Terobosan Pengembangan Green Refinery

Sabtu, 02 Februari 2019 - 07:08 WIB
Terobosan Pengembangan Green Refinery
Terobosan Pengembangan Green Refinery
A A A
Fahmy Radhi

Pengamat Ekonomi Energi UGM, Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas

MENINGKATNYA impor mi­gas, yang memberi kon­tri­busi pada mem­beng­kaknya defisit neraca perdagangan migas, mendorong Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan berbagai upaya terobosan dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) secara berkelanjut­an. Tujuan upaya terobosan itu selain untuk menghasilkan EBT yang ramah lingkungan, juga untuk mengurangi impor energi fosil yang tidak ramah lingkungan.

Kendati pengembangan EBT di Tanah Air cukup menggembirakan, secara nasional capaian EBT masih relatif rendah dalam bauran energi di Indonesia. Hingga akhir 2018, bauran energi pembangkit listrik masih di­do­minasi oleh batu bara sebesar 57,22%, disusul gas 24,82%, BBM 5,81%, se­dangkan porsi EBT mencapai sebesar 12,15%, sekitar 50% dari target ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Demikian juga dengan konsumsi BBM fosil yang cenderung meningkat setiap tahunnya, sehingga impor BBM menjadi penyumbang terbesar defisit neraca migas. Pada 2018, de­fisit neraca migas naik 44% diban­dingkan tahun sebelumnya. Sepan­jang 2018, defisit neraca migas men­capai USD12,4 miliar, bandingkan pada 2017 hanya mencapai USD8,57 miliar.

Penyumbang terbesar defisit neraca migas adalah impor BBM, yang mencapai USD17,58 pada 2018, sedangkan impor minyak mentah mencapai USD9,1 miliar pada tahun yang sama. Untuk menurunkan impor BBM itu, Kementerian ESDM melakukan berbagai upaya terobosan, termasuk mengembangkan EBT sebagai subs­ti­tusi energi fosil.

Setelah meluncurkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap (rooftop ) dan Biofuel 20% (B20), Menteri ESDM Ignasius Jonan mendorong Pertamina untuk me­lakukan terobosan dalam pengem­bangan EBT, dengan mengem­bang­kan kilang bahan bakar yang lebih ramah lingkungan (green refinery).

Green refinery merupakan kilang yang mengolah crude palm oil 100% (CPO 100%) menjadi green diesel dan green avtur. Selain energi bersih yang ramah lingkungan, produksi green diesel dan green avtur berpotensi menurunkan impor BBM berbahan baku fosil, yang tidak ramah lingkungan.

Untuk merealisasikan terobosan itu, Pertamina menjalin kerja sama dengan perusahaan raksasa migas Italia, Eni SPA. Dengan disaksikan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, Direktur Pertamina telah menanda­tangani perjanjian kerja sama dengan Eni SPA untuk mengembangkan green refinery di Indonesia, CPO processing di Italia, dan circular economy, low carbon products dan renewable energy. Kerja sama ini akan dapat mengoptimalkan potensi sawit yang berlimpah di Indonesia, tidak hanya diolah di green refinery Indonesia, tetapi juga diolah di Italia.

Pemanfaatan CPO dalam jumlah besar tentunya akan mengerek harga CPO yang saat ini lagi terpuruk. Se­pan­jang 2018, rata-rata harga CPO hanya mencapai di bawah USD500 per metrik ton, sehingga menu­run­kan nilai ekspor CPO pada 2018 men­capai USD17,89 miliar turun 12,02% di­bandingkan pada 2017 yang men­capai USD20,34 miliar. Dari total nilai ekspor CPO itu, hanya 1% digunakan sebagai bahan baku biodiesel.

Dengan beroperasinya green refinery di Indonesia dan di Italia, permintaan CPO untuk olahan biodiesel akan me­ningkat sehingga dapat menaikkan harga CPO. Namun, kenaikan harga CPO berkelanjutan berpotensi harga keekonomian green diesel dan green avtur menjadi lebih mahal, bahkan tidak menutup kemungkinan harga jualnya akan lebih mahal ketimbang harga jual BBM fosil. Oleh karena itu, sejak dini perlu diantisipasi kemung­kinan meroketnya harga CPO dunia dengan menetapkan Domestik Market Obligation (DMO), baik DMO Produksi CPO maupun DMO harga CPO yang digunakan green refinery Pertamina.

Kebijakan DMO merupakan inter­vensi pasar oleh pemerintah untuk menetapkan persentase tertentu dari total produksi (DMO produksi) dan penetapan harga (DMO harga) yang dibutuhkan green refinery Pertamina. Untuk memberikan jaminan pasokan CPO dibutuhkan green refinery Perta­mina, pemerintah bisa menetapkan DMO produksi sebesar persentase tertentu dari total produksi CPO di dalam negeri.

Misalnya, pemerintah menetapkan DMO produksi sebesar 25% dari total produksi CPO, peng­usaha CPO wajib menjual 25% dari total produksi CPO kepada Pertamina, sisanya 75% dijual secara bebas di pasar, termasuk diekspor.

Sementara untuk menjamin harga jual CPO ke green refinery Pertamina tidak terlalu mahal dan memastikan pengusaha CPO tidak menanggung rugi, pemerintah bisa menetapkan DMO Harga CPO, dengan mematok harga batas atas dan batas bawah, misalnya pemerintah menetapkan batas atas harga CPO sebesar USD750 per metrik ton.

Pada saat harga pasar CPO di atas USD750 per metrik ton, taruhlah harga CPO menembus USD900 per metrik ton, maka green refinery Pertamina membeli dari peng­usaha CPO dengan harga USD750 per metrik ton. Sebaliknya, jika harga dunia CPO terpuruk di bawah USD530 per metrik ton, taruhlah harganya USD400 per metrik ton, di bawah harga pokok produksi, maka green refinery Pertamina membeli dari pengusaha CPO seharga USD530 per metrik ton.

Penetapan batas atas dan batas bawah DMO Harga CPO sesuai dengan prinsip share gain, share pain. Pada saat harga dunia CPO melonjak tinggi, peng­usaha CPO sharing margin, se­ba­lik­­nya jika harga terpuruk maka green refinery Pertamina ikut menanggung lost peng­usaha CPO. Prinsip share gain, share pain sesungguhnya sesuai de­ngan sema­ngat gotong royong, "ringan sama dijinjing, berat sama-sama dipikul".

Tanpa penetapan DMO produksi, tidak akan ada kepastian bahwa green refinery Pertamina akan dapat pasok­an CPO secara berkelanjutan. Semen­tara tanpa DMO harga, pada saat harga CPO melambung maka ada kemung­kinan harga keekonomian green diesel dan green avtur bisa lebih mahal ke­tim­bang harga BBM fosil.

Ujung-ujun­g­nya, impor BBM fosil akan kem­bali meningkat saat harga green diesel dan green avtur lebih mahal daripada harga BBM fosil. Kalau impor BBM fosil kembali meningkat, upaya tero­bosan pengembangan EBT melalui green refinery tidak akan memberikan nilai tambah secara optimal.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4058 seconds (0.1#10.140)