Menerapkan E-Birokrasi Mencegah Korupsi
A
A
A
Riko Noviantoro
Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Nasional Jakarta
BATIN dan nalar kita sebagai anak bangsa tersentak saat melihat angka tindak korupsi saat ini. Setelah dua dekade reformasi, bukannya menurun, angka korupsi justru mengalami peningkatan. Kementerian Dalam Negeri pada 2018 mencatat 432 kepala daerah terjerat korupsi yang ditangani kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara itu, data Indonesian Coruption Watch (2018) mengungkapkan, kepala daerah yang tertangkap KPK periode 2004–2018 sebanyak 107 orang. Mereka terdiri atas 62 orang bupati, 23 orang wali kota, 15 orang gubernur, 3 orang wakil wali kota, 1 orang wakil bupati. Fakta ini mempertegas kejahatan korupsi lebih masif terjadi di daerah.
Begitu banyaknya kasus korupsi setara dengan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada 2017. Karena prestasi Indonesia memberantas korupsi tidak mengalami peningkatan signifikan. Data Transparansi Internasional (TI) memberikan skor IPK Indonesia pada angka 37 atau peringkat ke-96 dari 100 negara. Dalam skala yang digunakan 0–100, dengan skor 0 dinilai paling korup dan skor 100 dinilai paling bersih.
Sejatinya perang terhadap korupsi telah bergaung sejak era Orde Lama. Dibuktikan melalui terbitnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Peraturan ini diterbitkan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Kemudian pada Orde Baru, perang terhadap korupsi terus berlanjut, antara lain melalui regulasi Keppres Nomor 28/1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi, yang kemudian dituangkan dalam GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam Pengelolaan Negara, GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Aksi melawan korupsi juga gencar pada era Reformasi. Hal itu ditandai dengan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Secara teoritis korupsi bisa dilihat dari tiga kategori: (a) grand corruption, yaitu manakala sejumlah pejabat melakukan pencurian atau penyalahgunaan sumber daya publik secara besar-besaran; (b) state capture atau regulatory capture, yaitu kolusi resiprokal yang dilakukan oleh agen-agen pemerintah dan swasta untuk memperoleh keuntungan pribadi; dan (c) bureaucratic corruption atau petty corruption, yaitu keterlibatan pejabat publik di level bawah dalam menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan suap atau keuntungan yang kecil (Budi Sutiyono, Jurnal Politika 2017).
Dari cakupan definisi itu sangat jelas korupsi bisa dilakukan siapa saja. Dalam kondisi apa pun dengan motif yang juga bervariasi. Walhasil, bekerjanya KPK, kejaksaan, maupun kepolisian dalam menekan kasus korupsi masih jauh api dari panggang.
Kenyataan tersebut menunjukkan perlu terobosan yang lebih strategis dan modern. Khususnya dalam pencegahan korupsi. Hal itu bisa dilakukan melalui pemanfaatan teknologi informasi di berbagai pelayanan publik pemerintah yang kemudian dikenal sebagai e-Birokrasi. Gagasan e-birokrasi itu pun telah dibuatkan payung hukumnya melalui tiga regulasi, yakni Inpres Nomor 7/2015 tentang Aksi Pencegahan Korupsi, kemudian diperluas melalui Inpres Nomor 10/2016 dan Perpres No.54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Tiga payung peraturan itu menempatkan peran teknologi informasi sebagai sarana utama mencegah korupsi sekaligus meningkatkan pelayanan publik. Bahkan teknologi informasi dijadikan alat untuk meningkatkan pendapatan negara. Dalam Inpres No.7/2015 menetapkan 96 langkah pencegahan korupsi. Dari jumlah itu, 31 langkah dilakukan melalui pendekatan teknologi informasi. Sedangkan Inpres Nomor 10/2016 mencatat 9 aksi pencegahan korupsi untuk bidang pajak, perencanaan dan penganggaran, serta transaksi nontunai. Sedangkan Perpres Nomor 54/2018 diarahkan pada pemanfaatan teknologi informasi bagi peningkatan prosedur layanan berbasis digital.
Kini yang menjadi tantangan adalah kemauan pemerintah mengimplementasikan tiga payung regulasi dalam pelayanan publik. Dengan berkomitmen menghapus semua layanan publik berbasis konvensional. Menggantikan layanan publik berbasis teknologi informasi. Tidak hanya di pusat, tetapi juga di daerah. Semoga Indonesia bebas korupsi.
Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Nasional Jakarta
BATIN dan nalar kita sebagai anak bangsa tersentak saat melihat angka tindak korupsi saat ini. Setelah dua dekade reformasi, bukannya menurun, angka korupsi justru mengalami peningkatan. Kementerian Dalam Negeri pada 2018 mencatat 432 kepala daerah terjerat korupsi yang ditangani kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara itu, data Indonesian Coruption Watch (2018) mengungkapkan, kepala daerah yang tertangkap KPK periode 2004–2018 sebanyak 107 orang. Mereka terdiri atas 62 orang bupati, 23 orang wali kota, 15 orang gubernur, 3 orang wakil wali kota, 1 orang wakil bupati. Fakta ini mempertegas kejahatan korupsi lebih masif terjadi di daerah.
Begitu banyaknya kasus korupsi setara dengan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada 2017. Karena prestasi Indonesia memberantas korupsi tidak mengalami peningkatan signifikan. Data Transparansi Internasional (TI) memberikan skor IPK Indonesia pada angka 37 atau peringkat ke-96 dari 100 negara. Dalam skala yang digunakan 0–100, dengan skor 0 dinilai paling korup dan skor 100 dinilai paling bersih.
Sejatinya perang terhadap korupsi telah bergaung sejak era Orde Lama. Dibuktikan melalui terbitnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Peraturan ini diterbitkan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Kemudian pada Orde Baru, perang terhadap korupsi terus berlanjut, antara lain melalui regulasi Keppres Nomor 28/1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi, yang kemudian dituangkan dalam GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam Pengelolaan Negara, GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Aksi melawan korupsi juga gencar pada era Reformasi. Hal itu ditandai dengan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Secara teoritis korupsi bisa dilihat dari tiga kategori: (a) grand corruption, yaitu manakala sejumlah pejabat melakukan pencurian atau penyalahgunaan sumber daya publik secara besar-besaran; (b) state capture atau regulatory capture, yaitu kolusi resiprokal yang dilakukan oleh agen-agen pemerintah dan swasta untuk memperoleh keuntungan pribadi; dan (c) bureaucratic corruption atau petty corruption, yaitu keterlibatan pejabat publik di level bawah dalam menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan suap atau keuntungan yang kecil (Budi Sutiyono, Jurnal Politika 2017).
Dari cakupan definisi itu sangat jelas korupsi bisa dilakukan siapa saja. Dalam kondisi apa pun dengan motif yang juga bervariasi. Walhasil, bekerjanya KPK, kejaksaan, maupun kepolisian dalam menekan kasus korupsi masih jauh api dari panggang.
Kenyataan tersebut menunjukkan perlu terobosan yang lebih strategis dan modern. Khususnya dalam pencegahan korupsi. Hal itu bisa dilakukan melalui pemanfaatan teknologi informasi di berbagai pelayanan publik pemerintah yang kemudian dikenal sebagai e-Birokrasi. Gagasan e-birokrasi itu pun telah dibuatkan payung hukumnya melalui tiga regulasi, yakni Inpres Nomor 7/2015 tentang Aksi Pencegahan Korupsi, kemudian diperluas melalui Inpres Nomor 10/2016 dan Perpres No.54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Tiga payung peraturan itu menempatkan peran teknologi informasi sebagai sarana utama mencegah korupsi sekaligus meningkatkan pelayanan publik. Bahkan teknologi informasi dijadikan alat untuk meningkatkan pendapatan negara. Dalam Inpres No.7/2015 menetapkan 96 langkah pencegahan korupsi. Dari jumlah itu, 31 langkah dilakukan melalui pendekatan teknologi informasi. Sedangkan Inpres Nomor 10/2016 mencatat 9 aksi pencegahan korupsi untuk bidang pajak, perencanaan dan penganggaran, serta transaksi nontunai. Sedangkan Perpres Nomor 54/2018 diarahkan pada pemanfaatan teknologi informasi bagi peningkatan prosedur layanan berbasis digital.
Kini yang menjadi tantangan adalah kemauan pemerintah mengimplementasikan tiga payung regulasi dalam pelayanan publik. Dengan berkomitmen menghapus semua layanan publik berbasis konvensional. Menggantikan layanan publik berbasis teknologi informasi. Tidak hanya di pusat, tetapi juga di daerah. Semoga Indonesia bebas korupsi.
(pur)