Terobosan Pengembangan Green Refinery
A
A
A
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi UGM, Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas
MENINGKATNYA impor migas, yang memberi kontribusi pada membengkaknya defisit neraca perdagangan migas, mendorong Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan berbagai upaya terobosan dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) secara berkelanjutan. Tujuan upaya terobosan itu selain untuk menghasilkan EBT yang ramah lingkungan, juga untuk mengurangi impor energi fosil yang tidak ramah lingkungan.
Kendati pengembangan EBT di Tanah Air cukup menggembirakan, secara nasional capaian EBT masih relatif rendah dalam bauran energi di Indonesia. Hingga akhir 2018, bauran energi pembangkit listrik masih didominasi oleh batu bara sebesar 57,22%, disusul gas 24,82%, BBM 5,81%, sedangkan porsi EBT mencapai sebesar 12,15%, sekitar 50% dari target ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Demikian juga dengan konsumsi BBM fosil yang cenderung meningkat setiap tahunnya, sehingga impor BBM menjadi penyumbang terbesar defisit neraca migas. Pada 2018, defisit neraca migas naik 44% dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang 2018, defisit neraca migas mencapai USD12,4 miliar, bandingkan pada 2017 hanya mencapai USD8,57 miliar.
Penyumbang terbesar defisit neraca migas adalah impor BBM, yang mencapai USD17,58 pada 2018, sedangkan impor minyak mentah mencapai USD9,1 miliar pada tahun yang sama. Untuk menurunkan impor BBM itu, Kementerian ESDM melakukan berbagai upaya terobosan, termasuk mengembangkan EBT sebagai substitusi energi fosil.
Setelah meluncurkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap (rooftop ) dan Biofuel 20% (B20), Menteri ESDM Ignasius Jonan mendorong Pertamina untuk melakukan terobosan dalam pengembangan EBT, dengan mengembangkan kilang bahan bakar yang lebih ramah lingkungan (green refinery).
Green refinery merupakan kilang yang mengolah crude palm oil 100% (CPO 100%) menjadi green diesel dan green avtur. Selain energi bersih yang ramah lingkungan, produksi green diesel dan green avtur berpotensi menurunkan impor BBM berbahan baku fosil, yang tidak ramah lingkungan.
Untuk merealisasikan terobosan itu, Pertamina menjalin kerja sama dengan perusahaan raksasa migas Italia, Eni SPA. Dengan disaksikan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, Direktur Pertamina telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Eni SPA untuk mengembangkan green refinery di Indonesia, CPO processing di Italia, dan circular economy, low carbon products dan renewable energy. Kerja sama ini akan dapat mengoptimalkan potensi sawit yang berlimpah di Indonesia, tidak hanya diolah di green refinery Indonesia, tetapi juga diolah di Italia.
Pemanfaatan CPO dalam jumlah besar tentunya akan mengerek harga CPO yang saat ini lagi terpuruk. Sepanjang 2018, rata-rata harga CPO hanya mencapai di bawah USD500 per metrik ton, sehingga menurunkan nilai ekspor CPO pada 2018 mencapai USD17,89 miliar turun 12,02% dibandingkan pada 2017 yang mencapai USD20,34 miliar. Dari total nilai ekspor CPO itu, hanya 1% digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
Dengan beroperasinya green refinery di Indonesia dan di Italia, permintaan CPO untuk olahan biodiesel akan meningkat sehingga dapat menaikkan harga CPO. Namun, kenaikan harga CPO berkelanjutan berpotensi harga keekonomian green diesel dan green avtur menjadi lebih mahal, bahkan tidak menutup kemungkinan harga jualnya akan lebih mahal ketimbang harga jual BBM fosil. Oleh karena itu, sejak dini perlu diantisipasi kemungkinan meroketnya harga CPO dunia dengan menetapkan Domestik Market Obligation (DMO), baik DMO Produksi CPO maupun DMO harga CPO yang digunakan green refinery Pertamina.
Kebijakan DMO merupakan intervensi pasar oleh pemerintah untuk menetapkan persentase tertentu dari total produksi (DMO produksi) dan penetapan harga (DMO harga) yang dibutuhkan green refinery Pertamina. Untuk memberikan jaminan pasokan CPO dibutuhkan green refinery Pertamina, pemerintah bisa menetapkan DMO produksi sebesar persentase tertentu dari total produksi CPO di dalam negeri.
Misalnya, pemerintah menetapkan DMO produksi sebesar 25% dari total produksi CPO, pengusaha CPO wajib menjual 25% dari total produksi CPO kepada Pertamina, sisanya 75% dijual secara bebas di pasar, termasuk diekspor.
Sementara untuk menjamin harga jual CPO ke green refinery Pertamina tidak terlalu mahal dan memastikan pengusaha CPO tidak menanggung rugi, pemerintah bisa menetapkan DMO Harga CPO, dengan mematok harga batas atas dan batas bawah, misalnya pemerintah menetapkan batas atas harga CPO sebesar USD750 per metrik ton.
Pada saat harga pasar CPO di atas USD750 per metrik ton, taruhlah harga CPO menembus USD900 per metrik ton, maka green refinery Pertamina membeli dari pengusaha CPO dengan harga USD750 per metrik ton. Sebaliknya, jika harga dunia CPO terpuruk di bawah USD530 per metrik ton, taruhlah harganya USD400 per metrik ton, di bawah harga pokok produksi, maka green refinery Pertamina membeli dari pengusaha CPO seharga USD530 per metrik ton.
Penetapan batas atas dan batas bawah DMO Harga CPO sesuai dengan prinsip share gain, share pain. Pada saat harga dunia CPO melonjak tinggi, pengusaha CPO sharing margin, sebaliknya jika harga terpuruk maka green refinery Pertamina ikut menanggung lost pengusaha CPO. Prinsip share gain, share pain sesungguhnya sesuai dengan semangat gotong royong, "ringan sama dijinjing, berat sama-sama dipikul".
Tanpa penetapan DMO produksi, tidak akan ada kepastian bahwa green refinery Pertamina akan dapat pasokan CPO secara berkelanjutan. Sementara tanpa DMO harga, pada saat harga CPO melambung maka ada kemungkinan harga keekonomian green diesel dan green avtur bisa lebih mahal ketimbang harga BBM fosil.
Ujung-ujungnya, impor BBM fosil akan kembali meningkat saat harga green diesel dan green avtur lebih mahal daripada harga BBM fosil. Kalau impor BBM fosil kembali meningkat, upaya terobosan pengembangan EBT melalui green refinery tidak akan memberikan nilai tambah secara optimal.
Pengamat Ekonomi Energi UGM, Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas
MENINGKATNYA impor migas, yang memberi kontribusi pada membengkaknya defisit neraca perdagangan migas, mendorong Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan berbagai upaya terobosan dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) secara berkelanjutan. Tujuan upaya terobosan itu selain untuk menghasilkan EBT yang ramah lingkungan, juga untuk mengurangi impor energi fosil yang tidak ramah lingkungan.
Kendati pengembangan EBT di Tanah Air cukup menggembirakan, secara nasional capaian EBT masih relatif rendah dalam bauran energi di Indonesia. Hingga akhir 2018, bauran energi pembangkit listrik masih didominasi oleh batu bara sebesar 57,22%, disusul gas 24,82%, BBM 5,81%, sedangkan porsi EBT mencapai sebesar 12,15%, sekitar 50% dari target ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Demikian juga dengan konsumsi BBM fosil yang cenderung meningkat setiap tahunnya, sehingga impor BBM menjadi penyumbang terbesar defisit neraca migas. Pada 2018, defisit neraca migas naik 44% dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang 2018, defisit neraca migas mencapai USD12,4 miliar, bandingkan pada 2017 hanya mencapai USD8,57 miliar.
Penyumbang terbesar defisit neraca migas adalah impor BBM, yang mencapai USD17,58 pada 2018, sedangkan impor minyak mentah mencapai USD9,1 miliar pada tahun yang sama. Untuk menurunkan impor BBM itu, Kementerian ESDM melakukan berbagai upaya terobosan, termasuk mengembangkan EBT sebagai substitusi energi fosil.
Setelah meluncurkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap (rooftop ) dan Biofuel 20% (B20), Menteri ESDM Ignasius Jonan mendorong Pertamina untuk melakukan terobosan dalam pengembangan EBT, dengan mengembangkan kilang bahan bakar yang lebih ramah lingkungan (green refinery).
Green refinery merupakan kilang yang mengolah crude palm oil 100% (CPO 100%) menjadi green diesel dan green avtur. Selain energi bersih yang ramah lingkungan, produksi green diesel dan green avtur berpotensi menurunkan impor BBM berbahan baku fosil, yang tidak ramah lingkungan.
Untuk merealisasikan terobosan itu, Pertamina menjalin kerja sama dengan perusahaan raksasa migas Italia, Eni SPA. Dengan disaksikan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, Direktur Pertamina telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Eni SPA untuk mengembangkan green refinery di Indonesia, CPO processing di Italia, dan circular economy, low carbon products dan renewable energy. Kerja sama ini akan dapat mengoptimalkan potensi sawit yang berlimpah di Indonesia, tidak hanya diolah di green refinery Indonesia, tetapi juga diolah di Italia.
Pemanfaatan CPO dalam jumlah besar tentunya akan mengerek harga CPO yang saat ini lagi terpuruk. Sepanjang 2018, rata-rata harga CPO hanya mencapai di bawah USD500 per metrik ton, sehingga menurunkan nilai ekspor CPO pada 2018 mencapai USD17,89 miliar turun 12,02% dibandingkan pada 2017 yang mencapai USD20,34 miliar. Dari total nilai ekspor CPO itu, hanya 1% digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
Dengan beroperasinya green refinery di Indonesia dan di Italia, permintaan CPO untuk olahan biodiesel akan meningkat sehingga dapat menaikkan harga CPO. Namun, kenaikan harga CPO berkelanjutan berpotensi harga keekonomian green diesel dan green avtur menjadi lebih mahal, bahkan tidak menutup kemungkinan harga jualnya akan lebih mahal ketimbang harga jual BBM fosil. Oleh karena itu, sejak dini perlu diantisipasi kemungkinan meroketnya harga CPO dunia dengan menetapkan Domestik Market Obligation (DMO), baik DMO Produksi CPO maupun DMO harga CPO yang digunakan green refinery Pertamina.
Kebijakan DMO merupakan intervensi pasar oleh pemerintah untuk menetapkan persentase tertentu dari total produksi (DMO produksi) dan penetapan harga (DMO harga) yang dibutuhkan green refinery Pertamina. Untuk memberikan jaminan pasokan CPO dibutuhkan green refinery Pertamina, pemerintah bisa menetapkan DMO produksi sebesar persentase tertentu dari total produksi CPO di dalam negeri.
Misalnya, pemerintah menetapkan DMO produksi sebesar 25% dari total produksi CPO, pengusaha CPO wajib menjual 25% dari total produksi CPO kepada Pertamina, sisanya 75% dijual secara bebas di pasar, termasuk diekspor.
Sementara untuk menjamin harga jual CPO ke green refinery Pertamina tidak terlalu mahal dan memastikan pengusaha CPO tidak menanggung rugi, pemerintah bisa menetapkan DMO Harga CPO, dengan mematok harga batas atas dan batas bawah, misalnya pemerintah menetapkan batas atas harga CPO sebesar USD750 per metrik ton.
Pada saat harga pasar CPO di atas USD750 per metrik ton, taruhlah harga CPO menembus USD900 per metrik ton, maka green refinery Pertamina membeli dari pengusaha CPO dengan harga USD750 per metrik ton. Sebaliknya, jika harga dunia CPO terpuruk di bawah USD530 per metrik ton, taruhlah harganya USD400 per metrik ton, di bawah harga pokok produksi, maka green refinery Pertamina membeli dari pengusaha CPO seharga USD530 per metrik ton.
Penetapan batas atas dan batas bawah DMO Harga CPO sesuai dengan prinsip share gain, share pain. Pada saat harga dunia CPO melonjak tinggi, pengusaha CPO sharing margin, sebaliknya jika harga terpuruk maka green refinery Pertamina ikut menanggung lost pengusaha CPO. Prinsip share gain, share pain sesungguhnya sesuai dengan semangat gotong royong, "ringan sama dijinjing, berat sama-sama dipikul".
Tanpa penetapan DMO produksi, tidak akan ada kepastian bahwa green refinery Pertamina akan dapat pasokan CPO secara berkelanjutan. Sementara tanpa DMO harga, pada saat harga CPO melambung maka ada kemungkinan harga keekonomian green diesel dan green avtur bisa lebih mahal ketimbang harga BBM fosil.
Ujung-ujungnya, impor BBM fosil akan kembali meningkat saat harga green diesel dan green avtur lebih mahal daripada harga BBM fosil. Kalau impor BBM fosil kembali meningkat, upaya terobosan pengembangan EBT melalui green refinery tidak akan memberikan nilai tambah secara optimal.
(maf)