Fakta Utang Pemerintah
A
A
A
Kusfiardi
Analis Ekonomi Politik, Co-Founder FINE Institute (Lembaga Kajian Fiskal dan Moneter)
UTANG pemerintah kembali menjadi sorotan dan memicu sahut-sahutan pendapat di berbagai media. Namun, kita perlu merujuk pada fakta tentang utang pemerintah. Fakta yang bisa menyelamatkan kita dari arus pemahaman keliru tentang utang pemerintah yang terus menggunung.
Faktanya selama ini utang pemerintah terus bertambah. Penambahan utang oleh pemerintah meningkatkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada sisi lain, rasio pajak rendah dan cenderung menurun. Kemudian diikuti dengan tidak terpenuhinya target penerimaan pajak.
Kondisi yang memprihatinkan lagi adalah keseimbangan primer defisit. Keseimbangan primer adalah penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Defisit keseimbangan primer menunjukkan bahwa penerimaan negara tidak mencukupi untuk menutupi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Situasi itu menggambarkan bahwa penambahan utang selama ini jauh dari baik-baik saja. Beberapa fakta selama ini menjerumuskan keuangan negara dalam jebakan utang, yakni pertama utang pemerintah bertambah; kedua, rasio utang terhadap PDB meningkat; ketiga, rasio pajak rendah; keempat, penerimaan pajak tidak tercapai; dan kelima, defisit keseimbangan primer.
Fakta pertama, utang pemerintah bertambah. Pada September 2018 total utang pemerintah berjumlah Rp4.416,37 triliun.Apabila dibandingkan dengan posisi utang pada periode sama tahun 2017 terdapat kenaikan sebesar Rp549,92 triliun dari Rp3.866,45 triliun menjadi Rp4.416,37 triliun. Utang pemerintah sebesar Rp4.416,37 triliun terdiri dari pinjaman sebesar Rp823,11 triliun dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp3.593,26 triliun.
Pinjamansebesar Rp823,11 triliun terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp816,73 triliun, dengan rincian pinjaman bilateral Rp328,35 triliun, multilateral Rp440,89 triliun, komersial Rp45,98 triliun, dan suppliers Rp1,52 triliun. Sedangkan pinjaman dalam negerinya sebesar Rp6,38 triliun.
Untuk SBN yang berjumlah Rp3.593,26 triliun terdiri dari denominasi rupiah Rp2.537,16 triliun. Rincian SBN meliputi SUN Rp2.123,35 triliun dan SBSN Rp413,81 triliun. Sedangkan untuk yang denominasi valas sebesar Rp1.056,10 triliun terdiri dari SUN Rp824,70 triliun dan SBSN sebesar Rp231,40 triliun.
Jika mengacu pada data yang ada sejak 2014, utang pemerintah terus mengalami kenaikan. Pada 2014 utang pemerintah berjumlah Rp2.608,7 triliun. Lalu pada 2015 naik menjadi Rp3.165,1 triliun. Pada 2016 bertambah menjadi Rp3.515,5 triliun dan pada 2017 jumlah utang pemerintah bertambah lagi menjadi Rp3.995,1 triliun.
Fakta kedua, rasio utang terhadap PDB terus meningkat. Seiring meningkatnya jumlah utang, rasio utang pemerintah terhadap PDB juga ikut terus membesar. Pada 2014 rasio utang pemerintah terhadap PDB adalah 24,70%. Pada 2015 naik menjadi 26,90%. Lalu naik lagi menjadi 27,90% pada 2016. Kemudian pada 2017 rasio utang pemerintah terhadap PDB sudah mencapai 28,70%.
Melihat data perkembangan rasio utang terhadap PDB tersebut, jumlah utang pemerintah terus membesar porsinya terhadap keseluruhan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di dalam negeri.Bisa dikatakan dengan adanya kenaikan rasio utang pemerintah terhadap PDB ikut menggerus jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi untuk kepentingan perekonomian nasional.
Fakta ketiga, rasio pajak rendah. Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam empat tahun terakhir cenderung turun. Rasio pajak pada 2014 sebesar 13,7% dari PDB. Pada 2015 turun menjadi 11,6% dari PDB. Namun, pada 2016 turun lagi menjadi 10,8% dan pada 2017 kembali turun menjadi 10,7%. Pada 2018 rasio pajak ditargetkan sebesar 11,6%. Rasio pajak Indonesia dari PDB relatif lebih rendah dibanding dengan rasio pajak Australia dan Afrika Selatan yang mencapai 27% maupun negara-negara kawasan Asia Tenggara.
Bahkan, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menjabat Managing Director di World Bank, mengakui bahwa dengan membandingkan yang low income countries, middle income countries, dan high income countries, 11% (tax ratio Indonesia) itu rendah. Standar yang dianggap ideal oleh Sri Mulyani bersama mitra kerjanya di Bank Dunia adalah 15%. Namun, selama menjabat sebagai Menteri Keuangan di pemerintahan Joko Widodo, Sri Mulyani tidak pernah mampu memenuhi target ideal rasio pajak yang menurutnya 15%.
Fakta keempat, penerimaan pajak tidak tercapai. Selama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjabat, realisasipenerimaan pajak tak pernah mencapai target. Bahkan, tahun ini, penerimaan pajak berpotensi mengukir rekor 10 tahun kekurangan penerimaan pajak (shortfall).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, terakhir kali penerimaan pajak mencapai target terjadi pada tahun fiskal 2008. Pada saat itu realisasi penerimaan pajak mencapai Rp571 triliun atau 106,7% dari target ditetapkan sebesar Rp535 triliun. Pada 2014 realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp985 triliun. Tingkat realisasi penerimaan pajak 91,9% dari target Rp1.072 triliun. Pada 2015 realisasi penerimaan pajak 81,5% dari target Rp1.294 triliun, yaitu Rp1.055 triliun. Pada 2016 realisasi penerimaan pajak berjumlah Rp1.283 triliun atau 83,4% dari target Rp1.539 triliun. Pada 2017 dari target Rp1.283 triliun realisasinya cuma 89,4%, yaitu Rp1.147 triliun. Penerimaan pajak 2018 berjumlah Rp1.315,9 triliun, hanya 92% realisasi dari target APBN 2018 sebesar Rp1.424 triliun.
Fakta kelima, defisit keseimbangan primer. Keseimbangan primer adalah selisih antara penerimaan negara dikurangi belanja yang tidak termasuk pembayaran bunga utang. Pada 2014 keseimbangan primer defisit sebesar Rp93,3 triliun atau 0,92% dari PDB. Pada 2015 realisasi keseimbangan primer tercatat sebesar Rp142,5 triliun atau 1,23% dari PDB. Pada 2016 masih terjadi defisit sebesar Rp125,6 triliun atau 1,01% terhadap PDB. Pada 2017 realisasi defisit keseimbangan primer berjumlahRp124,4 triliun atau 0,92% dari PDB.Pada 2018 defisit keseimbangan primer masih terjadi sebesar Rp1,8 triliun atau 0,01% PDB.
Defisit keseimbangan primer ini menunjukkan bahwa belanja negara lebih besar daripada pendapatan negara, maka keseimbangan primer mengalami defisit sehingga tidak ada dana untuk membayar bunga utang. Dengan keseimbangan primer yang defisit, pemerintah menarik utang baru untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo. Tradisi menambah utang untuk membayar utang berlangsung sejak 2012, saat Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2.
Rasanya tidaklah berlebihan jika ada penilaian terhadap menteri keuangan atau biasa disingkat menkeu sebagai Menteri Kecanduan Utang.
Analis Ekonomi Politik, Co-Founder FINE Institute (Lembaga Kajian Fiskal dan Moneter)
UTANG pemerintah kembali menjadi sorotan dan memicu sahut-sahutan pendapat di berbagai media. Namun, kita perlu merujuk pada fakta tentang utang pemerintah. Fakta yang bisa menyelamatkan kita dari arus pemahaman keliru tentang utang pemerintah yang terus menggunung.
Faktanya selama ini utang pemerintah terus bertambah. Penambahan utang oleh pemerintah meningkatkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada sisi lain, rasio pajak rendah dan cenderung menurun. Kemudian diikuti dengan tidak terpenuhinya target penerimaan pajak.
Kondisi yang memprihatinkan lagi adalah keseimbangan primer defisit. Keseimbangan primer adalah penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Defisit keseimbangan primer menunjukkan bahwa penerimaan negara tidak mencukupi untuk menutupi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Situasi itu menggambarkan bahwa penambahan utang selama ini jauh dari baik-baik saja. Beberapa fakta selama ini menjerumuskan keuangan negara dalam jebakan utang, yakni pertama utang pemerintah bertambah; kedua, rasio utang terhadap PDB meningkat; ketiga, rasio pajak rendah; keempat, penerimaan pajak tidak tercapai; dan kelima, defisit keseimbangan primer.
Fakta pertama, utang pemerintah bertambah. Pada September 2018 total utang pemerintah berjumlah Rp4.416,37 triliun.Apabila dibandingkan dengan posisi utang pada periode sama tahun 2017 terdapat kenaikan sebesar Rp549,92 triliun dari Rp3.866,45 triliun menjadi Rp4.416,37 triliun. Utang pemerintah sebesar Rp4.416,37 triliun terdiri dari pinjaman sebesar Rp823,11 triliun dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp3.593,26 triliun.
Pinjamansebesar Rp823,11 triliun terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp816,73 triliun, dengan rincian pinjaman bilateral Rp328,35 triliun, multilateral Rp440,89 triliun, komersial Rp45,98 triliun, dan suppliers Rp1,52 triliun. Sedangkan pinjaman dalam negerinya sebesar Rp6,38 triliun.
Untuk SBN yang berjumlah Rp3.593,26 triliun terdiri dari denominasi rupiah Rp2.537,16 triliun. Rincian SBN meliputi SUN Rp2.123,35 triliun dan SBSN Rp413,81 triliun. Sedangkan untuk yang denominasi valas sebesar Rp1.056,10 triliun terdiri dari SUN Rp824,70 triliun dan SBSN sebesar Rp231,40 triliun.
Jika mengacu pada data yang ada sejak 2014, utang pemerintah terus mengalami kenaikan. Pada 2014 utang pemerintah berjumlah Rp2.608,7 triliun. Lalu pada 2015 naik menjadi Rp3.165,1 triliun. Pada 2016 bertambah menjadi Rp3.515,5 triliun dan pada 2017 jumlah utang pemerintah bertambah lagi menjadi Rp3.995,1 triliun.
Fakta kedua, rasio utang terhadap PDB terus meningkat. Seiring meningkatnya jumlah utang, rasio utang pemerintah terhadap PDB juga ikut terus membesar. Pada 2014 rasio utang pemerintah terhadap PDB adalah 24,70%. Pada 2015 naik menjadi 26,90%. Lalu naik lagi menjadi 27,90% pada 2016. Kemudian pada 2017 rasio utang pemerintah terhadap PDB sudah mencapai 28,70%.
Melihat data perkembangan rasio utang terhadap PDB tersebut, jumlah utang pemerintah terus membesar porsinya terhadap keseluruhan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di dalam negeri.Bisa dikatakan dengan adanya kenaikan rasio utang pemerintah terhadap PDB ikut menggerus jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi untuk kepentingan perekonomian nasional.
Fakta ketiga, rasio pajak rendah. Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam empat tahun terakhir cenderung turun. Rasio pajak pada 2014 sebesar 13,7% dari PDB. Pada 2015 turun menjadi 11,6% dari PDB. Namun, pada 2016 turun lagi menjadi 10,8% dan pada 2017 kembali turun menjadi 10,7%. Pada 2018 rasio pajak ditargetkan sebesar 11,6%. Rasio pajak Indonesia dari PDB relatif lebih rendah dibanding dengan rasio pajak Australia dan Afrika Selatan yang mencapai 27% maupun negara-negara kawasan Asia Tenggara.
Bahkan, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menjabat Managing Director di World Bank, mengakui bahwa dengan membandingkan yang low income countries, middle income countries, dan high income countries, 11% (tax ratio Indonesia) itu rendah. Standar yang dianggap ideal oleh Sri Mulyani bersama mitra kerjanya di Bank Dunia adalah 15%. Namun, selama menjabat sebagai Menteri Keuangan di pemerintahan Joko Widodo, Sri Mulyani tidak pernah mampu memenuhi target ideal rasio pajak yang menurutnya 15%.
Fakta keempat, penerimaan pajak tidak tercapai. Selama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjabat, realisasipenerimaan pajak tak pernah mencapai target. Bahkan, tahun ini, penerimaan pajak berpotensi mengukir rekor 10 tahun kekurangan penerimaan pajak (shortfall).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, terakhir kali penerimaan pajak mencapai target terjadi pada tahun fiskal 2008. Pada saat itu realisasi penerimaan pajak mencapai Rp571 triliun atau 106,7% dari target ditetapkan sebesar Rp535 triliun. Pada 2014 realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp985 triliun. Tingkat realisasi penerimaan pajak 91,9% dari target Rp1.072 triliun. Pada 2015 realisasi penerimaan pajak 81,5% dari target Rp1.294 triliun, yaitu Rp1.055 triliun. Pada 2016 realisasi penerimaan pajak berjumlah Rp1.283 triliun atau 83,4% dari target Rp1.539 triliun. Pada 2017 dari target Rp1.283 triliun realisasinya cuma 89,4%, yaitu Rp1.147 triliun. Penerimaan pajak 2018 berjumlah Rp1.315,9 triliun, hanya 92% realisasi dari target APBN 2018 sebesar Rp1.424 triliun.
Fakta kelima, defisit keseimbangan primer. Keseimbangan primer adalah selisih antara penerimaan negara dikurangi belanja yang tidak termasuk pembayaran bunga utang. Pada 2014 keseimbangan primer defisit sebesar Rp93,3 triliun atau 0,92% dari PDB. Pada 2015 realisasi keseimbangan primer tercatat sebesar Rp142,5 triliun atau 1,23% dari PDB. Pada 2016 masih terjadi defisit sebesar Rp125,6 triliun atau 1,01% terhadap PDB. Pada 2017 realisasi defisit keseimbangan primer berjumlahRp124,4 triliun atau 0,92% dari PDB.Pada 2018 defisit keseimbangan primer masih terjadi sebesar Rp1,8 triliun atau 0,01% PDB.
Defisit keseimbangan primer ini menunjukkan bahwa belanja negara lebih besar daripada pendapatan negara, maka keseimbangan primer mengalami defisit sehingga tidak ada dana untuk membayar bunga utang. Dengan keseimbangan primer yang defisit, pemerintah menarik utang baru untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo. Tradisi menambah utang untuk membayar utang berlangsung sejak 2012, saat Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2.
Rasanya tidaklah berlebihan jika ada penilaian terhadap menteri keuangan atau biasa disingkat menkeu sebagai Menteri Kecanduan Utang.
(pur)