B20 Butuh Waktu untuk Menuju B100
A
A
A
PENYEBUTAN B20 sebagai salah satu bahan bakar alternatif begitu akrab di telinga masyarakat, namun masih banyak yang bertanya seperti apakah bentuk dari bahan bakar tersebut yang sejak akhir tahun lalu gencar disosialisasikan oleh pemerintah. Di luar dugaan, dalam putaran debat kedua Pilpres 2019, B20 seakan menjadi senjata utama calon presiden (capres) nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) dalam menyikapi persoalan energi bagi bangsa Indonesia. Jokowi yang kini masih menjadi orang nomor satu di negeri ini menyatakan mulai sekarang bertekad mengurangi penggunaan energi fosil dan mengoptimalkan B20 (biodiesel 20%) menuju B100.Lalu, penjelasan B20 itu seperti apa? Secara sederhana, B20 adalah bahan bakar diesel campuran minyak nabati sekitar 20% dan minyak bumi (petroleum diesel) sebanyak 80%. Lebih jauh bisa dijelaskan bahwa B20 adalah bahan bakar diesel yang ditambahkan fatty acid methyl ester (FAME) sekitar 20%. FAME yang lebih akrab disebut metil ester diproduksi melalui reaksi transesterifikasi antara penyusun utama minyak nabati dan metanol dengan bantuan katalis basa. Dan, metil ester inilah yang menjadi bahan baku pembuatan biodiesel karena sifat fisik atau molekulnya mirip dengan petroleum diesel. Salah satu sumber metil ester berasal dari minyak kelapa sawit yang banyak di negeri ini.
Pemerintah optimistis dalam tiga tahun ke depan bisa merealisasikan B100 secara bertahap. Sehubungan itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengaku telah menugasi PT Pertamina menghadirkan kilang yang bermitra dengan perusahaan minyak asal Italia. Kilang yang berlokasi di Plaju, Sumatera Selatan menelan investasi sebesar USD800 juta. Ke depan, sumber untuk membuat biodiesel tidak hanya mengandalkan minyak kelapa sawit tetapi juga berbagai minyak nabati lainnya, di antaranya berasal dari ampas tebu dan tanaman kaliandra. Peralihan dari B20 menjadi B100 diharapkan bisa menggantikan penggunaan solar.
Fokus pemerintah dalam memasyarakatkan B20 tidak sekadar untuk menggantikan pemakaian energi fosil yang cadangannya semakin menipis, tetapi juga dimaksudkan mengurangi impor bahan bakar solar sehingga bisa menghemat devisa negara. Berdasarkan perhitungan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution, apabila penggunaan biodiesel ini bisa terwujud hingga B90 maka negara akan menghemat devisa sekitar USD5 miliar hingga USD5,5 miliar per tahun. Sebagai bukti keseriusan pemerintah menggarap bahan bakar alternatif tersebut, sejak 1 September tahun lalu penerapan penggunaan B20 tidak hanya untuk public service obligation (PSO) tetapi juga non-PSO. Selain itu, program B20 salah satu solusi mengatasi kelebihan pasokan minyak sawit dalam negeri.Melihat angka-angka penyerapan B20 dalam dua tahun terakhir ini memang cukup signifikan. Penyerapan B20 pada 2017 telah mencapai sebanyak 2,22 juta ton kemudian melonjak menjadi sebesar 3,8 juta ton pada 2018 atau melonjak sekitar 72%. Di sisi lain, produksi minyak kelapa sawit kembali memecahkan rekor pada tahun lalu. Data yang dipublikasikan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan produksi minyak kelapa sawit pada tahun lalu tercatat sebanyak 43 juta ton, bandingkan tahun lalu yang hanya mencapai 28 juta ton atau naik sekitar 12,5%.
Memang masih sering timbul pertanyaan di kalangan masyarakat apakah penggunaan B20 aman untuk mesin kendaraan? Sebenarnya B20 bukanlah barang baru sebab pemerintah sudah mengenalkan sejak 2016 yang didistribusikan Pertamina namun namanya akrab di telinga dengan sebutan biosolar. Menjawab kekhawatiran masyarakat, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Darat telah melakukan uji coba dan menyatakan B20 telah lulus uji emisi kendaraan. Untuk itu, Kemenhub mendorong penggunaan bahan bakar tersebut untuk semua jenis kendaraan. Bahkan, pihak Pertamina mengklaim penggunaan B20 lebih irit dan ramah lingkungan karena kadar emisi karbon lebih rendah dibandingkan bahan bakar lainnya.
Akankah masyarakat berbondong-bondong beralih menggunakan B20? Jawabnya, sangat tergantung dukungan dari produsen kendaraan bermotor dalam artian menghadirkan kendaraan bermotor yang bersahabat B20, serta ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar B20 yang memadai. Jadi, semua stakeholder harus dilibatkan secara penuh untuk menyukseskan dari B20 menuju B100.
Pemerintah optimistis dalam tiga tahun ke depan bisa merealisasikan B100 secara bertahap. Sehubungan itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengaku telah menugasi PT Pertamina menghadirkan kilang yang bermitra dengan perusahaan minyak asal Italia. Kilang yang berlokasi di Plaju, Sumatera Selatan menelan investasi sebesar USD800 juta. Ke depan, sumber untuk membuat biodiesel tidak hanya mengandalkan minyak kelapa sawit tetapi juga berbagai minyak nabati lainnya, di antaranya berasal dari ampas tebu dan tanaman kaliandra. Peralihan dari B20 menjadi B100 diharapkan bisa menggantikan penggunaan solar.
Fokus pemerintah dalam memasyarakatkan B20 tidak sekadar untuk menggantikan pemakaian energi fosil yang cadangannya semakin menipis, tetapi juga dimaksudkan mengurangi impor bahan bakar solar sehingga bisa menghemat devisa negara. Berdasarkan perhitungan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution, apabila penggunaan biodiesel ini bisa terwujud hingga B90 maka negara akan menghemat devisa sekitar USD5 miliar hingga USD5,5 miliar per tahun. Sebagai bukti keseriusan pemerintah menggarap bahan bakar alternatif tersebut, sejak 1 September tahun lalu penerapan penggunaan B20 tidak hanya untuk public service obligation (PSO) tetapi juga non-PSO. Selain itu, program B20 salah satu solusi mengatasi kelebihan pasokan minyak sawit dalam negeri.Melihat angka-angka penyerapan B20 dalam dua tahun terakhir ini memang cukup signifikan. Penyerapan B20 pada 2017 telah mencapai sebanyak 2,22 juta ton kemudian melonjak menjadi sebesar 3,8 juta ton pada 2018 atau melonjak sekitar 72%. Di sisi lain, produksi minyak kelapa sawit kembali memecahkan rekor pada tahun lalu. Data yang dipublikasikan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan produksi minyak kelapa sawit pada tahun lalu tercatat sebanyak 43 juta ton, bandingkan tahun lalu yang hanya mencapai 28 juta ton atau naik sekitar 12,5%.
Memang masih sering timbul pertanyaan di kalangan masyarakat apakah penggunaan B20 aman untuk mesin kendaraan? Sebenarnya B20 bukanlah barang baru sebab pemerintah sudah mengenalkan sejak 2016 yang didistribusikan Pertamina namun namanya akrab di telinga dengan sebutan biosolar. Menjawab kekhawatiran masyarakat, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Darat telah melakukan uji coba dan menyatakan B20 telah lulus uji emisi kendaraan. Untuk itu, Kemenhub mendorong penggunaan bahan bakar tersebut untuk semua jenis kendaraan. Bahkan, pihak Pertamina mengklaim penggunaan B20 lebih irit dan ramah lingkungan karena kadar emisi karbon lebih rendah dibandingkan bahan bakar lainnya.
Akankah masyarakat berbondong-bondong beralih menggunakan B20? Jawabnya, sangat tergantung dukungan dari produsen kendaraan bermotor dalam artian menghadirkan kendaraan bermotor yang bersahabat B20, serta ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar B20 yang memadai. Jadi, semua stakeholder harus dilibatkan secara penuh untuk menyukseskan dari B20 menuju B100.
(mhd)