Pengisian Jabatan Wagub DKI Jakarta
A
A
A
A Ahsin Thohari
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
Teka-teki siapa pengisi jabatan wakil gubernur (wagub) DKI Jakarta masih menyelubungi langit ibu kota. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memang telah menyiapkan dua nama hasil uji kepatutan dan kelayakan: Agung Yulianto (Sekretaris DPW PKS Jakarta) dan Ahmad Syaikhu (mantan Wakil Walikota Bekasi) menjadi cawagub DKI Jakarta yang selanjutnya akan diajukan kepada Gubernur Anies Baswedan.
Akan tetapi, hasil itu masih harus dibicarakan dengan mitra koalisi, yaitu Partai Gerindra. Menyusul kosongnya jabatan wagub DKI Jakarta secara resmi sejak 27 Agustus 2018 setelah ditinggalkan Sandiaga Uno yang mengadu peruntungan dengan menjadi cawapres dari Prabowo Subianto pada pemilu serentak 2019, publik sempat diharu biru oleh ketidakjelasan sikap Partai Gerindra dan PKS yang terbabit dalam kecamuk politik dagang sapi.
"Jatah" PKS?
Kedua partai pengusung duet Anies-Sandi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 ini seperti mempertontonkan secara vulgar kepada publik perihal sulitnya mencari titik temu konsesi politik setelah mengalahnya PKS dari Partai Gerindra dalam pengusulan cawapres untuk Prabowo selepas musyawarah ijtima ulama merekomendasikan ulama yang juga kader PKS Salim Segaf Al Jufri dan dai masyhur Ustaz Abdul Somad (UAS) sebagai cawapres.
Kita pun tahu bahwa akhirnya Prabowo lebih memilih Sandi yang memiliki kekuatan finansial memadai ketimbang Al Jufri atau UAS yang memang secara tegas menyatakan tak bersedia. Dalam tilikan PKS, mengalahnya PKS dari Partai Gerindra untuk kursi cawapres yang mendampingi Prabowo akan amat adil sekiranya meniscayakan jabatan wagub DKI Jakarta yang kosong menjadi "jatah" PKS sebagai tukar gulingnya. Sebaliknya, Partai Gerindra tampaknya tak mau begitu saja melepas jabatan prestisius itu dengan mengisyaratkan Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta Mohammad Taufik yang kelak akan mengisi kekosongan itu.
Bagi rakyat Jakarta, sesungguhnya tidak penting benar siapa dan dari partai apa yang akan menduduki jabatan wakil gubernur sepanjang memiliki kompetensi, integritas, dan tentunya bisa bekerja sama dengan gubernur. Sebagai provinsi yang menyandang status ibu kota negara dengan anggaran sekitar Rp89 triliun dan segenap kompleksitas pekerjaan rumahnya, menyegerakan pengisian jabatan wagub adalah kemestian yang semakin lama ditunda akan semakin menjadi beban politik dan tersendatnya eksekusi visi, misi, dan program yang dijanjikan Anies Baswedan.
Akan tetapi, rakyat Jakarta yang berharap pemerintahan daerah dapat menjawab tantangan pembangunan secara efektif dengan formasi gubernur-wagub lengkap itu pun masih harus sabar menanti entah berapa lama lagi. Bahkan, salah seorang kader Partai Gerindra mewacanakan agar pengisian jabatan wagub DKI Jakarta dibicarakan setelah pemilu serentak pada 17 April 2019.
Perubahan Aturan Main
Alotnya pengisian jabatan wagub DKI Jakarta itu sukar dielakkan karena terimbas secara langsung oleh perubahan aturan main. Pasal 176 UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU mengatur bahwa dalam hal wagub berhenti karena permintaan sendiri, pengisian jabatannya dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung.
Dua orang calon harus diusulkan partai politik atau gabungan partai politik pengusung kepada DPRD Provinsi melalui gubernur untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD Provinsi. Pengisian jabatan wagub DKI melalui rapat paripurna DPRD Provinsi ini harus dilakukan karena sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 23 PP No 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
Hal berbeda terjadi sebelumnya. Mekanisme transisi jabatan yang lebih sederhana berlaku saat Djarot Saiful Hidayat tampil sebagai pengisi jabatan wagub DKI Jakarta yang kosong setelah Wagub Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur menggantikan Joko Widodo yang memenangi kursi presiden pada 2014. Pada saat itu, aturan yang berlaku adalah Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pasal 176 ayat (2) perpu tersebut menyatakan bahwa apabila wagub berhenti, maka gubernur mengusulkan calon wagub yang memenuhi persyaratan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk diangkat menjadi wagub. Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 102 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengusulan dan Pengangkatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Wali Kota memberikan jangka waktu pengusulan tersebut selama 15 hari kerja setelah pemberhentian wakil gubernur.
Demokrasi Diskursif
Alotnya pengisian jabatan wagub DKI Jakarta yang seolah-olah hanya melibatkan Partai Gerindra dan PKS itu seperti mengeraskan kesimpulan bahwa demokrasi tingkat lokal kita masih belum beringsut menjadi demokrasi diskursif yang mengutamakan musyawarah sebagai peranti utama pengambilan keputusan politik dan mengharuskan terwujudnya civic engagement yang diartikan sebagai tindakan individu atau kolektif yang dilakukan untuk mengidentifikasi persoalan dan menemukan jawaban atas masalah-masalah (publik) bersama seperti pengisian jabatan wagub DKI Jakarta ini.
Alih-alih mendekatkan jarak pengambilan keputusan politik di tingkat elite dan akar rumput yang semula menjauh, elit (politik) lokal Jakarta, seperti tecermin dari sikap Partai Gerindra dan PKS, malah berasyik masyuk dengan petualangan politiknya sendiri sembari mengabaikan suara-suara publik. Padahal, salah satu ide kunci (key concept) demokrasi lokal adalah adanya deliberasi dengan pengertian bahwa demokrasi lokal harus diperkaya dengan dialog, debat, dan diskusi yang bermakna dalam rangka pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat (Timothy D Sisk, dkk, Democracy at The Local Level , 2003: 13).
Meskipun Pasal 176 UU No 10 Tahun 2016 tersebut menyederhanakan mekanisme pengisian jabatan wagub yang mengundurkan diri dari yang semula dipilih langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD Provinsi, tak selayaknya Partai Gerindra dan PKS memosisikan masyarakat Jakarta sebagai penonton belaka. Masyarakat Jakarta tetap harus diserap aspirasinya. Memang, dalam lanskap politik seperti ini, mendengar suara rakyat Jakarta bagi Partai Gerindra dan PKS ibarat menggantang asap sekaligus mengukir langit.
Masalah lainnya adalah Partai Gerindra dan PKS seperti sedang berencana menghelat "kawin paksa" untuk Anies yang kini telah menjadi "duda" dengan calon mempelai berupa kadernya masing-masing tanpa merasa perlu untuk bertanya apakah Anies "mencintainya" atau tidak.
Kejadian ini hendaknya membuat kita sadar bahwa perilaku "mobilitas vertikal" kepala daerah dan wakilnya yang ingin berkontestasi elektoral pada level yang lebih tinggi amat mengganggu berkembangnya demokrasi lokal yang berkelanjutan. Bahkan, ini seperti meninggalkan bom waktu gejolak politik di daerah yang dapat meledak kapan pun.
Untuk Partai Gerindra dan PKS, ingat wagub terpilih nantinya bukan sekadar wagub Partai Gerindra atau PKS saja melainkan wagub seluruh masyarakat Jakarta!
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
Teka-teki siapa pengisi jabatan wakil gubernur (wagub) DKI Jakarta masih menyelubungi langit ibu kota. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memang telah menyiapkan dua nama hasil uji kepatutan dan kelayakan: Agung Yulianto (Sekretaris DPW PKS Jakarta) dan Ahmad Syaikhu (mantan Wakil Walikota Bekasi) menjadi cawagub DKI Jakarta yang selanjutnya akan diajukan kepada Gubernur Anies Baswedan.
Akan tetapi, hasil itu masih harus dibicarakan dengan mitra koalisi, yaitu Partai Gerindra. Menyusul kosongnya jabatan wagub DKI Jakarta secara resmi sejak 27 Agustus 2018 setelah ditinggalkan Sandiaga Uno yang mengadu peruntungan dengan menjadi cawapres dari Prabowo Subianto pada pemilu serentak 2019, publik sempat diharu biru oleh ketidakjelasan sikap Partai Gerindra dan PKS yang terbabit dalam kecamuk politik dagang sapi.
"Jatah" PKS?
Kedua partai pengusung duet Anies-Sandi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 ini seperti mempertontonkan secara vulgar kepada publik perihal sulitnya mencari titik temu konsesi politik setelah mengalahnya PKS dari Partai Gerindra dalam pengusulan cawapres untuk Prabowo selepas musyawarah ijtima ulama merekomendasikan ulama yang juga kader PKS Salim Segaf Al Jufri dan dai masyhur Ustaz Abdul Somad (UAS) sebagai cawapres.
Kita pun tahu bahwa akhirnya Prabowo lebih memilih Sandi yang memiliki kekuatan finansial memadai ketimbang Al Jufri atau UAS yang memang secara tegas menyatakan tak bersedia. Dalam tilikan PKS, mengalahnya PKS dari Partai Gerindra untuk kursi cawapres yang mendampingi Prabowo akan amat adil sekiranya meniscayakan jabatan wagub DKI Jakarta yang kosong menjadi "jatah" PKS sebagai tukar gulingnya. Sebaliknya, Partai Gerindra tampaknya tak mau begitu saja melepas jabatan prestisius itu dengan mengisyaratkan Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta Mohammad Taufik yang kelak akan mengisi kekosongan itu.
Bagi rakyat Jakarta, sesungguhnya tidak penting benar siapa dan dari partai apa yang akan menduduki jabatan wakil gubernur sepanjang memiliki kompetensi, integritas, dan tentunya bisa bekerja sama dengan gubernur. Sebagai provinsi yang menyandang status ibu kota negara dengan anggaran sekitar Rp89 triliun dan segenap kompleksitas pekerjaan rumahnya, menyegerakan pengisian jabatan wagub adalah kemestian yang semakin lama ditunda akan semakin menjadi beban politik dan tersendatnya eksekusi visi, misi, dan program yang dijanjikan Anies Baswedan.
Akan tetapi, rakyat Jakarta yang berharap pemerintahan daerah dapat menjawab tantangan pembangunan secara efektif dengan formasi gubernur-wagub lengkap itu pun masih harus sabar menanti entah berapa lama lagi. Bahkan, salah seorang kader Partai Gerindra mewacanakan agar pengisian jabatan wagub DKI Jakarta dibicarakan setelah pemilu serentak pada 17 April 2019.
Perubahan Aturan Main
Alotnya pengisian jabatan wagub DKI Jakarta itu sukar dielakkan karena terimbas secara langsung oleh perubahan aturan main. Pasal 176 UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU mengatur bahwa dalam hal wagub berhenti karena permintaan sendiri, pengisian jabatannya dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung.
Dua orang calon harus diusulkan partai politik atau gabungan partai politik pengusung kepada DPRD Provinsi melalui gubernur untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD Provinsi. Pengisian jabatan wagub DKI melalui rapat paripurna DPRD Provinsi ini harus dilakukan karena sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 23 PP No 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
Hal berbeda terjadi sebelumnya. Mekanisme transisi jabatan yang lebih sederhana berlaku saat Djarot Saiful Hidayat tampil sebagai pengisi jabatan wagub DKI Jakarta yang kosong setelah Wagub Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur menggantikan Joko Widodo yang memenangi kursi presiden pada 2014. Pada saat itu, aturan yang berlaku adalah Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pasal 176 ayat (2) perpu tersebut menyatakan bahwa apabila wagub berhenti, maka gubernur mengusulkan calon wagub yang memenuhi persyaratan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk diangkat menjadi wagub. Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 102 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengusulan dan Pengangkatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Wali Kota memberikan jangka waktu pengusulan tersebut selama 15 hari kerja setelah pemberhentian wakil gubernur.
Demokrasi Diskursif
Alotnya pengisian jabatan wagub DKI Jakarta yang seolah-olah hanya melibatkan Partai Gerindra dan PKS itu seperti mengeraskan kesimpulan bahwa demokrasi tingkat lokal kita masih belum beringsut menjadi demokrasi diskursif yang mengutamakan musyawarah sebagai peranti utama pengambilan keputusan politik dan mengharuskan terwujudnya civic engagement yang diartikan sebagai tindakan individu atau kolektif yang dilakukan untuk mengidentifikasi persoalan dan menemukan jawaban atas masalah-masalah (publik) bersama seperti pengisian jabatan wagub DKI Jakarta ini.
Alih-alih mendekatkan jarak pengambilan keputusan politik di tingkat elite dan akar rumput yang semula menjauh, elit (politik) lokal Jakarta, seperti tecermin dari sikap Partai Gerindra dan PKS, malah berasyik masyuk dengan petualangan politiknya sendiri sembari mengabaikan suara-suara publik. Padahal, salah satu ide kunci (key concept) demokrasi lokal adalah adanya deliberasi dengan pengertian bahwa demokrasi lokal harus diperkaya dengan dialog, debat, dan diskusi yang bermakna dalam rangka pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat (Timothy D Sisk, dkk, Democracy at The Local Level , 2003: 13).
Meskipun Pasal 176 UU No 10 Tahun 2016 tersebut menyederhanakan mekanisme pengisian jabatan wagub yang mengundurkan diri dari yang semula dipilih langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD Provinsi, tak selayaknya Partai Gerindra dan PKS memosisikan masyarakat Jakarta sebagai penonton belaka. Masyarakat Jakarta tetap harus diserap aspirasinya. Memang, dalam lanskap politik seperti ini, mendengar suara rakyat Jakarta bagi Partai Gerindra dan PKS ibarat menggantang asap sekaligus mengukir langit.
Masalah lainnya adalah Partai Gerindra dan PKS seperti sedang berencana menghelat "kawin paksa" untuk Anies yang kini telah menjadi "duda" dengan calon mempelai berupa kadernya masing-masing tanpa merasa perlu untuk bertanya apakah Anies "mencintainya" atau tidak.
Kejadian ini hendaknya membuat kita sadar bahwa perilaku "mobilitas vertikal" kepala daerah dan wakilnya yang ingin berkontestasi elektoral pada level yang lebih tinggi amat mengganggu berkembangnya demokrasi lokal yang berkelanjutan. Bahkan, ini seperti meninggalkan bom waktu gejolak politik di daerah yang dapat meledak kapan pun.
Untuk Partai Gerindra dan PKS, ingat wagub terpilih nantinya bukan sekadar wagub Partai Gerindra atau PKS saja melainkan wagub seluruh masyarakat Jakarta!
(rhs)