Kedelai dan Sawit
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
PARA pelaku pasar dan kebijakan ekonomi mungkin harus menunggu lebih sabar karena perundingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China di bulan Februari ini belum akan tuntas. Lambatnya kedua negara untuk mencapai kesepakatan bisa diterjemahkan sebagai situasi di mana perundingan bukan hanya menghadapi teknis soal perdagangan tetapi juga ideologi.
Meski demikian, ada harapan bahwa perundingan AS-China akan mulai bergerak maju karena ada pernyataan bahwa China akan membeli lebih banyak kedelai dari AS. Mengapa kedelai menjadi perang proksi bagi AS dan China?
Pada saat perang dagang dimulai antara AS-China setahun yang lalu, Indonesia mengharapkan durian jatuh. Saat itu China mengenakan tarif sebesar 25% untuk impor kedelai dari AS. Tindakan itu adalah pembalasan kepada AS akibat kenaikan yang dikenakan AS atas produk-produk China sebesar 15-25%.
Tingginya kenaikan tarif impor oleh China kepada AS terutama akan berpengaruh kepada produsen kacang kedelai di AS. China membutuhkan kedelai sebagai salah satu alternatif sumber minyak nabati (vegetable oil).
Bila tidak membeli kedelai maka pilihan lainnya adalah minyak dari kelapa sawit, bunga matahari dan rapeseed. Kelapa sawit sendiri saat ini diproduksi utamanya oleh Indonesia dan Malaysia.
China sendiri telah mengimpor 88 juta ton kedelai pada 2018. Impor ini turun dari 95,5 juta ton pada 2017. Impor itu sebagian besar dipenuhi oleh para petani AS. Mereka dapat mengekspor rata-rata 30 juta hingga 35 juta metrik ton per tahun. Ekspor itu terganggu di musim panas tahun lalu ketika ekspor kedelai terjebak dalam sengketa perdagangan.
Indonesia berharap bahwa pengenaan tarif atas produk AS terutama kedelai akan meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke China. Harapan itu terutama untuk memenuhi kemungkinan merosotnya ekspor kedelai ke China sebesar 60%. Nyatanya, harapan itu belum dapat dipenuhi oleh eksportir CPO Indonesia karena beberapa alasan.
Alasan pertama adalah karena AS-China memulai perundingan perdagangan yang menyebabkan perang dagang dihentikan dulu. Oleh sebab itu, menjelang perundingan perang dagang, China memesan kedelai pada AS awal Desember sebesar 5 juta ton. Pembelian itu membantu AS mengurangi subsidi kepada para petani yang menyebabkan anggaran belanja defisit.
Alasan kedua adalah ternyata tidak mudah untuk menggantikan kedelai dengan sawit karena dua pertiga dari ekspor kedelai AS ke China adalah untuk pakan ternak bukan untuk konsumsi. Hanya sepertiga dari ekspor itu yang digunakan untuk konsumsi makan sehari-hari dan 90% saja yang berbentuk minyak.
Ternyata, konsumen China juga sangat gemar minyak rapeseed dan minyak kedelai. Kalaupun ada minyak lain maka yang lebih disukai konsumen rumah tangga adalah minyak zaitun, minyak jagung dan minyak biji bunga matahari. Alasannya karena informasi kesehatan yang beredar di sana. Industri makanan lebih memilih minyak sawit karena lebih murah untuk menghemat biaya produksi.
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa berasumsi terlalu besar akan daya tarik minyak sawit, bahkan ketika harganya murah sekalipun. Pilihan jenis minyak nabati sangat dipengaruhi pengetahuan konsumen tentang nilai tambah dari kelapa sawit.
Ini pekerjaan rumah untuk mengampanyekan keunggulan minyak sawit dibandingkan minyak lain dalam bahasa yang dipahami konsumen China. Apabila konsumsi masyarakat menurun karena daya beli juga menurun, volume ekspor juga otomatis turun seperti yang terjadi pada Januari-Agustus 2018.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
PARA pelaku pasar dan kebijakan ekonomi mungkin harus menunggu lebih sabar karena perundingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China di bulan Februari ini belum akan tuntas. Lambatnya kedua negara untuk mencapai kesepakatan bisa diterjemahkan sebagai situasi di mana perundingan bukan hanya menghadapi teknis soal perdagangan tetapi juga ideologi.
Meski demikian, ada harapan bahwa perundingan AS-China akan mulai bergerak maju karena ada pernyataan bahwa China akan membeli lebih banyak kedelai dari AS. Mengapa kedelai menjadi perang proksi bagi AS dan China?
Pada saat perang dagang dimulai antara AS-China setahun yang lalu, Indonesia mengharapkan durian jatuh. Saat itu China mengenakan tarif sebesar 25% untuk impor kedelai dari AS. Tindakan itu adalah pembalasan kepada AS akibat kenaikan yang dikenakan AS atas produk-produk China sebesar 15-25%.
Tingginya kenaikan tarif impor oleh China kepada AS terutama akan berpengaruh kepada produsen kacang kedelai di AS. China membutuhkan kedelai sebagai salah satu alternatif sumber minyak nabati (vegetable oil).
Bila tidak membeli kedelai maka pilihan lainnya adalah minyak dari kelapa sawit, bunga matahari dan rapeseed. Kelapa sawit sendiri saat ini diproduksi utamanya oleh Indonesia dan Malaysia.
China sendiri telah mengimpor 88 juta ton kedelai pada 2018. Impor ini turun dari 95,5 juta ton pada 2017. Impor itu sebagian besar dipenuhi oleh para petani AS. Mereka dapat mengekspor rata-rata 30 juta hingga 35 juta metrik ton per tahun. Ekspor itu terganggu di musim panas tahun lalu ketika ekspor kedelai terjebak dalam sengketa perdagangan.
Indonesia berharap bahwa pengenaan tarif atas produk AS terutama kedelai akan meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke China. Harapan itu terutama untuk memenuhi kemungkinan merosotnya ekspor kedelai ke China sebesar 60%. Nyatanya, harapan itu belum dapat dipenuhi oleh eksportir CPO Indonesia karena beberapa alasan.
Alasan pertama adalah karena AS-China memulai perundingan perdagangan yang menyebabkan perang dagang dihentikan dulu. Oleh sebab itu, menjelang perundingan perang dagang, China memesan kedelai pada AS awal Desember sebesar 5 juta ton. Pembelian itu membantu AS mengurangi subsidi kepada para petani yang menyebabkan anggaran belanja defisit.
Alasan kedua adalah ternyata tidak mudah untuk menggantikan kedelai dengan sawit karena dua pertiga dari ekspor kedelai AS ke China adalah untuk pakan ternak bukan untuk konsumsi. Hanya sepertiga dari ekspor itu yang digunakan untuk konsumsi makan sehari-hari dan 90% saja yang berbentuk minyak.
Ternyata, konsumen China juga sangat gemar minyak rapeseed dan minyak kedelai. Kalaupun ada minyak lain maka yang lebih disukai konsumen rumah tangga adalah minyak zaitun, minyak jagung dan minyak biji bunga matahari. Alasannya karena informasi kesehatan yang beredar di sana. Industri makanan lebih memilih minyak sawit karena lebih murah untuk menghemat biaya produksi.
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa berasumsi terlalu besar akan daya tarik minyak sawit, bahkan ketika harganya murah sekalipun. Pilihan jenis minyak nabati sangat dipengaruhi pengetahuan konsumen tentang nilai tambah dari kelapa sawit.
Ini pekerjaan rumah untuk mengampanyekan keunggulan minyak sawit dibandingkan minyak lain dalam bahasa yang dipahami konsumen China. Apabila konsumsi masyarakat menurun karena daya beli juga menurun, volume ekspor juga otomatis turun seperti yang terjadi pada Januari-Agustus 2018.
(poe)