Agama dan Pemberantasan Kemiskinan (bagian-1)
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
RABU kemarin ini saya menjadi salah seorang panelis pada acara UN Week of Interfaith Harmony, di Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kota New York. Sebuah acara tahunan yang pada awalnya diinisiasi oleh Raja Abdullah dari Jordan dan didukung oleh beberapa negara lainnya.
Sejak itu pula program ini menjadi kegiatan tahunan yang dilakukan di berbagai negara dalam ragam bentuk. Salah satunya dengan acara dialog atau diskusi panel di Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.
Sejak beberapa tahun terakhir Nusantara Foundation ikut mensponsori acara ini bersama dengan beberapa organisasi lintas agama dan lintas entnis dan bangsa. Acara kali ini secara bersama-sama disponsori oleh United African Congress dari Afrika, Give them Foundation dari Jamaica dan Karibia, dan Nusantara Foundation sendiri dari kalangan Asia.
Tema utama dari acara diskusi tersebut adalah “Building Bridges” atau membangun jembatan atau hubungan. Tentu yang dimaksud adalah membangun jembatan atau hubungan antarkelompok manusia dengan ragam latar belakangnya.
Tapi secara spesifik juga disepakati untuk membahas isu-isu ril yang menyentuh kehidupan manusia dan menjadi perhatian dunia internasional. Dalam dunia PBB ada yang disebut SDG atau Sustainable Development Goals.
Bahwa di tahun 2030 mendatang ada beberapa bidang utama di mana semua negara anggota PBB harus berkomitmen untuk memeranginya. Di antara yang terpenting adalah memerangi kemiskinan global dengan segala dampaknya.
Secara kebetulan pada acara panel diskusi kali ini saya diminta berbicara tentang peranan agama dalam memerangi kemiskinan global. Sebuah isu yang memang menjadi perhatian serius saya selama ini.
Kemiskinan di mata Islam
“Kalau sekiranya kemiskinan itu adalah orang, niscaya aku telah memenggalnya (membunuhnya)”. Itulah ungkapan tegas Umar RA, khalifah ketiga umat saat itu.
Rasulullah SAW sendiri mengingatkan bahwa “kemiskinan hampir saja membawa kepada kekufuran”. Maknanya bahwa kefakiran atau kemiskinan itu rentang menjadikan manusia kufur.
Sehingga sangat wajar jika Rasulullah mengajarkan umatnya untuk berdoa: “Ya Allah jagalah kami dari kekafiran dan kefakiran”. Sekali lagi penyebutan keduanya secara bersamaan tentu bukan tidak punya makna.
Orang yang sedang dalam kemiskinan, rentan kehilangan akal sehat, bahkan rasa kemanusiaannya (common sense) sekaligus. Pada saat itulah orang tersebut akan berkarakter kufur, baik pada karakter jiwa (iman) maupun lahir (pernyataan dan prilaku).
Realita inilah yang kemudian digambarkan oleh Allah dalam Al-Quran di sebuah surah yang dikenal dengan Surah Al-Quraysh.
Surah Al-Quraysh berbicara tentang Mekah yang saat itu menjadi poros transaksi bisnis (Yaman dan Suriah). Di musim panas para penduduk Quraysh melakukan perdagangan ke Suriah. Dan di musim dingin mereka melakukan perjalanan dagang ke Yaman.
Bukan isu dagangnya Yang ingin saya bahas. Justeru yang ingin saya garis bawahi adalah firman Allah di ayat terakhir surah tersebut: “Dialah (Allah) yang memberi makan dari kepalaran dan keamanan dari rasa takut”.
Penyebutan keduanya secara bersamaan menggambarkan betapa “kelaparan” (kemiskinan) itu berkaitan erat dengan ketidakamanan (ketakutan). Artinya ketidakamanan dunia kita, karena teror misalnya, dikarenakan salah satunya karena kemiskinan yang masif.
Dan ini pulalah salah satu arti dari “kekafiran” pada pernyataan Rasul bahwa kemiskinan mengantarkan kepada kekufuran. Bahwa kalau orang itu tidak kafir secara hati (iman) boleh jadi dia akan kafir dalam karakter. Menjadi teroris misalnya.
Penyebab kemiskinan
Dalam statistic terakhir disebutkan bahwa hampir seperdua penduduk dunia hidup dengan kurang dari USD2,50 per hari, sepertiga di antaranya hidup dengan kurang dari USD1,25. Satu miliar anak-anak dunia hidup dalam kemiskinan, dan 22 ribu anak meninggal setiap harinya karena kemiskinan.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apa penyebab utama kemiskinan ini? Apakah dunia kekurangan bahan (resources) untuk mencukupi kebutuhan manusia?
Saya melihatnya banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan itu. Tapi saya membatasi diri pada tiga faktor utama.
Pertama, kerakusan manusia (human greed). Ketika manusia dirasuki kerakusan atau ketamakan maka nilai-nilai kasih sayang (compassion) menjadi sangat minim bahkan hilang.
Hilangnya kasih sayang itulah menjadikan manusia berkarakter “hewani” yang mengedepankan naluri materinya. Semua dilakukan karena pertimbangan materi. Kecenderungan seperti inilah yang belakangan terinstitusional dengan istilah atau tepanya konsep hidup materialisme.
Materialisme inilah yang saat ini mendominasi dunia dan menjadikannya penuh dengan kebuasan. Manusia saling memangsa, memakan, membunuh tanpa ada rasa kemanusiaan lagi. Berbagai perang yang terjadi jika diteliti lebih dekat semuanya kerena dorongan ketamakan material manusia.
Demi memenuhi hasrat materi itu pula manusia melakukan pengrusakan alam dan lingkungan. Akibatnya saat ini kita hidup dalam suasana cuaca ekstrem (extreme weather) yang mengakibatkan berbagai bencana alam.
Kerakusan manusia ini menjadi dasar utama tumbuhnya kemiskinan global. Bahkan yang memiliki banyak harta (kaya secara materi) juga terjatuh miskin karena harta itu tidak mampu memenuhi keinginannya yang rakus.
Kerakusan ini juga tampak dalam kehidupan kolektif. Pada tingkatan negara misalnya kita lihat negara-negara kuat mengeksploitasi dan memanipulasi sumber alam negara-negara miskin dan lemah. Yang dengannya tanpa disadari terjadi “penjajahan” tipe baru (new type of colonization) dalam dunia modern.
Kedua, berbagai kerusakan yang diciptakan oleh manusia (man-made disasters).
Selain kerusakan lingkungan karena manipulasi alam akibat kerakusan manusia, juga ragam kerusakan buatan manusia (man-made disasters) menjadi penyebab tumbuhnya kemiskinan global.
Sejak dimulainya perang Afghanistan misalnya oleh HW Bush di tahun 2001 lalu, Amerika telah menghabiskan puluhan triliun USD. Mengakibatkan krisis perekonomian yang kronis, baik pada level nasional maupun secara global.
Bayangkan kalau saja uang sebanyak itu dipergunakan untuk membangun sekolah, modal bagi rakyat kecil untuk memulai usaha, rumah sakit atau klinik, dan seterusnya. Barangkali untuk sebuah negara Aghanistan terlalu kecil untuk disulap menjadi negara kaya raya dengan modal sebesar itu.
Tapi jumlah kerugian di atas itu hanya di pihak Amerika. Bagaimana dengan Afghanistan yang memang telah terlibat dalam peperangan yang berkepanjangan? Sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, pasar-pasar, bahkan rumah-rumah dan perkebunan warga hancur luluh lantak karena peperangan.
Akibat dari peperangan-peperangan itu ribuan bahkan jutaan manusia harus mengungsi ke pengungsian-pengungsian yang sangat memprihatinkan. Mereka hidup di pengungsian tanpa jaminan makanan (food) minuman (clean water) dan penginapan (shelter).
Keadaan ini menjadi faktor besar dalam menumbuh suburkan kemiskinan di berbagai belahan dunia. Ditambah lagi dengan meningginya sentimen “New konservatisme” Barat yang menolak kehadiran para pengungsi itu. Menjadikan negara-negara miskin itu semakin miskin.
Ketiga, adanya kesalahan dalam mengurus (mismanagement) sumber-sumber kekayaan yang ada oleh para pengelolah negara.
Tentu ketika berbicara tentang pengurusan (menejemen) sumber-sumber kekayaan kita tertuju kepada dua kekuatan. Kekuatan politik atau pemerintah dan kekuatan ekonomi atau para Pengusaha.
Kedua kekuatan ini kerap kali berkolaborasi dalam memanipulasi sumber-sumber kekayaan negara atau dunia. Sejarah manusia memang demikian, bahkan tercatat dalam sejarah Alquran (Fir’aun dan Qarun).
Akibat kolaborasi manipulatif antara pemerintah dan pengusaha menjadikan negara (rakyat) semakin tidak memiliki akses kepada sumber-sumber (resources) itu. Maka pemerintah semakin kuat (dengan dukungan keuangan) dan pengusaha semakin kaya dan semena-mena dalam menjalankan bisnisnya. Hukum kerap kali disimpan dalam tong sampah yang tiada berguna.
Betapa mirisnya melihat banyak negara yang kaya. Tapi rakyat dari negara itu menderita dalam kemiskinan yang sangat. Daya beli lemah bahkan tidak mampu, anak-anak mengalami malnutrisi dan tidak sekolah. Lapangan pekerjaan mengecil bahkan tidak ada.
Semua ini diakibatkan oleh mentalitas dan karakter korup para penguasa. Situasi yang kemudian digunakan secara maksimal oleh pengusaha yang tamak dan manipulatif. Kemiskinan pun semakin membesar serta jarak antara yang kaya (haves) dan yang tidak punya (have nots) semakin menganga.
Mengatasi kemiskinan
Dalam upaya mengatasi kemiskinan istilah yang biasa digunakan oleh PBB dan dunia internasional adalah eradication of poverty atau menghapus kemiskinan. Kata lain yang biasa dipakai adalah alleviation of poverty atau mengurangi dan juga mengarah kepada “menghapuskan” kemiskinan.
Bisakah kemiskinan dihapuskan? Dapatkah kemiskinan diakhiri?
Jawabannya jika kemiskinan didefenisikan secara materi semata, maka kemiskinan tidak akan pernah diakhiri atau dihapus. Kemiskinan adalah bagian dari sunnatullah (hukum Allah) dalam kehidupan. Bahwa selama dunia masih tegak akan ada yang miskin dan ada yang kaya.
Kaya dan miskin ini dibentuk (designed) secara khusus agar terjadi “keserasian” hidup kolektif manusia. Serasi yang dimaksud adalah agar hidup manusia dapat berjalan dan saling melengkapi.
Sederhananya, bayangkan jika semua manusia kaya. Siapa yang akan jadi sopir? Siapa yang akan jadi tukang kebun? Siapa yang akan jadi tukang bersih dan sampah dan seterusnya?
Barangkali dunia akan merana semerawut justru karena semua manusia telah cukup dan merasa tidak lagi membutuhkan siapa-siapa dalam hidupnya. Kehidupan sosial bangkrut, menjadikan manusia hidup secara “nafsi-nafsi”.
Tapi dapatkan kemiskinan diatasi? (Bersambung)
Presiden Nusantara Foundation
RABU kemarin ini saya menjadi salah seorang panelis pada acara UN Week of Interfaith Harmony, di Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kota New York. Sebuah acara tahunan yang pada awalnya diinisiasi oleh Raja Abdullah dari Jordan dan didukung oleh beberapa negara lainnya.
Sejak itu pula program ini menjadi kegiatan tahunan yang dilakukan di berbagai negara dalam ragam bentuk. Salah satunya dengan acara dialog atau diskusi panel di Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.
Sejak beberapa tahun terakhir Nusantara Foundation ikut mensponsori acara ini bersama dengan beberapa organisasi lintas agama dan lintas entnis dan bangsa. Acara kali ini secara bersama-sama disponsori oleh United African Congress dari Afrika, Give them Foundation dari Jamaica dan Karibia, dan Nusantara Foundation sendiri dari kalangan Asia.
Tema utama dari acara diskusi tersebut adalah “Building Bridges” atau membangun jembatan atau hubungan. Tentu yang dimaksud adalah membangun jembatan atau hubungan antarkelompok manusia dengan ragam latar belakangnya.
Tapi secara spesifik juga disepakati untuk membahas isu-isu ril yang menyentuh kehidupan manusia dan menjadi perhatian dunia internasional. Dalam dunia PBB ada yang disebut SDG atau Sustainable Development Goals.
Bahwa di tahun 2030 mendatang ada beberapa bidang utama di mana semua negara anggota PBB harus berkomitmen untuk memeranginya. Di antara yang terpenting adalah memerangi kemiskinan global dengan segala dampaknya.
Secara kebetulan pada acara panel diskusi kali ini saya diminta berbicara tentang peranan agama dalam memerangi kemiskinan global. Sebuah isu yang memang menjadi perhatian serius saya selama ini.
Kemiskinan di mata Islam
“Kalau sekiranya kemiskinan itu adalah orang, niscaya aku telah memenggalnya (membunuhnya)”. Itulah ungkapan tegas Umar RA, khalifah ketiga umat saat itu.
Rasulullah SAW sendiri mengingatkan bahwa “kemiskinan hampir saja membawa kepada kekufuran”. Maknanya bahwa kefakiran atau kemiskinan itu rentang menjadikan manusia kufur.
Sehingga sangat wajar jika Rasulullah mengajarkan umatnya untuk berdoa: “Ya Allah jagalah kami dari kekafiran dan kefakiran”. Sekali lagi penyebutan keduanya secara bersamaan tentu bukan tidak punya makna.
Orang yang sedang dalam kemiskinan, rentan kehilangan akal sehat, bahkan rasa kemanusiaannya (common sense) sekaligus. Pada saat itulah orang tersebut akan berkarakter kufur, baik pada karakter jiwa (iman) maupun lahir (pernyataan dan prilaku).
Realita inilah yang kemudian digambarkan oleh Allah dalam Al-Quran di sebuah surah yang dikenal dengan Surah Al-Quraysh.
Surah Al-Quraysh berbicara tentang Mekah yang saat itu menjadi poros transaksi bisnis (Yaman dan Suriah). Di musim panas para penduduk Quraysh melakukan perdagangan ke Suriah. Dan di musim dingin mereka melakukan perjalanan dagang ke Yaman.
Bukan isu dagangnya Yang ingin saya bahas. Justeru yang ingin saya garis bawahi adalah firman Allah di ayat terakhir surah tersebut: “Dialah (Allah) yang memberi makan dari kepalaran dan keamanan dari rasa takut”.
Penyebutan keduanya secara bersamaan menggambarkan betapa “kelaparan” (kemiskinan) itu berkaitan erat dengan ketidakamanan (ketakutan). Artinya ketidakamanan dunia kita, karena teror misalnya, dikarenakan salah satunya karena kemiskinan yang masif.
Dan ini pulalah salah satu arti dari “kekafiran” pada pernyataan Rasul bahwa kemiskinan mengantarkan kepada kekufuran. Bahwa kalau orang itu tidak kafir secara hati (iman) boleh jadi dia akan kafir dalam karakter. Menjadi teroris misalnya.
Penyebab kemiskinan
Dalam statistic terakhir disebutkan bahwa hampir seperdua penduduk dunia hidup dengan kurang dari USD2,50 per hari, sepertiga di antaranya hidup dengan kurang dari USD1,25. Satu miliar anak-anak dunia hidup dalam kemiskinan, dan 22 ribu anak meninggal setiap harinya karena kemiskinan.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apa penyebab utama kemiskinan ini? Apakah dunia kekurangan bahan (resources) untuk mencukupi kebutuhan manusia?
Saya melihatnya banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan itu. Tapi saya membatasi diri pada tiga faktor utama.
Pertama, kerakusan manusia (human greed). Ketika manusia dirasuki kerakusan atau ketamakan maka nilai-nilai kasih sayang (compassion) menjadi sangat minim bahkan hilang.
Hilangnya kasih sayang itulah menjadikan manusia berkarakter “hewani” yang mengedepankan naluri materinya. Semua dilakukan karena pertimbangan materi. Kecenderungan seperti inilah yang belakangan terinstitusional dengan istilah atau tepanya konsep hidup materialisme.
Materialisme inilah yang saat ini mendominasi dunia dan menjadikannya penuh dengan kebuasan. Manusia saling memangsa, memakan, membunuh tanpa ada rasa kemanusiaan lagi. Berbagai perang yang terjadi jika diteliti lebih dekat semuanya kerena dorongan ketamakan material manusia.
Demi memenuhi hasrat materi itu pula manusia melakukan pengrusakan alam dan lingkungan. Akibatnya saat ini kita hidup dalam suasana cuaca ekstrem (extreme weather) yang mengakibatkan berbagai bencana alam.
Kerakusan manusia ini menjadi dasar utama tumbuhnya kemiskinan global. Bahkan yang memiliki banyak harta (kaya secara materi) juga terjatuh miskin karena harta itu tidak mampu memenuhi keinginannya yang rakus.
Kerakusan ini juga tampak dalam kehidupan kolektif. Pada tingkatan negara misalnya kita lihat negara-negara kuat mengeksploitasi dan memanipulasi sumber alam negara-negara miskin dan lemah. Yang dengannya tanpa disadari terjadi “penjajahan” tipe baru (new type of colonization) dalam dunia modern.
Kedua, berbagai kerusakan yang diciptakan oleh manusia (man-made disasters).
Selain kerusakan lingkungan karena manipulasi alam akibat kerakusan manusia, juga ragam kerusakan buatan manusia (man-made disasters) menjadi penyebab tumbuhnya kemiskinan global.
Sejak dimulainya perang Afghanistan misalnya oleh HW Bush di tahun 2001 lalu, Amerika telah menghabiskan puluhan triliun USD. Mengakibatkan krisis perekonomian yang kronis, baik pada level nasional maupun secara global.
Bayangkan kalau saja uang sebanyak itu dipergunakan untuk membangun sekolah, modal bagi rakyat kecil untuk memulai usaha, rumah sakit atau klinik, dan seterusnya. Barangkali untuk sebuah negara Aghanistan terlalu kecil untuk disulap menjadi negara kaya raya dengan modal sebesar itu.
Tapi jumlah kerugian di atas itu hanya di pihak Amerika. Bagaimana dengan Afghanistan yang memang telah terlibat dalam peperangan yang berkepanjangan? Sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, pasar-pasar, bahkan rumah-rumah dan perkebunan warga hancur luluh lantak karena peperangan.
Akibat dari peperangan-peperangan itu ribuan bahkan jutaan manusia harus mengungsi ke pengungsian-pengungsian yang sangat memprihatinkan. Mereka hidup di pengungsian tanpa jaminan makanan (food) minuman (clean water) dan penginapan (shelter).
Keadaan ini menjadi faktor besar dalam menumbuh suburkan kemiskinan di berbagai belahan dunia. Ditambah lagi dengan meningginya sentimen “New konservatisme” Barat yang menolak kehadiran para pengungsi itu. Menjadikan negara-negara miskin itu semakin miskin.
Ketiga, adanya kesalahan dalam mengurus (mismanagement) sumber-sumber kekayaan yang ada oleh para pengelolah negara.
Tentu ketika berbicara tentang pengurusan (menejemen) sumber-sumber kekayaan kita tertuju kepada dua kekuatan. Kekuatan politik atau pemerintah dan kekuatan ekonomi atau para Pengusaha.
Kedua kekuatan ini kerap kali berkolaborasi dalam memanipulasi sumber-sumber kekayaan negara atau dunia. Sejarah manusia memang demikian, bahkan tercatat dalam sejarah Alquran (Fir’aun dan Qarun).
Akibat kolaborasi manipulatif antara pemerintah dan pengusaha menjadikan negara (rakyat) semakin tidak memiliki akses kepada sumber-sumber (resources) itu. Maka pemerintah semakin kuat (dengan dukungan keuangan) dan pengusaha semakin kaya dan semena-mena dalam menjalankan bisnisnya. Hukum kerap kali disimpan dalam tong sampah yang tiada berguna.
Betapa mirisnya melihat banyak negara yang kaya. Tapi rakyat dari negara itu menderita dalam kemiskinan yang sangat. Daya beli lemah bahkan tidak mampu, anak-anak mengalami malnutrisi dan tidak sekolah. Lapangan pekerjaan mengecil bahkan tidak ada.
Semua ini diakibatkan oleh mentalitas dan karakter korup para penguasa. Situasi yang kemudian digunakan secara maksimal oleh pengusaha yang tamak dan manipulatif. Kemiskinan pun semakin membesar serta jarak antara yang kaya (haves) dan yang tidak punya (have nots) semakin menganga.
Mengatasi kemiskinan
Dalam upaya mengatasi kemiskinan istilah yang biasa digunakan oleh PBB dan dunia internasional adalah eradication of poverty atau menghapus kemiskinan. Kata lain yang biasa dipakai adalah alleviation of poverty atau mengurangi dan juga mengarah kepada “menghapuskan” kemiskinan.
Bisakah kemiskinan dihapuskan? Dapatkah kemiskinan diakhiri?
Jawabannya jika kemiskinan didefenisikan secara materi semata, maka kemiskinan tidak akan pernah diakhiri atau dihapus. Kemiskinan adalah bagian dari sunnatullah (hukum Allah) dalam kehidupan. Bahwa selama dunia masih tegak akan ada yang miskin dan ada yang kaya.
Kaya dan miskin ini dibentuk (designed) secara khusus agar terjadi “keserasian” hidup kolektif manusia. Serasi yang dimaksud adalah agar hidup manusia dapat berjalan dan saling melengkapi.
Sederhananya, bayangkan jika semua manusia kaya. Siapa yang akan jadi sopir? Siapa yang akan jadi tukang kebun? Siapa yang akan jadi tukang bersih dan sampah dan seterusnya?
Barangkali dunia akan merana semerawut justru karena semua manusia telah cukup dan merasa tidak lagi membutuhkan siapa-siapa dalam hidupnya. Kehidupan sosial bangkrut, menjadikan manusia hidup secara “nafsi-nafsi”.
Tapi dapatkan kemiskinan diatasi? (Bersambung)
(dam)