Kinerja Pariwisata Indonesia

Senin, 04 Februari 2019 - 08:30 WIB
Kinerja Pariwisata Indonesia
Kinerja Pariwisata Indonesia
A A A
Sapta Nirwandar
Pemerhati Pariwisata

BADAN Pusat Statistik (BPS) pada 1 Februari 2019 merilis data soal perkembangan pariwisata dan transportasi nasional 2018. Dilaporkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia mencapai 15,81 juta atau naik 12,58% dibandingkan tahun 2017 berjumlah 14,04 juta.
Tentu jumlah wisman ini jauh mencapai target yang ditetapkan pemerintah pada 2018, yakni sebesar 17 juta. Penyebab utama kegagalan ini menurut Menteri Pariwisata, yakni adanya pembatalan kunjungan wisman ke Indonesia sekitar 70%, terutama akibat terjadinya bencana alam mulai dari meletusnya Gunung Agung di Bali (November 2017), Gempa Lombok (Juli 2018), gempa dan tsunami di Palu (September 2018), dan dampak jatuhnya pesawat Lion Air pada November 2018. Apakah semua kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pencapaian target kunjungan wisman ke Indonesia?
Di sisi lain, pada 2018 (Agustus–Oktober) Indonesia mendapatkan kesempatan menyelenggarakan Asian Games dan Asian Para Games yang sangat sukses serta diapresiasi dunia, baik dari sisi prestasi maupun penyelenggaraannya. Dari informasi Bappenas, dampak ekonomi langsung dan tidak langsung dari pergelaran ini sangat menggembirakan termasuk pembangunan infrastruktur.

Pengeluaran wisatawan, baik mancanegara maupun lokal, dari penyelenggaraan kegiatan tersebut menurut Bappenas mencapai lebih dari Rp3,7 triliun. Selain itu, kegiatan tersebut berdampak pada kepercayaan masyarakat internasional yang tinggi dengan tetap diselenggarakannya IMF-World Bank Annual Meetings(AM) di Bali pada Oktober setelah terjadi gempa dan tsunami di Lombok dan Palu pada September 2018.

Sebenarnya bila kita melihat data kunjungan wisman ke Indonesia menurut BPS sejak 2016 (target 12 juta tercapai 11,5 juta), 2017 (target 15 juta tercapai 14,04), sampai dengan 2018 (target 17 juta tercapai 15,8 juta), seluruhnya tidak memenuhi target. Jumlah kunjungan wisman ini tentu sangat berpengaruh pada perolehan devisa.

Dari data Bank Indonesia (BI) pada 2016 diperoleh devisa USD12,2 miliar, 2017 USD12,5 miliar, dan pada 2018 diperkirakan sekitar USD13,4 miliar. Perhitungan devisa BI berbeda dengan perolehan devisa yang dihitung Kementerian Pariwisata (Kemenpar). Bahkan, Menteri Pariwisata dalam Jumpa Pers Akhir Tahun pada 22 Desember 2018 menyatakan devisa pariwisata yang dihasilkan tahun 2018 diperkirakan sebesar USD17,2 miliar. Devisa diperoleh dari perhitungan 15,8 juta dikalikan dengan USD1.100 rata-rata pengeluaran wisman ke Indonesia.

Perhitungan pengeluaran rata-rata USD1.100 dalam perhitungan wisman itu tentu harus hati-hati dilakukan karena dari jumlah kunjungan wisman ke Indonesia diperoleh dari pelintas batas yang masuk melalui darat dan laut jumlahnya sangat signifikan sekitar 5,7 juta. Dari lintas batas darat, seperti dari Atambua (NTT), Entikong (Kalimantan Barat), Jayapura, dan lainnya, jumlahnya mencapai 2,5 Juta.

Rasanya sulit bila wisman dari pelintas batas ini menjadi bagian dan penyumbang rata-rata kunjungan wisman yang pengeluarannya mencapai USD1.100 per kunjungan. Selain pengeluaran yang relatif kecil, juga lama tinggal dan tempat tinggalnya terbatas, belum lagi bila kita melihat laporan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) Bank Indonesia yang menetapkan rata-rata pengeluaran wisman hanya USD900 dalam per kunjungan.

Lagi dari laporan BPS 2018 ini diperoleh data bahwa disebut source market/pasar utama wisman ke Indonesia pertumbuhannya negatif, seperti Jepang (-7,52%), Taiwan (21,41%) Korea Selatan (-15.28%), Arab Saudi (-8,9), Belanda (-0,36%), dan yang relatif kecil, seperti China (2,12%), Australia (3,52%), dan rata-rata negara Eropa (1,76%). Mengapa ini terjadi? Padahal kita sudah melakukan pemasaran besar-besaran di negara itu, baik offline, online, direct selling, dan hard selling dengan anggaran APBN yang relatif besar.

Bahkan, branding Indonesia konon sudah mengalahkan Malaysia dan Thailand serta pariwisata Indonesia mendapatkan lebih dari 66 awards pada 2018. Namun, tampaknya belum ada korelasi positif antara jumlah award dengan jumlah kunjungan wisman.

Apalagi kalau kita benchmarking dengan wisman di negara tetangga yang juga kompetitor kita. Mereka tumbuh positif, seperti Thailand, wisatawan dari Korea (10,72%), Taiwan (25,07%), China (5,90%), dan Jepang (14.74%). Begitu pun Vietnam wisatawannya juga tumbuh, yakni dari (Korea 14,4%), Taiwan (11,5%), Tiongkok (12,3%), dan Jepang (10,42%). Kedua negara tersebut mempunyai pertumbuhan yang signifikan dibandingkan Indonesia tumbuh negatif atau relatif kecil.

Peningkatan wisman selama ini lebih bersifat progres tidak exponensial (berlipat) apalagi dengan dukungan anggaran semakin besar, yakni pada 2015 (Rp2,4 triliun), 2016 (Rp4,2 triliun dipangkas Rp1,2 triliun), pada 2017 (Rp3,6 triliun), dan 2018 (Rp3,6 triliun), mestinya ada penambahan jumlah wisman sangat signifikan.

Target Wisman 2019

Lalu bagaimana target perolehan wisman 20 juta pada 2019? Tentu tidak mudah karena perolehan pariwisata setiap tahun adalah akumulasi dari pertumbuhan dan kunjungan wisman setiap bulannya. Secara empiris bisa diprediksi pertumbuhannya dan upaya-upaya apa yang harus dilakukan karena kunjungan wisatawan itu pada dasarnya mengikuti musim (season), liburan, iklim, dan bisa juga diciptakan melalui MICE (meeting, incentive, convention, exhibition and event), yang dapat dilakukan sepanjang tahun, baik berskala lokal, nasional, regional, maupun global.

Peran pemerintah penting, tapi peran pelaku industri dan masyarakat jauh lebih penting. Sayangnya, asosiasi MICE di Indonesia tidak didukung aktif oleh pemerintah. Begitu pula Direktorat MICE di Kemenpar yang dilikuidasi. Thailand, Singapura, dan Hong Kong, adalah negara bertumpu pada industri MICE terutama berskala internasional.

Pada era saat ini digital marketing tidak bisa dihindari untuk mempermudah para wisatawan terutama dari kalangan generasi muda. Namun, di dunia pariwisata tentu digital adalah sebagai alat, tetapi pariwisata itu sendiri tidak bisa digantikan, harus dilihat dan dialami “tourism is experiencing” dan “seeing is believing”. Oleh karena itu, pemasaran pariwisata tidak hanya mengandalkan online marketing saja, tetapi juga harus mengandalkan kualitas destinasi yang menarik didukung pelayanan berkualitas sehingga adanya perpaduan antara hi-tech dan human touch.

Atraksi yang unik dan menarik didukung pelayanannya, hal inilah menjadikan destinasi menjadi branding, seperti Bromo, Banyuwangi, Wakatobi, dan Raja Ampat. Ke depannya, perlu dipacu upaya agar lebih banyak lagi menarik penerbangan dari luar negeri terutama negara-negara yang menjadi sumber pasar pariwisata Indonesia dan pasar potensial, seperti India, Afrika Selatan, dan Asia Tengah seperti Uzbekistan dan Kazakstan.

Sinergi

Destinasi itu ada di daerah. Untuk menjadikan destination branding tentu dibutuhkan sinergi dengan pemerintah pusat dan daerah, industri pariwisata (hotel restoran dan lainnya), dan transportasi. Melihat apa yang dilakukan Vietnam, nyaris tidak ada nasional branding dan jarang sekali menerima award, tapi jumlah kunjungan wisatawan terbilang tumbuh sangat pesat pada 2018 mencapai 15,4 juta atau naik 19,9%. Penyebab utamanya karena destinasi manajemennya (destination management organization) yang baik terutama pada pelayanan.

Selain online juga sangat dibutuhkan promosi offline. Selama ini ada travel mart internasional, seperti ITB Berlin, Arabian Travel Mart (Dubai-UAE), World Travel Mart (London-Inggris), serta Vakantiebeurs (Belanda) sebagai ajang bisnis forum dan pertemuan seller buyers pariwisata. Untuk melakukan pemasaran tersebut diperlukan sinergi antara pemerintah dan swasta yang terintegrasi.

Seharusnya peranan ini dilakukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang merupakan gabungan unsur-unsur pariwisata dan amanat UUD Kepariwisataan Nomor 10/2009, yang sayangnya, selama ini dinonaktifkan. Kemenpar lebih memilih model menggunakan tim percepatan, padahal pelaksanaannya sering bersinggungan dengan dunia birokrasi.

Ke depan untuk memajukan dunia pariwisata Indonesia harus ada evaluasi dan strategi baru yang disusun bersama-sama, baik dari pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha, dunia akademisi, media dan masyarakat, sehingga masyarakat menjadi bagian yang mendapatkan manfaat dari kepariwisataan. Kepariwisataan itu bersifat multidimensi, multisektor, dan multiskill dengan dampak ganda (multiplier) yang besar dari segi ekonomi dan sosial.

Oleh karena itu, kepariwisataan harus dikelola dengan semangat kebersamaan mengutamakan sinergitas dan menciptakan iklim incorporated. Kelihatannya seperti hal yang biasa dan klise, tetapi mustinya bisa diimplementasikan bila para pemangku kepentingan mempunyai visi yang sejalan.

Lalu apa yang diperlukan ke depan? Kita bisa mengacu pendapat I Gede Ardika, mantan menteri pariwisata dan guru pariwisata Indonesia (Kepariwisataan Berkelanjutan, 2018) bahwa kepariwisataan adalah symfoni orchestra, menteri kepariwisataan bertindak layaknya seorang konduktor dalam suatu orkestra. Harus mampu menggerakakn para “pemain” berbagai alat musik untuk mengikuti partitur yang telah disusun sehingga menghasilkan lagu yang harmonis. Semoga pariwisata kita pada 2019 dan selanjutnya akan semakin berkontribusi bagi ekonomi Indonesia.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6499 seconds (0.1#10.140)