Imlek Rasa Keroncong Oey
A
A
A
Stevanus Subagijo
Peneliti Center for National Urgency Studies Jakarta
IMLEK 2570 tahun ini sangat berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini Imlek berada dalam atmosfer tahun politik. Untuk itu, menegaskan kembali ketionghoaan di dalam keindonesiaan menjadi sangat krusial dalam perayaan Imlek sebagai tahun baru kali ini. Ketionghoaan tidak boleh jatuh pada chauvinisme dan eksklusivitasnya, tetapi bersama saudara sebangsa dan setanah air berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah.
Ketionghoaan harus dicangkokkan pada keindonesiaan. Label Tionghoa tidak boleh dimonopoli sebatas oknum atau kelompok tertentu saja. Tionghoa terbuka dan mencair pada semua kemungkinan partisipasi politik.
Apa pun parpolnya, siapa pun calon legislatif, dan siapa pun capres-cawapresnya kelak terpilih, baik Joko Widodo-Ma’ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai keniscayaan pasangan terbaik bangsa ini, yang sudah didaulat untuk ikut pemilihan presiden (pilpres). Tidak boleh ada label Tionghoa apa pun mengidentikkan diri sebagai representasi Tionghoa secara keseluruhan yang memihak dan berat sebelah. Karena sejarah ketionghoaan juga menelisik, tumbuh, dan hidup dalam berbagai ranah agama-kepercayaan, sosial, ekonomi, budaya dan politik, lintas zaman seumur Nusantara ini.
Empat Penari
Imlek dalam suasana tahun politik mesti bisa mendorong kedua pasangan capres-cawapres bersaing bukan dalam makna persaingan yang bermusuhan, tetapi bagai hiburan rakyat yang menghadirkan “empat penari” dalam suasana bak kemeriahan musik keroncong. Seperti lirik lagu Gambang Semarang ciptaan Oey Yok Siang/Sidik Pramono, dua “buaya keroncong” asal Magelang. “Tarian politik” empat penari diibaratkan demikian, yakni kedua capres-cawapres menjadikan tahun politik sebagai hiburan demokrasi, “Gambang Indonesia” yang menyenangkan hati rakyat.
Simak petikan lagunya, Empat penari kian kemari/Jalan berlenggang aduh/Sungguh jenaka menurut suara/Irama gambang. Semua mata rakyat tertuju pada keempat kandidat capres-cawapres yang berkunjung kepada hati rakyat, meminta restu, memberikan harapan dan optimisme, memaparkan rencana kelak sebagai nakhoda negeri ini. Berbagai tarian yang dibawakan penuh antusiasme-energik dan terkadang jenaka-humanis menarik suara dalam irama gambang tahun politik.
Sambutan rakyat riuh seperti lirik berikutnya, Sambil menyanyi jongkok berdiri/Kaki melintang aduh/Langkah gayanya menurut suara/Gambang Semarang. Imlek rasa keroncong kiranya membuat suasana tahun politik tidak menjadi tegang dan jauh dari keterbelahan masyarakat karena hoaks dan fitnah.
Dalam merayakan Imlek, ketionghoaan dalam keindonesiaan juga perlu membumikan kebersamaan dan relasi ribuan tahun yang telah dijalani menjadi histori semakin memperkuat kebangsaan. Banyaknya hoaks, berita bohong, dan fitnah hanya bisa ditangkal dengan bukti-relasi yang terus dibangun selama ini. Jangan sampai ketionghoaan yang dicapai selama ini pupus hanya karena gosip tidak jelas sumbernya.
Bak mimpi di siang hari bolong namun kita percaya mentah-mentah. Ini tidak boleh terjadi. Seperti lirik lagu keroncong Oey Yok Siang yang lain berjudul Impian Semalam. Demikian Waktu semalam bung aku bermimpi/Bertemu ular bung besar sekali/Ular menggigit bung jari kakiku/Setelah menggigit ular berlalu/Kupijit-pijit darah keluar/Aku menjerit aduh sampai tersadar/Apakah itu bung arti maksudnya/Impian semalam bung sangat seramnya.
Imlek dalam tahun politik mengharapkan semua makhluk berbahagia jasmani rohani. Salah satunya hati-pikiran perlu menyaring informasi yang benar dan positif, bukan sekadar mimpi digigit ular, buruk-negatif. Jika tidak begitu, tahun politik hanya akan membuat seram. Imlek kiranya mendatangkan kebaruan lahir-batin bukan saja pada Tionghoa yang merayakannya, tapi juga pada partisipasi politiknya dengan membuka kebaruan pada semua hal dibawa kedua pasangan capres-cawapres.
Imlek membawa kebaruan cara pandang yang tidak berat sebelah, adil, dan menunggu takdir politik siapa terpilih. Dukungan kepada kedua kubu capres-cawapres tidak saling menjatuhkan dan memusuhi. Kompetisi kedua pasangan mengingatkan bahwa pesta demokrasi bukan ajang perebutan politik tanpa etika dan nirkebaikan.
Bagaimanapun kedua pasangan kelak memainkan peran sebagai pemimpin pada yang terpilih. Selain itu, juga pengontrol jalannya pemerintahan pada yang kalah. Keduanya dibutuhkan dalam alam demokrasi Pancasila. Inilah harus selalu disuarakan keras agar tidak lupa, seperti lirik tadi, Aku menjerit aduh sampai tersadar.
Diplomasi Meja Makan
Namun demikian, selalu ada kemungkinan tahun politik juga ditarik pada perselisihan. Imlek semestinya membawa kedamaian pada ketionghoaan dalam relasinya dengan keindonesiaan, yakni untuk menahan diri dan mewaspadai gesekan politik yang mungkin terjadi. Lagu ciptaan Oey Yok Siang yang lain berjudul Aksi Kucing menuliskan kemungkinan ini dengan jenaka. Apa guna bung malu-malu kucing/Meong meong di belakang suaranya nyaring/Jangan suka bung diam-diam kucing/Sudah menerkam sebelumnya berunding. Tak ada angin tak ada hujan tapi ada isu terlontar nyaring walau diam-diam kucing. Akhirnya tiba-tiba menerkam terjadi konflik sebelum bermusyawarah.
Kebaruan Imlek mendorong musyawarah untuk mufakat sebagai jati diri bangsa. Dalam konteks Imlek disebut “diplomasi meja makan”. Tidak ada niat diam-diam kucing yang menerkam tanpa berunding. Jika dibiarkan dikhawatirkan hoaks, isu negatif, dan fitnah bisa menjadi pertikaian. Kawan sebangsa setanah air bisa menjadi lawan. Semua ini karena kesalahpahaman yang tidak diantisipasi, seperti lirik berikutnya. Aksi kucing membikin perselisihan/Salah-salah dari kawan jadi lawan/Salah faham bung karena aksi kucing/Urusan kecil bisa jadi meruncing.
Semua pihak dalam Imlek tahun ini perlu ikut mengambil peran minimal bagi komunitasnya. Untuk menyambut perhelatan politik dengan konstruktif-positif. Pemerintah dan TNI-Polri tetap menjunjung tinggi sebagai pengayom semua anak bangsa dalam kiprahnya pada tahun politik.
KPU, Bawaslu, dan semua jajaran lembaga terkait pemilihan legislatif (pileg) dan pilpres, termasuk Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, harus menjadi orkes keroncong dengan kesatuan alat musik, penari, dan penyanyi, bukan hanya di Gambang Semarang saja, tetapi juga menjadi “Gambang Indonesia”.
Dengan begitu, perhelatan politik pileg dan pilpres bisa disambut rakyat bukan dengan seram dan penuh ketakutan. Tapi, dengan suasana sebaliknya, seperti lirik penutup lagu Gambang Semarang itu. Bersuka ria, gelak tertawa/Semua orang, karena../Hati tertarik grak grik/Si tukang kendhang.
Peneliti Center for National Urgency Studies Jakarta
IMLEK 2570 tahun ini sangat berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini Imlek berada dalam atmosfer tahun politik. Untuk itu, menegaskan kembali ketionghoaan di dalam keindonesiaan menjadi sangat krusial dalam perayaan Imlek sebagai tahun baru kali ini. Ketionghoaan tidak boleh jatuh pada chauvinisme dan eksklusivitasnya, tetapi bersama saudara sebangsa dan setanah air berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah.
Ketionghoaan harus dicangkokkan pada keindonesiaan. Label Tionghoa tidak boleh dimonopoli sebatas oknum atau kelompok tertentu saja. Tionghoa terbuka dan mencair pada semua kemungkinan partisipasi politik.
Apa pun parpolnya, siapa pun calon legislatif, dan siapa pun capres-cawapresnya kelak terpilih, baik Joko Widodo-Ma’ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai keniscayaan pasangan terbaik bangsa ini, yang sudah didaulat untuk ikut pemilihan presiden (pilpres). Tidak boleh ada label Tionghoa apa pun mengidentikkan diri sebagai representasi Tionghoa secara keseluruhan yang memihak dan berat sebelah. Karena sejarah ketionghoaan juga menelisik, tumbuh, dan hidup dalam berbagai ranah agama-kepercayaan, sosial, ekonomi, budaya dan politik, lintas zaman seumur Nusantara ini.
Empat Penari
Imlek dalam suasana tahun politik mesti bisa mendorong kedua pasangan capres-cawapres bersaing bukan dalam makna persaingan yang bermusuhan, tetapi bagai hiburan rakyat yang menghadirkan “empat penari” dalam suasana bak kemeriahan musik keroncong. Seperti lirik lagu Gambang Semarang ciptaan Oey Yok Siang/Sidik Pramono, dua “buaya keroncong” asal Magelang. “Tarian politik” empat penari diibaratkan demikian, yakni kedua capres-cawapres menjadikan tahun politik sebagai hiburan demokrasi, “Gambang Indonesia” yang menyenangkan hati rakyat.
Simak petikan lagunya, Empat penari kian kemari/Jalan berlenggang aduh/Sungguh jenaka menurut suara/Irama gambang. Semua mata rakyat tertuju pada keempat kandidat capres-cawapres yang berkunjung kepada hati rakyat, meminta restu, memberikan harapan dan optimisme, memaparkan rencana kelak sebagai nakhoda negeri ini. Berbagai tarian yang dibawakan penuh antusiasme-energik dan terkadang jenaka-humanis menarik suara dalam irama gambang tahun politik.
Sambutan rakyat riuh seperti lirik berikutnya, Sambil menyanyi jongkok berdiri/Kaki melintang aduh/Langkah gayanya menurut suara/Gambang Semarang. Imlek rasa keroncong kiranya membuat suasana tahun politik tidak menjadi tegang dan jauh dari keterbelahan masyarakat karena hoaks dan fitnah.
Dalam merayakan Imlek, ketionghoaan dalam keindonesiaan juga perlu membumikan kebersamaan dan relasi ribuan tahun yang telah dijalani menjadi histori semakin memperkuat kebangsaan. Banyaknya hoaks, berita bohong, dan fitnah hanya bisa ditangkal dengan bukti-relasi yang terus dibangun selama ini. Jangan sampai ketionghoaan yang dicapai selama ini pupus hanya karena gosip tidak jelas sumbernya.
Bak mimpi di siang hari bolong namun kita percaya mentah-mentah. Ini tidak boleh terjadi. Seperti lirik lagu keroncong Oey Yok Siang yang lain berjudul Impian Semalam. Demikian Waktu semalam bung aku bermimpi/Bertemu ular bung besar sekali/Ular menggigit bung jari kakiku/Setelah menggigit ular berlalu/Kupijit-pijit darah keluar/Aku menjerit aduh sampai tersadar/Apakah itu bung arti maksudnya/Impian semalam bung sangat seramnya.
Imlek dalam tahun politik mengharapkan semua makhluk berbahagia jasmani rohani. Salah satunya hati-pikiran perlu menyaring informasi yang benar dan positif, bukan sekadar mimpi digigit ular, buruk-negatif. Jika tidak begitu, tahun politik hanya akan membuat seram. Imlek kiranya mendatangkan kebaruan lahir-batin bukan saja pada Tionghoa yang merayakannya, tapi juga pada partisipasi politiknya dengan membuka kebaruan pada semua hal dibawa kedua pasangan capres-cawapres.
Imlek membawa kebaruan cara pandang yang tidak berat sebelah, adil, dan menunggu takdir politik siapa terpilih. Dukungan kepada kedua kubu capres-cawapres tidak saling menjatuhkan dan memusuhi. Kompetisi kedua pasangan mengingatkan bahwa pesta demokrasi bukan ajang perebutan politik tanpa etika dan nirkebaikan.
Bagaimanapun kedua pasangan kelak memainkan peran sebagai pemimpin pada yang terpilih. Selain itu, juga pengontrol jalannya pemerintahan pada yang kalah. Keduanya dibutuhkan dalam alam demokrasi Pancasila. Inilah harus selalu disuarakan keras agar tidak lupa, seperti lirik tadi, Aku menjerit aduh sampai tersadar.
Diplomasi Meja Makan
Namun demikian, selalu ada kemungkinan tahun politik juga ditarik pada perselisihan. Imlek semestinya membawa kedamaian pada ketionghoaan dalam relasinya dengan keindonesiaan, yakni untuk menahan diri dan mewaspadai gesekan politik yang mungkin terjadi. Lagu ciptaan Oey Yok Siang yang lain berjudul Aksi Kucing menuliskan kemungkinan ini dengan jenaka. Apa guna bung malu-malu kucing/Meong meong di belakang suaranya nyaring/Jangan suka bung diam-diam kucing/Sudah menerkam sebelumnya berunding. Tak ada angin tak ada hujan tapi ada isu terlontar nyaring walau diam-diam kucing. Akhirnya tiba-tiba menerkam terjadi konflik sebelum bermusyawarah.
Kebaruan Imlek mendorong musyawarah untuk mufakat sebagai jati diri bangsa. Dalam konteks Imlek disebut “diplomasi meja makan”. Tidak ada niat diam-diam kucing yang menerkam tanpa berunding. Jika dibiarkan dikhawatirkan hoaks, isu negatif, dan fitnah bisa menjadi pertikaian. Kawan sebangsa setanah air bisa menjadi lawan. Semua ini karena kesalahpahaman yang tidak diantisipasi, seperti lirik berikutnya. Aksi kucing membikin perselisihan/Salah-salah dari kawan jadi lawan/Salah faham bung karena aksi kucing/Urusan kecil bisa jadi meruncing.
Semua pihak dalam Imlek tahun ini perlu ikut mengambil peran minimal bagi komunitasnya. Untuk menyambut perhelatan politik dengan konstruktif-positif. Pemerintah dan TNI-Polri tetap menjunjung tinggi sebagai pengayom semua anak bangsa dalam kiprahnya pada tahun politik.
KPU, Bawaslu, dan semua jajaran lembaga terkait pemilihan legislatif (pileg) dan pilpres, termasuk Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, harus menjadi orkes keroncong dengan kesatuan alat musik, penari, dan penyanyi, bukan hanya di Gambang Semarang saja, tetapi juga menjadi “Gambang Indonesia”.
Dengan begitu, perhelatan politik pileg dan pilpres bisa disambut rakyat bukan dengan seram dan penuh ketakutan. Tapi, dengan suasana sebaliknya, seperti lirik penutup lagu Gambang Semarang itu. Bersuka ria, gelak tertawa/Semua orang, karena../Hati tertarik grak grik/Si tukang kendhang.
(whb)