Korupsi, Kanker Stadium 4

Jum'at, 01 Februari 2019 - 07:31 WIB
Korupsi, Kanker Stadium...
Korupsi, Kanker Stadium 4
A A A
Faisal Ismail

Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

DI acara The World in 2019 Gala Dinner (diselenggarakan majalah The Economist di Hotel Hyatt Singapura beberapa waktu lalu), calon presiden (capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto menilai korupsi di Indonesia ibarat kanker yang sudah masuk stadium 4. Artinya, kondisinya sudah benar-benar parah. Korupsi terjadi secara masif-eskalatif baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dalam kurun waktu yang panjang, keuangan negara dalam jumlah sangat besar (mencapai ratusan miliaran rupiah) digerogoti para koruptor untuk memperkaya diri, keluarganya, dan orang lain.
Dalam acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Hotel Bidakara, Jakarta, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengungkapkan, antara 2004-2017 terdapat 392 kepala daerah tersangkut masalah hukum, jumlah terbesar adalah kasus korupsi mencapai 313 kasus. Menurut Mendagri Tjahjo Kumolo, sektor rawan korupsi antara lain adalah penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, hibah dan bantuan sosial, perjalanan dinas, dan sektor perizinan. Akibat korupsi ini, pembangunan daerah sangat melambat. Modus korupsi terbesar yang dilakukan kepala daerah, kata Mendagri, adalah praktik penyuapan yang kerap kali melibatkan pelaku usaha.
Korupsi BerjamaahSalah satu contohnya adalah kasus korupsi massal oleh anggota DPRD Kota Malang. Korupsi berjamaah ini terbongkar setelah KPK menangkap ketua DPRD Malang Moch Arief Wicaksono dan kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Malang Jarot Edy Sulistyono. Arief disebut menerima suap Rp700 juta dari Edy terkait pembahasan APBD-Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015. Setelah KPK melakukan pendalaman terhadap kasus ini, jumlah tersangkanya membengkak menjadi 41 dari 46 anggota DPRD Malang.

Mantan ketua DPRD Malang, Moch Arief Wicaksono, telah diadili dan divonis lima tahun penjara. Akibat fatal korupsi massal ini, proses pembangunan di Kota Malang terancam lumpuh total. Sebanyak 41 dari 46 anggota Dewan yang tersangka korupsi itu berasal dari berbagai partai politik (parpol) dan kini mereka ditahan di rutan Kota Surabaya sambil menunggu proses hukum di pengadilan. Ini berarti anggota Dewan tinggal lima orang yang mengakibatkan agenda kerja Dewan tidak jalan. Untuk mengisi kekosongan ini dan agar agenda kerja Dewan terus berjalan, maka dilakukan penggantian antarwaktu.Kasus korupsi serupa juga terjadi di DPRD Sumatra Utara (Sumut). Setidaknya 50 anggota DRPD Sumut ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat kasus suap. Para tersangka itu berasal dari dua periode (2009-2014 dan 2014-2019), beberapa di antaranya sudah tidak lagi menjabat sebagai anggota DPRD. Mereka disebut menerima suap dengan kisaran Rp300 juta sampai Rp350 juta dari Gatot Pujo Nugroho (gubernur Sumut pada waktu itu). Gatot menjadi terdakwa korupsi dana hibah dan bantuan sosial 2012 dan 2013 senilai Rp4 miliar. Mantan Gubernur Sumut itu divonis enam tahun penjara, denda Rp200 juta, dan subsider empat bulan kurungan. Kabiro Humas KPK Febri Diansyah merilis data, sejak lembaga anti rasuah ini didirikan, lebih dari 220 anggota Dewan di seluruh Indonesia terjerat kasus korupsi.
Kasus-Kasus BesarSetya Novanto (Setnov), mantan Ketua DPR RI, tersandung dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2013. Majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan Setnov bersalah dan divonis 15 tahun penjara. Menurut majelis hakim, Setnov terbukti menyalahgunakan jabatan dan kedudukannya sebagai ketua Fraksi Golkar di DPR RI saat itu. Nilai korupsi Setnov tak tanggung-tanggung mencapai USD7,3 juta. Kasus korupsi juga menjerat Patrialis Akbar (mantan hakim Mahkamah Konstitusi/MK). Dia tersandung kasus korupsi karena terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman, dan stafnya, Ng Fenny. Majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan, Patrialis dan orang dekatnya, Kamaludin, menerima USD50.000 dan Rp 4 juta. Suap ini diberikan dengan tujuan agar Patrialis dapat membantu Basuki memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diajukan ke MK. Patrialis Akbar divonis 8 tahun penjara.
Masih soal korupsi besar yang menggerogoti keuangan negara. Majelis hakim Pengadilan Tipikor menvonis Zumi Zola (mantan Gubernur Jambi) selama enam tahun penjara, hak politiknya dicabut selama lima tahun, dan denda Rp500 juta. Zumi dinyatakan bersalah karena menerima gratifikasi Rp37,4 miliar, USD173 ribu, 100.000 dolar Singapura, dan 1 unit mobil Toyota Alphard sejak Februari 2016 sampai November 2017. Zumi Zola juga dinyatakan bersalah karena menyuap 53 anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 dengan total Rp 116,34 miliar sebagai duit ketuk palu agar DPRD Jambi menyetujui Raperda APBD tahun anggaran 2017 dan 2018 menjadi APBD 2017 dan 2018.
Dalam menangani kasus-kasus korupsi, KPK seringkali menghadapi teror. Misalnya, teror penyiraman air keras terhadap wajah penyidik senior KPK Novel Baswedan. Sampai kini pelaku kasus teror ini belum terungkap dan baru saja dibentuk tim gabungan pencari fakta untuk mencoba mengungkap kasus teror ini. Beberapa lama kemudian, teror terhadap KPK terjadi lagi. Rumah ketua umum KPK Agus Rahardjo dan Laode M Syarif dilempari bom. Publik berharap agar Kapolri dan jajarannya segera dapat mengungkap pelaku teror tersebut dan kasusnya diproses hukum. Siapa pun yang terpilih sebagai presiden-wapres periode 2019-2024, peran KPK harus lebih diberdayakan lagi dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi agar kondisi negeri ini ke depan lebih baik.
Seseorang melakukan korupsi dimotivasi oleh tidak terkendalinya nafsu hidup keduniawian-kebendaan yang menyebabkan dia menerabas dan menempuh jalan pintas. Perburuan uang, materi, dan hidup kebendaan terus dilakukan walaupun menabrak aturan hukum, nilai-nilai moral, dan ajaran agama. Benteng ampuh dan tangguh yang dapat menahan perilaku koruptif adalah kesadaran yang sangat kuat menaati dan mematuhi aturan hukum, nilai-nilai moral, dan ajaran Tuhan. Walaupun peluang dan kesempatan untuk korupsi terbuka baginya, tetapi ia tidak akan melakukannya karena dalam dirinya sudah tertanam perasaan dan budaya malu untuk melakukan korupsi.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7472 seconds (0.1#10.140)