Politik Luar Negeri dalam Debat Capres
A
A
A
Muhammad Takdir
Alumnus Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Swiss
KITA telah menyaksikan debat pertama calon presiden-calon wakil presiden. Ada empat debat selanjutnya masih menunggu. Debat paling dekat dinantikan publik terjadi pada tanggal 17 Februari 2019. Publik belum tahu, apakah isu politik luar negeri akan menjadi salah satu topik khusus dalam perdebatan capres. Tetapi, belajar dari pengalaman debat capres sebelumnya, isu politik luar negeri tidak pernah mengemuka secara distinctive. Pemilihan pimpinan nasional kali ini harus didorong untuk memasukkan isu politik luar negeri sebagai materi perdebatan capres yang layak dicermati konstituen pemilih.
Setidaknya tiga alasan mengapa isu politik luar negeri harus menjadi topik perdebatan capres kali ini. Pertama, Indonesia memiliki kredensial global yang membuatnya berpengaruh sebagai middle power . Postur dan size geo-strategis itu tercermin dalam aktivitas diplomasi Indonesia di ASEAN, EAS, G-20, IORA, APEC, OKI, dan PBB. Kedua, kecenderungan dunia saat ini membuat masyarakat Indonesia termasuk kelompok yang mudah dipengaruhi oleh efek situasi global maupun isu-isu internasional atau vice versa . Kita telah menyaksikan hal itu dalam kontroversi pembebasan Ustaz Abu Bakar Basyir, rencana pemindahan Kedubes Australia ke Yerusalem, maupun dampak perang dagang AS-China. Ketiga, hubungan antarnegara yang cair dan flat telah mengubah pola relasi yang tadinya bertumpu pada territorial sovereignity menjadi global citizen .
Tantangan terberat bagi siapa pun yang terpilih sebagai presiden adalah bagaimana menakhodai Indonesia di tengah kelimpungan broken world . Dahulu para pendiri republik ini membidani politik luar negeri dengan konsep rowing between the two reefs (mendayung di antara dua karang). Mereka melihat dua kutub kontras, AS dan Soviet, yang mesti disikapi pragmatis. Kemampuan mengawal kepentingan nasional di antara benturan ideologis kedua blok tersebut merepresentasikan visi politik luar negeri yang responsif dan antisipatif ketika itu.
Besarnya kepentingan yang dipertaruhkan serta keseimbangan geopolitik yang harus dipikul Indonesia, membuat konsep rowing between the two reefs pada era perjuangan dimodifikasi dengan doktrin SBY dalam era pembangunan berbunyi navigating the turbulence ocean. Pergeseran doktrin itu semakin mengukuhkan bahwa kredensial politik luar negeri Indonesia selalu melihat orientasi internasional sebagai refleksi agenda domestik yang saling berpengaruh secara timbal balik. Pertanyaan mendasar kini menggayuti publik adalah apakah cara pandang seperti itu reliable dari masa ke masa hingga saat ini dan ke depan.
Visi tersebut sebenarnya layak dan ingin diketahui publik. Debat capres sejauh ini belum menyentuh segmen politik luar negeri sebagai salah satu topik perdebatan. Padahal postur dan ukuran Indonesia dalam konstelasi global inheren dengan kebutuhan untuk menguji pengaruh dan leadership internasional yang bisa diperankan Indonesia.
Publik domestik pun pasti ingin menyaksikan efek Indonesia di panggung global itu, sebagaimana dahulu mereka melihatnya di bawah Soekarno dan Soeharto. Apalagi situasi maupun atmosfer dunia saat ini di mata banyak analis berada dalam kondisi dangerous drift sebagai konsekuensi pengelolaan relasi antarnegara-negara besar (major powers) yang dilakukan secara rush dan negligent (sembrono).
Setiap pemimpin punya tingkat perhatian berbeda-beda dalam isu politik luar negeri. Semua itu sangat tergantung pada cara pandang masing-masing calon presiden meletakkan entitas Indonesia dalam percaturan diplomasi internasional. Model dan karakter inward looking atau forward looking yang dimiliki seorang calon pemimpin akan sangat menentukan bentuk dan intensitas pengelolaan atau pemanfaatan hubungan luar negeri yang ingin diciptakan.
Cuma satu hal utama mesti disadari bahwa keinginan bold tersebut hanya akan bisa diartikulasikan baik, jika calon presiden punya ambisi atau agenda untuk mewariskan legalitas internasional dalam isu-isu mencerminkan kepentingan strategis Indonesia. Beberapa pemimpin negara-negara medium power, seperti Brasil, Turki, Australia, Afrika Selatan, India, atau Korea Selatan, telah mendemonstrasikan postulat "making foreign policy work", dengan menunggangi isu-isu politik luar negeri secara sistematis dan berorientasi. Dengan kata lain, bagi negara-negara itu politik luar negeri adalah extremely serious business.
Bagi mereka, power dan influence dalam politik luar negeri merupakan dua hal saling terkait dan menjadi direct interest negara-negara tersebut. Sementara bagi Indonesia, bertindak atas nama dua kepentingan itu mesti memiliki konteks benefit lebih luas bagi dunia dan Indonesia sendiri. Orientasi demikian tidak bertujuan hegemonik, karena Indonesia tidak memiliki tradisi agresif, tetapi pelaksanaan politik luar negeri berbasis pada common purpose untuk tujuan pembangunan dan ekonomi bersama.
Fokus perhatian seperti ini mungkin penting bagi publik untuk dieksplorasi lebih jauh pada figur-figur calon presiden maupun calon wakil presiden yang kini tengah bersaing meraih perhatian pemilih. Debat publik dengan salah satu topiknya tentang politik luar negeri akan memberikan sinyal jernih kepada dunia internasional bahwa presensi Indonesia di panggung global akan selalu match dengan postur dan ukurannya. Syukur-syukur, Indonesia mampu melakukan hal itu, punch above it’s weight. Berkreasi dalam isu politik luar negeri di atas kemampuan objektifnya.(*)
Alumnus Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Swiss
KITA telah menyaksikan debat pertama calon presiden-calon wakil presiden. Ada empat debat selanjutnya masih menunggu. Debat paling dekat dinantikan publik terjadi pada tanggal 17 Februari 2019. Publik belum tahu, apakah isu politik luar negeri akan menjadi salah satu topik khusus dalam perdebatan capres. Tetapi, belajar dari pengalaman debat capres sebelumnya, isu politik luar negeri tidak pernah mengemuka secara distinctive. Pemilihan pimpinan nasional kali ini harus didorong untuk memasukkan isu politik luar negeri sebagai materi perdebatan capres yang layak dicermati konstituen pemilih.
Setidaknya tiga alasan mengapa isu politik luar negeri harus menjadi topik perdebatan capres kali ini. Pertama, Indonesia memiliki kredensial global yang membuatnya berpengaruh sebagai middle power . Postur dan size geo-strategis itu tercermin dalam aktivitas diplomasi Indonesia di ASEAN, EAS, G-20, IORA, APEC, OKI, dan PBB. Kedua, kecenderungan dunia saat ini membuat masyarakat Indonesia termasuk kelompok yang mudah dipengaruhi oleh efek situasi global maupun isu-isu internasional atau vice versa . Kita telah menyaksikan hal itu dalam kontroversi pembebasan Ustaz Abu Bakar Basyir, rencana pemindahan Kedubes Australia ke Yerusalem, maupun dampak perang dagang AS-China. Ketiga, hubungan antarnegara yang cair dan flat telah mengubah pola relasi yang tadinya bertumpu pada territorial sovereignity menjadi global citizen .
Tantangan terberat bagi siapa pun yang terpilih sebagai presiden adalah bagaimana menakhodai Indonesia di tengah kelimpungan broken world . Dahulu para pendiri republik ini membidani politik luar negeri dengan konsep rowing between the two reefs (mendayung di antara dua karang). Mereka melihat dua kutub kontras, AS dan Soviet, yang mesti disikapi pragmatis. Kemampuan mengawal kepentingan nasional di antara benturan ideologis kedua blok tersebut merepresentasikan visi politik luar negeri yang responsif dan antisipatif ketika itu.
Besarnya kepentingan yang dipertaruhkan serta keseimbangan geopolitik yang harus dipikul Indonesia, membuat konsep rowing between the two reefs pada era perjuangan dimodifikasi dengan doktrin SBY dalam era pembangunan berbunyi navigating the turbulence ocean. Pergeseran doktrin itu semakin mengukuhkan bahwa kredensial politik luar negeri Indonesia selalu melihat orientasi internasional sebagai refleksi agenda domestik yang saling berpengaruh secara timbal balik. Pertanyaan mendasar kini menggayuti publik adalah apakah cara pandang seperti itu reliable dari masa ke masa hingga saat ini dan ke depan.
Visi tersebut sebenarnya layak dan ingin diketahui publik. Debat capres sejauh ini belum menyentuh segmen politik luar negeri sebagai salah satu topik perdebatan. Padahal postur dan ukuran Indonesia dalam konstelasi global inheren dengan kebutuhan untuk menguji pengaruh dan leadership internasional yang bisa diperankan Indonesia.
Publik domestik pun pasti ingin menyaksikan efek Indonesia di panggung global itu, sebagaimana dahulu mereka melihatnya di bawah Soekarno dan Soeharto. Apalagi situasi maupun atmosfer dunia saat ini di mata banyak analis berada dalam kondisi dangerous drift sebagai konsekuensi pengelolaan relasi antarnegara-negara besar (major powers) yang dilakukan secara rush dan negligent (sembrono).
Setiap pemimpin punya tingkat perhatian berbeda-beda dalam isu politik luar negeri. Semua itu sangat tergantung pada cara pandang masing-masing calon presiden meletakkan entitas Indonesia dalam percaturan diplomasi internasional. Model dan karakter inward looking atau forward looking yang dimiliki seorang calon pemimpin akan sangat menentukan bentuk dan intensitas pengelolaan atau pemanfaatan hubungan luar negeri yang ingin diciptakan.
Cuma satu hal utama mesti disadari bahwa keinginan bold tersebut hanya akan bisa diartikulasikan baik, jika calon presiden punya ambisi atau agenda untuk mewariskan legalitas internasional dalam isu-isu mencerminkan kepentingan strategis Indonesia. Beberapa pemimpin negara-negara medium power, seperti Brasil, Turki, Australia, Afrika Selatan, India, atau Korea Selatan, telah mendemonstrasikan postulat "making foreign policy work", dengan menunggangi isu-isu politik luar negeri secara sistematis dan berorientasi. Dengan kata lain, bagi negara-negara itu politik luar negeri adalah extremely serious business.
Bagi mereka, power dan influence dalam politik luar negeri merupakan dua hal saling terkait dan menjadi direct interest negara-negara tersebut. Sementara bagi Indonesia, bertindak atas nama dua kepentingan itu mesti memiliki konteks benefit lebih luas bagi dunia dan Indonesia sendiri. Orientasi demikian tidak bertujuan hegemonik, karena Indonesia tidak memiliki tradisi agresif, tetapi pelaksanaan politik luar negeri berbasis pada common purpose untuk tujuan pembangunan dan ekonomi bersama.
Fokus perhatian seperti ini mungkin penting bagi publik untuk dieksplorasi lebih jauh pada figur-figur calon presiden maupun calon wakil presiden yang kini tengah bersaing meraih perhatian pemilih. Debat publik dengan salah satu topiknya tentang politik luar negeri akan memberikan sinyal jernih kepada dunia internasional bahwa presensi Indonesia di panggung global akan selalu match dengan postur dan ukurannya. Syukur-syukur, Indonesia mampu melakukan hal itu, punch above it’s weight. Berkreasi dalam isu politik luar negeri di atas kemampuan objektifnya.(*)
(wib)