Pertama, merombak kurikulum pendidikan agama. Kurikulum harus diarahkan pada konten berisi Islam substantif. Pesan-pesan agama dibalik ritual keagamaan harus lebih diungkap agar siswa mengetahui pesan utama (maqashid ) dari sebuah ajaran agama.

Penyusun kurikulum pendidikan agama harus diberikan kepada para ahli agama yang nasionalis. Orang-orang yang menguasai turats (khazanah klasik, tempat dalil-dalil agama diambil) dengan baik harus dilibatkan agar pesan utama agama bisa ditampilkan dengan benar. Orang-orang yang memiliki penguasaan agama bagus, tetapi tidak nasional jangan dilibatkan, karena tidak akan menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya.

Kedua, merombak Fakultas Tarbiah di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) atau Fakultas Agama Islam di perguruan tinggi umum (PTU) sebagai tempatnya memproduksi guru agama. Jika mata kuliah yang berisi konten agama porsinya hanya 30%, kalah dengan mata kuliah umum dan pengajaran pedagogi yang mendapat porsi hampir 70%, maka harus dibalik, 70% berisi mata kuliah konten agama.

Tak hanya itu, input di fakultas ini harus difokuskan kepada anak-anak lulusan pendidikan agama, madrasah aliah, atau pondok pesantren. Asupan ini akan mempercepat akselerasi pemahaman keagamaan para calon guru. Dua hal ini tidak hanya akan menyelamatkan masa depan generasi muda agar memiliki pandangan keagamaan yang moderat dan toleran, tetapi juga masa depan bangsa bahwa bangsa ini dibangun di atas keragaman suku, agama, dan golongan.

Inilah saat yang tepat melakukan perubahan. Jika hari ini kita menanam, maka besok kita akan memanen (Man Yazra’ Yakhshud ). Jika hari ini kita menanam kebaikan, maka besok kita akan mendapati generasi yang senang berbuat kebajikan. Jika hari ini kita menanamkan cara pandang keagamaan yang toleran, maka besok kita akan memanen kehidupan yang toleran.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3713 seconds (0.1#10.140)