Memahami Tren Kreativitas Komunikasi Pemasaran
A
A
A
Romano Bhaktinegara
Jurnalis, PR & Marketing Expert
PADA saat media semakin clutter dengan berbagai iklan yang ditampilkan, bagian pemasaran suatu perusahaan pastinya berusaha keras memanfaatkan media ruang luar, atau alternatif lain dengan cara seunik mungkin, dan berlomba membuat iklan yang lebih kreatif dari para pesaing. Tujuannya jelas, agar masyarakat yang kebetulan melihatnya, langsung memberikan perhatian dan ingat akan pesan yang disampaikan oleh iklan tersebut. Kemudian diharapkan menjadi viral, dan word of mouth karena dianggap berani berpikir secara out of the box atau di luar kebiasaan dari orang lain.
Pertanyaannya, sampai sejauh mana kreativitas suatu kampanye pemasaran itu bisa diciptakan dan diterapkan agar perusahaan dapat menjadi outstanding––paling mudah dilihat dan paling dibicarakan?
Selanjutnya apabila kreativitas tersebut nantinya dianggap melecehkan atau melanggar etika, sehingga menyebabkan krisis humas yang mengancam, bahkan mencoreng citra perusahaan ataupun individu, bagaimana agar perusahaan yang bersangkutan maupun perusahaan lain mau belajar dari pengalaman, lebih berhati-hati, dan lebih peka terhadap masalah sensitif di kemudian hari. Atau bisa saja dengan mengevaluasi panduan (guidelines) dan etika perilaku (codes of conduct) untuk mencegah krisis serupa terjadi lagi di masa mendatang.
Beberapa waktu lalu, publik diramaikan dengan konten Gojek di media sosial yang diindikasikan mendukung LGBT. Dalam postingan tersebut, Gojek menerima beragam latar belakang karyawan, termasuk LGBT. Tertulis Gojek memiliki sekitar 30 lebih karyawan LGBT. Postingan tersebut kemudian menuai respons negatif dari masyarakat Indonesia.
Gojek menyatakan sangat menghargai keberagaman dan percaya bahwa ide serta kreativitas yang menjadi kunci untuk melahirkan inovasi bermanfaat bagi masyarakat. Sejumlah warganet kemudian mengutarakan kekecewaan mereka pada Gojek dengan mem-posting tulisan bertajuk #uninstallgojek.
Namun, hal ini belum membuat Gojek lebih peka terhadap kondisi dan situasi di Indonesia. Baru saja mereka memulai kampanye diskon besar, yang dengan bangga mengklaim telah membajak poster pemilu di seluruh kota, dengan menampilkan visual serupa dengan bentuk seolah-olah kampanye politik sejumlah tokoh yang sedang berlomba meraih dukungan masyarakat agar terpilih menjadi anggota legislatif.
Saya tidak bertujuan menjelekkan salah satu unicorn kebanggaan nasional ini. Namun, di tengah kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam perjalanan menghadapi pesta demokrasi pada April mendatang, masyarakat masih butuh edukasi lebih lanjut akan pentingnya demokrasi, pentingnya memilih calon yang tepat dan tidak menjadi golput.Di tengah upaya sejumlah tokoh menjaga keutuhan bangsa menjelang pemilu, berusaha agar dinamika geopolitik tidak sampai menimbulkan perpecahan di antara sesama anak bangsa, Gojek justru seolah menganggap remeh pesta demokrasi dengan menambah gaduh poster-poster iklan bertema politik.
Mungkin saya akan dianggap berlebihan, terlalu membesarkan masalah, tapi saya merasa perlu mengingatkan, hal tersebut bisa saja membuat persepsi pesta demokrasi yang menentukan arah masa depan bangsa menjadi seolah tidak penting dan olok-olokan semata. Bahkan bisa meningkatkan sikap apatis masyarakat dalam menyambut momen penting ini.
Sebagian masyarakat Jakarta yang sudah cerdas mungkin tidak akan berpikir kampanye pemasaran tersebut akan berpotensi membawa dampak negatif secara luas, hanya kreativitas tim pemasaran dalam mencari perhatian. Namun, jangan sampai melupakan golongan masyarakat yang bisa saja terpengaruh oleh iklan tersebut menyamakan materi kampanye politik dengan komersial, misalnya.
Riding the moment adalah salah satu strategi jitu pemasaran, namun tidak semua momen bisa ditunggangi, dan setiap negara punya kondisi yang berbeda sehingga jangan sampai hal ini menjadi blunder karena menyentuh hal sensitif. Saya sempat berpikir apa mungkin tim kreatifnya terinspirasi dari konten viral di media sosial, ya? Di mana sejumlah anak muda mengampanyekan pasangan imajiner Nurhadi-Aldo, disingkat DILDO, dan sempat menjadi perhatian utama. Prinsipnya yang penting viral.
Kasus dari salah perkiraan riding the moment yang baru terjadi lainnya adalah tagar #uninstallbukalapak dan menjadi trending topic atau pembicaraan nomor satu di Indonesia. Ini disebabkan oleh salah satu cuitan bos Bukalapak yang menyinggung “presiden baru”. Meskipun akhirnya pihak Bukalapak minta maaf kepada pendukung Presiden Joko Widodo, hal ini pastinya sudah memberikan citra buruk dan kerugian tidak sedikit bagi Bukalapak.
Seperti peribahasa di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, suatu organisasi atau perusahaan harus sensitif terhadap situasi dan kondisi bangsa tempat mereka beroperasi. Tentunya, tanpa harus mengorbankan kreativitas itu sendiri, ataupun berlindung atas nama kreativitas dan bisa berbuat semaunya.
Kreativitas lain yang tidak peka terhadap isu sensitif misalnya pada iklan Shopee dengan menggunakan tokoh publik dari negara lain “Blackpink” untuk menarik perhatian. Produk e-commerce tersebut diboikot oleh beberapa pihak karena dianggap sebagai tayangan yang kurang mendidik, khususnya anak-anak, karena mempertontonkan sekelompok perempuan mengenakan pakaian pas-pasan, dianggap seronok dan jauh dari cerminan nilai Pancasila.
Kasus Shopee kemudian menjadi viral, bahkan masalah ini membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengambil keputusan dengan melayangkan peringatan keras kepada 11 stasiun televisi yang menayangkan iklan tersebut.
Berbeda dengan kondisi di Indonesia dengan di luar negeri, misalnya di Amerika, isu ras masih menjadi masalah besar di negara tersebut. Perusahaan besar seperti Starbucks pernah tersandung kasus dengan kampanye #RaceTogether. Niat Starbucks sejatinya baik, ingin perusahaannya memiliki tanggung jawab untuk menangani hubungan antarras Amerika dengan cara menggugah percakapan, kasih sayang, dan tindakan di sekitar ras, sementara mereka menunggu kopi disiapkan. Namun apa yang terjadi, malah disambut dengan reaksi negatif, cemoohan dari para wartawan dan para pengguna media sosial.
Manajemen atas perusahaan boleh saja diisi oleh orang asing, yang memang semakin umum kita lihat, mereka mungkin saja membawa ilmu baru namun kurang memahami kondisi nasional dan kearifan lokal. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita yang merupakan figur pendukung dalam perusahaan harus mengingatkan atasan kita, menjadi penjaga akhir dari apa yang akan kita kreasikan, paling tidak sudah berusaha mengingatkan.
Karena selain dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif, kita juga wajib mencerdaskan sesama anak bangsa, bukan hanya mengikuti orientasi dari sebuah bisnis yang sekadar mencari keuntungan sebanyak-banyaknya melalui kampanye pemasaran yang sukses dan menjadi pembicaraan, atau bahkan hanya prinsip “yang penting viral”.
Jurnalis, PR & Marketing Expert
PADA saat media semakin clutter dengan berbagai iklan yang ditampilkan, bagian pemasaran suatu perusahaan pastinya berusaha keras memanfaatkan media ruang luar, atau alternatif lain dengan cara seunik mungkin, dan berlomba membuat iklan yang lebih kreatif dari para pesaing. Tujuannya jelas, agar masyarakat yang kebetulan melihatnya, langsung memberikan perhatian dan ingat akan pesan yang disampaikan oleh iklan tersebut. Kemudian diharapkan menjadi viral, dan word of mouth karena dianggap berani berpikir secara out of the box atau di luar kebiasaan dari orang lain.
Pertanyaannya, sampai sejauh mana kreativitas suatu kampanye pemasaran itu bisa diciptakan dan diterapkan agar perusahaan dapat menjadi outstanding––paling mudah dilihat dan paling dibicarakan?
Selanjutnya apabila kreativitas tersebut nantinya dianggap melecehkan atau melanggar etika, sehingga menyebabkan krisis humas yang mengancam, bahkan mencoreng citra perusahaan ataupun individu, bagaimana agar perusahaan yang bersangkutan maupun perusahaan lain mau belajar dari pengalaman, lebih berhati-hati, dan lebih peka terhadap masalah sensitif di kemudian hari. Atau bisa saja dengan mengevaluasi panduan (guidelines) dan etika perilaku (codes of conduct) untuk mencegah krisis serupa terjadi lagi di masa mendatang.
Beberapa waktu lalu, publik diramaikan dengan konten Gojek di media sosial yang diindikasikan mendukung LGBT. Dalam postingan tersebut, Gojek menerima beragam latar belakang karyawan, termasuk LGBT. Tertulis Gojek memiliki sekitar 30 lebih karyawan LGBT. Postingan tersebut kemudian menuai respons negatif dari masyarakat Indonesia.
Gojek menyatakan sangat menghargai keberagaman dan percaya bahwa ide serta kreativitas yang menjadi kunci untuk melahirkan inovasi bermanfaat bagi masyarakat. Sejumlah warganet kemudian mengutarakan kekecewaan mereka pada Gojek dengan mem-posting tulisan bertajuk #uninstallgojek.
Namun, hal ini belum membuat Gojek lebih peka terhadap kondisi dan situasi di Indonesia. Baru saja mereka memulai kampanye diskon besar, yang dengan bangga mengklaim telah membajak poster pemilu di seluruh kota, dengan menampilkan visual serupa dengan bentuk seolah-olah kampanye politik sejumlah tokoh yang sedang berlomba meraih dukungan masyarakat agar terpilih menjadi anggota legislatif.
Saya tidak bertujuan menjelekkan salah satu unicorn kebanggaan nasional ini. Namun, di tengah kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam perjalanan menghadapi pesta demokrasi pada April mendatang, masyarakat masih butuh edukasi lebih lanjut akan pentingnya demokrasi, pentingnya memilih calon yang tepat dan tidak menjadi golput.Di tengah upaya sejumlah tokoh menjaga keutuhan bangsa menjelang pemilu, berusaha agar dinamika geopolitik tidak sampai menimbulkan perpecahan di antara sesama anak bangsa, Gojek justru seolah menganggap remeh pesta demokrasi dengan menambah gaduh poster-poster iklan bertema politik.
Mungkin saya akan dianggap berlebihan, terlalu membesarkan masalah, tapi saya merasa perlu mengingatkan, hal tersebut bisa saja membuat persepsi pesta demokrasi yang menentukan arah masa depan bangsa menjadi seolah tidak penting dan olok-olokan semata. Bahkan bisa meningkatkan sikap apatis masyarakat dalam menyambut momen penting ini.
Sebagian masyarakat Jakarta yang sudah cerdas mungkin tidak akan berpikir kampanye pemasaran tersebut akan berpotensi membawa dampak negatif secara luas, hanya kreativitas tim pemasaran dalam mencari perhatian. Namun, jangan sampai melupakan golongan masyarakat yang bisa saja terpengaruh oleh iklan tersebut menyamakan materi kampanye politik dengan komersial, misalnya.
Riding the moment adalah salah satu strategi jitu pemasaran, namun tidak semua momen bisa ditunggangi, dan setiap negara punya kondisi yang berbeda sehingga jangan sampai hal ini menjadi blunder karena menyentuh hal sensitif. Saya sempat berpikir apa mungkin tim kreatifnya terinspirasi dari konten viral di media sosial, ya? Di mana sejumlah anak muda mengampanyekan pasangan imajiner Nurhadi-Aldo, disingkat DILDO, dan sempat menjadi perhatian utama. Prinsipnya yang penting viral.
Kasus dari salah perkiraan riding the moment yang baru terjadi lainnya adalah tagar #uninstallbukalapak dan menjadi trending topic atau pembicaraan nomor satu di Indonesia. Ini disebabkan oleh salah satu cuitan bos Bukalapak yang menyinggung “presiden baru”. Meskipun akhirnya pihak Bukalapak minta maaf kepada pendukung Presiden Joko Widodo, hal ini pastinya sudah memberikan citra buruk dan kerugian tidak sedikit bagi Bukalapak.
Seperti peribahasa di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, suatu organisasi atau perusahaan harus sensitif terhadap situasi dan kondisi bangsa tempat mereka beroperasi. Tentunya, tanpa harus mengorbankan kreativitas itu sendiri, ataupun berlindung atas nama kreativitas dan bisa berbuat semaunya.
Kreativitas lain yang tidak peka terhadap isu sensitif misalnya pada iklan Shopee dengan menggunakan tokoh publik dari negara lain “Blackpink” untuk menarik perhatian. Produk e-commerce tersebut diboikot oleh beberapa pihak karena dianggap sebagai tayangan yang kurang mendidik, khususnya anak-anak, karena mempertontonkan sekelompok perempuan mengenakan pakaian pas-pasan, dianggap seronok dan jauh dari cerminan nilai Pancasila.
Kasus Shopee kemudian menjadi viral, bahkan masalah ini membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengambil keputusan dengan melayangkan peringatan keras kepada 11 stasiun televisi yang menayangkan iklan tersebut.
Berbeda dengan kondisi di Indonesia dengan di luar negeri, misalnya di Amerika, isu ras masih menjadi masalah besar di negara tersebut. Perusahaan besar seperti Starbucks pernah tersandung kasus dengan kampanye #RaceTogether. Niat Starbucks sejatinya baik, ingin perusahaannya memiliki tanggung jawab untuk menangani hubungan antarras Amerika dengan cara menggugah percakapan, kasih sayang, dan tindakan di sekitar ras, sementara mereka menunggu kopi disiapkan. Namun apa yang terjadi, malah disambut dengan reaksi negatif, cemoohan dari para wartawan dan para pengguna media sosial.
Manajemen atas perusahaan boleh saja diisi oleh orang asing, yang memang semakin umum kita lihat, mereka mungkin saja membawa ilmu baru namun kurang memahami kondisi nasional dan kearifan lokal. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita yang merupakan figur pendukung dalam perusahaan harus mengingatkan atasan kita, menjadi penjaga akhir dari apa yang akan kita kreasikan, paling tidak sudah berusaha mengingatkan.
Karena selain dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif, kita juga wajib mencerdaskan sesama anak bangsa, bukan hanya mengikuti orientasi dari sebuah bisnis yang sekadar mencari keuntungan sebanyak-banyaknya melalui kampanye pemasaran yang sukses dan menjadi pembicaraan, atau bahkan hanya prinsip “yang penting viral”.
(whb)