Kapitalisasi Kesehatan dalam Konstelasi Pilpres
A
A
A
Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya
MOMEN debat sebagai bagian dari upaya pencerahan atas visi, misi, dan program kerja para kandidat patut diapresiasi sekaligus dikritisi sebelum masyarakat memutuskan pilihan politik. Bukan sekadar kemasan atas program kampanye, namun substansi dan seberapa kuat komitmen calon untuk menepati janji politik bila kelak terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.
Salah satu isu yang paling sering muncul adalah sektor kesehatan, terutama terkait dengan aspek pelayanan kesehatan. Hal ini sangat dimaklumi karena kesehatan merupakan salah satu kebutuhan mendasar publik yang harus dikedepankan. Bagaimanapun, rapor pemerintah salah satunya dinilai dari kebijakan keberpihakan terhadap bidang kesehatan terutama menyangkut kepentingan kesehatan masyarakat khususnya kaum marginal, terbelakang, dan tertinggal. Pendek kata, kebijakan tersebut memiliki keberpihakan kepada masyarakat luas terutama "wong cilik ".
Salah satu sektor yang menjadi komoditas (jualan) para pasangan calon kancah pertarungan pemilihan presiden (pilpres) adalah sektor kesehatan. Kesehatan bukan hanya identik urusan sehat-sakit, namun juga menyangkut siklus hidup manusia mulai dari dalam kandungan hingga periode lanjut usia, termasuk di dalamnya adalah seputar kebugaran fisik, kondisi mental individu, dan aspek keselamatan bahkan eksistensi "nyawa" manusia.
Di sisi lain, sektor kesehatan juga salah satu urusan wajib, baik bagi pemerintah (pusat) hingga pemerintah daerah selain pendidikan, infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu bahan jualan, isu-isu kesehatan menjadi magnet untuk menarik simpati masyarakat. Para calon tentu berlomba-lomba untuk menjanjikan sektor kesehatan sebagai sasaran strategis yang biasanya berupa penggratisan layanan berobat, kemudahan dan kelengkapan fasilitas, sarana dan prasarana medistis.
Mengapa sektor kesehatan begitu sangat seksi di kala pentas demokrasi berlangsung? Pertama , kesehatan merupakan bersifat mutlak bagi setiap manusia tanpa kecuali. Sehat tak terpisahkan dalam hidup sehari-hari, ibarat manusia tanpa air dan udara pasti mati. Dengan kata lain kesehatan sebagai salah satu sektor kehidupan yang sangat strategis, elementer, dan menentukan hajat hidup orang banyak serta langsung terkait kebutuhan dasar manusia sampai kapan pun.
Hal tersebut tertuang dalam tujuan fondasi dasar sebuah negara, yakni melindungi segenap rakyatnya termasuk urusan kesehatan. Sebenarnya berbicara masalah kesehatan sangatlah luas, namun dalam konteks pilkada, kesehatan direduksi hanyalah seputar jaminan kesehatan, layanan puskesmas, dan rumah sakit, tenaga kesehatan (medis), obat-obatan hingga potensi penyakit yang timbul.
Kedua, sektor kesehatan acap kali mudah dikonversi dengan nilai uang atau bentuk ekonomis sehingga masyarakat mudah memahami. Melihat kondisi tersebut dapat dipahami bila maraknya pembangunan rumah sakit, upaya peningkatan status puskesmas menjadi rawat inap, munculnya klinik-klinik swasta, menjamurnya layanan apotek justru menjadi tolok ukur "prestasi" sistem kesehatan.
Celakanya, tolok ukur di atas amat lekat dengan hitung-hitungan ekonomis atau privat health oriented dan lebih cenderung didesain dalam indikator atau parameter negatif seperti angka kematian ibu, kematian bayi, hingga kasus gizi buruk sehingga tak aneh bila di balik kemajuan yang tampak terdapat beberapa aspek kesehatan masyarakat yang justru masih terjerembab dalam lingkaran risiko kesakitan yang tinggi di sektor kesehatan publik.
Entah mengapa ketika masa kampanye, berapa ratus kali publik terpapar kalimat kesehatan gratis, pengobatan gratis, fasilitas dasar kesehatan terjangkau hingga menjamin kesehatan publik, hanya sebatas janji politik, mereka menganggap bahwa dengan kekuatan alokasi anggaran besar dapat serta merta mampu mengatasi problematika kesehatan. Dengan kata lain ketika seseorang telah menjabat justru kalimat-kalimat indah dan janji-janji manis itu "nyaris tak terdengar".
Setidaknya ada dua isu kesehatan yang pasti dijanjikan oleh setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni isu yang pertama adalah masalah jaminan pelayanan kesehatan yang serbagratis. Padahal, istilah gratis sebenarnya dimaknai bahwa setiap masyarakat Indonesia diharuskan membayar premi atau iuran sejumlah nilai tertentu.
Sudah lazim bahwa jaminan pembebasan biaya layanan kesehatan acap kali didengung-dengungkan dan terus diandalkan bagi pasangan calon. Padahal, sejak era sentralisasi dimulai dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak - Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (PKPS BBM - JPS BK) yang dimulai sejak tahun 1998. Kemudian program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) tahun 2004, setelah 2008 berganti menjadi program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) hingga Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Dalam konsep pembiayaan kesehatan di era kekinian menunjukkan bahwa semakin modern pelayanan kesehatan dibutuhkan kecanggihan fasilitas, teknologi, suprastruktur, sarana dan prasarana menggunakan perhitungan ekonomi sehingga kapitalisasi dunia pelayanan kesehatan kian tak terhindarkan lagi.
Hal ini berimplikasi pada aspek pembiayaan dan tarif layanan yang diberikan kepada konsumen (pasien). Pada aspek jaminan kesehatan dapat dipastikan bahwa anggaran untuk jaminan kesehatan akan terus meningkat setiap tahun. Ironisnya, hal tersebut disebabkan oleh penyakit berjenis kastatropik, yakni penyakit yang berbiaya tinggi, jangka waktu yang lama, dan dampak komplikasi dapat terjadi ancaman jiwa yang membahayakan jiwanya.
Beberapa penyakit yang termasuk penyakit katastropik seperti jantung, ginjal, kanker, stroke, thalasemia, leukimia, sirosis hepatitis, dan hemofilia. Hal tersebut kian menjustifikasi bahwa jaminan kesehatan yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus mendapat tantangan di tengah problematika pembiayaan yang didera defisit.
Isu kedua, setiap paslon dalam menyampaikan visi, misi, dan program akan membangun atau memperbanyak rumah sakit atau puskesmas rawat inap untuk "menampung" melubernya kunjungan pasien yang cenderung membeludak setiap tahun. Konsep pembangunan pelayanan kesehatan secara fisik jelas tidak akan serta merta memecahkan problem membeludaknya pasien ke rumah sakit. Hal ini merupakan manifestasi dari konsep paradigma sakit di mana mengedepankan upaya perawatan, pengobatan daripada upaya promotif dan preventif dalam tata kelola layanan kesehatan.
Konsep ini sejak era reformasi sudah ditinggalkan. Sebenarnya konsep mencegah selalu lebih baik daripada mengobati telah menggunakan konsep efektivitas dan efisiensi pembiayaan kesehatan yang selama ini menjadi masalah pelik. Besarnya pembiayaan kesehatan belum tentu mencerminkan derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Kesehatan bukanlah segalanya, namun tanpa kesehatan segalanya tidak berarti apa-apa (Health is not everything, without health everything is nothing ).
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya
MOMEN debat sebagai bagian dari upaya pencerahan atas visi, misi, dan program kerja para kandidat patut diapresiasi sekaligus dikritisi sebelum masyarakat memutuskan pilihan politik. Bukan sekadar kemasan atas program kampanye, namun substansi dan seberapa kuat komitmen calon untuk menepati janji politik bila kelak terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.
Salah satu isu yang paling sering muncul adalah sektor kesehatan, terutama terkait dengan aspek pelayanan kesehatan. Hal ini sangat dimaklumi karena kesehatan merupakan salah satu kebutuhan mendasar publik yang harus dikedepankan. Bagaimanapun, rapor pemerintah salah satunya dinilai dari kebijakan keberpihakan terhadap bidang kesehatan terutama menyangkut kepentingan kesehatan masyarakat khususnya kaum marginal, terbelakang, dan tertinggal. Pendek kata, kebijakan tersebut memiliki keberpihakan kepada masyarakat luas terutama "wong cilik ".
Salah satu sektor yang menjadi komoditas (jualan) para pasangan calon kancah pertarungan pemilihan presiden (pilpres) adalah sektor kesehatan. Kesehatan bukan hanya identik urusan sehat-sakit, namun juga menyangkut siklus hidup manusia mulai dari dalam kandungan hingga periode lanjut usia, termasuk di dalamnya adalah seputar kebugaran fisik, kondisi mental individu, dan aspek keselamatan bahkan eksistensi "nyawa" manusia.
Di sisi lain, sektor kesehatan juga salah satu urusan wajib, baik bagi pemerintah (pusat) hingga pemerintah daerah selain pendidikan, infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu bahan jualan, isu-isu kesehatan menjadi magnet untuk menarik simpati masyarakat. Para calon tentu berlomba-lomba untuk menjanjikan sektor kesehatan sebagai sasaran strategis yang biasanya berupa penggratisan layanan berobat, kemudahan dan kelengkapan fasilitas, sarana dan prasarana medistis.
Mengapa sektor kesehatan begitu sangat seksi di kala pentas demokrasi berlangsung? Pertama , kesehatan merupakan bersifat mutlak bagi setiap manusia tanpa kecuali. Sehat tak terpisahkan dalam hidup sehari-hari, ibarat manusia tanpa air dan udara pasti mati. Dengan kata lain kesehatan sebagai salah satu sektor kehidupan yang sangat strategis, elementer, dan menentukan hajat hidup orang banyak serta langsung terkait kebutuhan dasar manusia sampai kapan pun.
Hal tersebut tertuang dalam tujuan fondasi dasar sebuah negara, yakni melindungi segenap rakyatnya termasuk urusan kesehatan. Sebenarnya berbicara masalah kesehatan sangatlah luas, namun dalam konteks pilkada, kesehatan direduksi hanyalah seputar jaminan kesehatan, layanan puskesmas, dan rumah sakit, tenaga kesehatan (medis), obat-obatan hingga potensi penyakit yang timbul.
Kedua, sektor kesehatan acap kali mudah dikonversi dengan nilai uang atau bentuk ekonomis sehingga masyarakat mudah memahami. Melihat kondisi tersebut dapat dipahami bila maraknya pembangunan rumah sakit, upaya peningkatan status puskesmas menjadi rawat inap, munculnya klinik-klinik swasta, menjamurnya layanan apotek justru menjadi tolok ukur "prestasi" sistem kesehatan.
Celakanya, tolok ukur di atas amat lekat dengan hitung-hitungan ekonomis atau privat health oriented dan lebih cenderung didesain dalam indikator atau parameter negatif seperti angka kematian ibu, kematian bayi, hingga kasus gizi buruk sehingga tak aneh bila di balik kemajuan yang tampak terdapat beberapa aspek kesehatan masyarakat yang justru masih terjerembab dalam lingkaran risiko kesakitan yang tinggi di sektor kesehatan publik.
Entah mengapa ketika masa kampanye, berapa ratus kali publik terpapar kalimat kesehatan gratis, pengobatan gratis, fasilitas dasar kesehatan terjangkau hingga menjamin kesehatan publik, hanya sebatas janji politik, mereka menganggap bahwa dengan kekuatan alokasi anggaran besar dapat serta merta mampu mengatasi problematika kesehatan. Dengan kata lain ketika seseorang telah menjabat justru kalimat-kalimat indah dan janji-janji manis itu "nyaris tak terdengar".
Setidaknya ada dua isu kesehatan yang pasti dijanjikan oleh setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni isu yang pertama adalah masalah jaminan pelayanan kesehatan yang serbagratis. Padahal, istilah gratis sebenarnya dimaknai bahwa setiap masyarakat Indonesia diharuskan membayar premi atau iuran sejumlah nilai tertentu.
Sudah lazim bahwa jaminan pembebasan biaya layanan kesehatan acap kali didengung-dengungkan dan terus diandalkan bagi pasangan calon. Padahal, sejak era sentralisasi dimulai dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak - Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (PKPS BBM - JPS BK) yang dimulai sejak tahun 1998. Kemudian program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) tahun 2004, setelah 2008 berganti menjadi program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) hingga Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Dalam konsep pembiayaan kesehatan di era kekinian menunjukkan bahwa semakin modern pelayanan kesehatan dibutuhkan kecanggihan fasilitas, teknologi, suprastruktur, sarana dan prasarana menggunakan perhitungan ekonomi sehingga kapitalisasi dunia pelayanan kesehatan kian tak terhindarkan lagi.
Hal ini berimplikasi pada aspek pembiayaan dan tarif layanan yang diberikan kepada konsumen (pasien). Pada aspek jaminan kesehatan dapat dipastikan bahwa anggaran untuk jaminan kesehatan akan terus meningkat setiap tahun. Ironisnya, hal tersebut disebabkan oleh penyakit berjenis kastatropik, yakni penyakit yang berbiaya tinggi, jangka waktu yang lama, dan dampak komplikasi dapat terjadi ancaman jiwa yang membahayakan jiwanya.
Beberapa penyakit yang termasuk penyakit katastropik seperti jantung, ginjal, kanker, stroke, thalasemia, leukimia, sirosis hepatitis, dan hemofilia. Hal tersebut kian menjustifikasi bahwa jaminan kesehatan yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus mendapat tantangan di tengah problematika pembiayaan yang didera defisit.
Isu kedua, setiap paslon dalam menyampaikan visi, misi, dan program akan membangun atau memperbanyak rumah sakit atau puskesmas rawat inap untuk "menampung" melubernya kunjungan pasien yang cenderung membeludak setiap tahun. Konsep pembangunan pelayanan kesehatan secara fisik jelas tidak akan serta merta memecahkan problem membeludaknya pasien ke rumah sakit. Hal ini merupakan manifestasi dari konsep paradigma sakit di mana mengedepankan upaya perawatan, pengobatan daripada upaya promotif dan preventif dalam tata kelola layanan kesehatan.
Konsep ini sejak era reformasi sudah ditinggalkan. Sebenarnya konsep mencegah selalu lebih baik daripada mengobati telah menggunakan konsep efektivitas dan efisiensi pembiayaan kesehatan yang selama ini menjadi masalah pelik. Besarnya pembiayaan kesehatan belum tentu mencerminkan derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Kesehatan bukanlah segalanya, namun tanpa kesehatan segalanya tidak berarti apa-apa (Health is not everything, without health everything is nothing ).
(thm)