Kampanye Legislatif yang Produktif
![Kampanye Legislatif...](https://a-cdn.sindonews.net/dyn/732/content/2019/01/30/18/1374650/kampanye-legislatif-yang-produktif-1FP-thumb.jpg)
Kampanye Legislatif yang Produktif
A
A
A
Muhamad Saleh
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK),
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Partai politik (parpol) adalah jantung dari demokrasi perwakilan. Melalui parpol sirkulasi elite dan kepemimpinan politik sebuah negara berjalan. Baik dan buruknya demokrasi terletak pada kualitas parpol. Dalam hal ini parpol akan berperan sebagai penggerak demokrasi
perwakilan, parpol menyiapkan calon pemimpin untuk kemudian diseleksi dan ditawarkan kepada pemilih pada masa kampanye pemilu.
Parpol juga merumuskan rencana kebijakan publik berdasarkan aspirasi rakyat yang sudah dikaji secara mendalam yang perumusannya dituntun oleh ideologi partai untuk kemudian ditawarkan kepada pemilih pada masa kampanye pemilu. Karena itu, sebagai penggerak demokrasi perwakilan dan jembatan antara rakyat dan negara, parpol peserta pemilu seharusnya berusaha meyakinkan pemilih dengan
menawarkan rencana kebijakan publik (visi, misi, dan program) yang tepat dan menawarkan calon yang memiliki rekam jejak berintegritas dan kompetensi yang sudah teruji (Ramlan Surbakti, 2018). Termasuk dalam hal ini bagi para calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota.
Keberadaan anggota legislatif dalam demokrasi perwakilan sangatlah penting apalagi jika berkaca secara kelembagaan memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang melekat sebagai pengejawantahan prinsip-prinsip konstitusionalisme. Karena itu, jangan dianggap remeh visi, misi, dan program dari para caleg. Saat ini fokus seakan hanya ditujukan kepada pemilihan presiden, namun kita lupa bahkan abai dengan kampanye para caleg.
Problem Caleg dan Parpol
Padahal, oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikatakan setiap calon wajib menggunakan visi, misi, dan program partai sebagai materi kampanye. Tetapi, yang terjadi sebagian besar calon melaksanakan kampanye dengan pesan agenda pribadi. Pelbagai persoalan yang menyebabkan para calon tidak menggunakan visi, misi, dan program partai sebagai materi kampanye untuk meyakinkan pemilih.
Pertama, rumusan visi, misi, dan program partai terlalu umum karena hanya berisi preskripsi ideal suatu negara, tetapi tanpa program konkret untuk mencapainya. Padahal, dalam sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga Pol-Tracking Institute yang dilakukan terhadap 1.200 responden, ditemukan 37,6% responden mengakui visi, misi, dan program yang ditawarkan merupakan hal yang paling penting bagi publik.
Kedua, parpol tidak memahami permasalahan yang dihadapi konstituen. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan para caleg dan partai menjawab setiap masalah yang dihadapi konstituen. Misalkan kemiskinan, pengangguran, harga-harga bahan pokok, semua seharusnya diselesaikan dengan formulasi program seperti apa? Ini tidak terjawab. Kurangnya pemahaman parpol pada konstituen disebabkan oleh kurang intensifnya untuk melakukan hubungan dengan konstituen.
Ketiga, karena sebagian besar calon anggota DPR dan DPRD bukan hasil kaderisasi (tentang ideologi partai) berjenjang secara sistematis, fenomena parpol merekrut orang populer, artis, publik figur untuk mendulang suara partai hal yang kerap dilakukan partai. Padahal, para tokoh-tokoh yang direkrut secara “dadakan” itu tidak memiliki pemahaman tentang ideologi partai.
Ini merupakan refleksi dari belum berhasilnya parpol lakukan kaderisasi. Keempat, para calon menganggap para pemilih “mata duitan” atau bisa “dibeli” sehingga yang ditawarkan oleh caleg bukan program, melainkan uang dan bahan kebutuhan pokok. Kelima, regulasi tidak mewajibkan parpol dan caleg menyerahkan visi, misi, dan program kerja pada saat mendaftarkan diri.
Kampanye Produktif
Pelbagai permasalahan di atas harusnya dapat dijawab dengan mulai menyusun kampanye-kampanye yang lebih produktif. Hal itu dapat dilakukan dengan, pertama, partai harus menetapkan grand design rencana program yang akan diinternalisasikan oleh masing-masing wakil di lembaga legislatif terhadap tiga kewenangannya di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran.
Kedua, visi dan misi partai harus dirumuskan dalam bentuk program konkret dan jelas sehingga dapat menjawab setiap masalah masyarakat. Ketiga, caleg harus memaparkan visi, misi, dan program kerja parpol pada saat melakukan kampanye di konstituen/dapil dalam berbagi bentuk media yang dibenarkan.
Keempat, membangun sistem rekrutmen caleg secara demokratis dengan pola kaderisasi yang berjenjang sehingga diharapkan para kader paham terhadap ideologi partai. Kelima, menyelaraskan antara visi, misi, dan materi kampanye parpol, calon presiden/wakil presiden, calon DPR. Karena presiden dan DPR nanti akan bersama-sama membuat UU dan APBN sehingga pemerintah yang efektif akan dapat diwujudkan apabila agenda politik presiden sama dengan agenda politik partai yang menjadi pengusung/pendukungnya di DPR. Keenam, ke depan perlu dipikirkan regulasi yang mewajibkan parpol dan caleg menyerahkan visi, misi, dan program kerja pada saat mendaftarkan diri di pemilu.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK),
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Partai politik (parpol) adalah jantung dari demokrasi perwakilan. Melalui parpol sirkulasi elite dan kepemimpinan politik sebuah negara berjalan. Baik dan buruknya demokrasi terletak pada kualitas parpol. Dalam hal ini parpol akan berperan sebagai penggerak demokrasi
perwakilan, parpol menyiapkan calon pemimpin untuk kemudian diseleksi dan ditawarkan kepada pemilih pada masa kampanye pemilu.
Parpol juga merumuskan rencana kebijakan publik berdasarkan aspirasi rakyat yang sudah dikaji secara mendalam yang perumusannya dituntun oleh ideologi partai untuk kemudian ditawarkan kepada pemilih pada masa kampanye pemilu. Karena itu, sebagai penggerak demokrasi perwakilan dan jembatan antara rakyat dan negara, parpol peserta pemilu seharusnya berusaha meyakinkan pemilih dengan
menawarkan rencana kebijakan publik (visi, misi, dan program) yang tepat dan menawarkan calon yang memiliki rekam jejak berintegritas dan kompetensi yang sudah teruji (Ramlan Surbakti, 2018). Termasuk dalam hal ini bagi para calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota.
Keberadaan anggota legislatif dalam demokrasi perwakilan sangatlah penting apalagi jika berkaca secara kelembagaan memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang melekat sebagai pengejawantahan prinsip-prinsip konstitusionalisme. Karena itu, jangan dianggap remeh visi, misi, dan program dari para caleg. Saat ini fokus seakan hanya ditujukan kepada pemilihan presiden, namun kita lupa bahkan abai dengan kampanye para caleg.
Problem Caleg dan Parpol
Padahal, oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikatakan setiap calon wajib menggunakan visi, misi, dan program partai sebagai materi kampanye. Tetapi, yang terjadi sebagian besar calon melaksanakan kampanye dengan pesan agenda pribadi. Pelbagai persoalan yang menyebabkan para calon tidak menggunakan visi, misi, dan program partai sebagai materi kampanye untuk meyakinkan pemilih.
Pertama, rumusan visi, misi, dan program partai terlalu umum karena hanya berisi preskripsi ideal suatu negara, tetapi tanpa program konkret untuk mencapainya. Padahal, dalam sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga Pol-Tracking Institute yang dilakukan terhadap 1.200 responden, ditemukan 37,6% responden mengakui visi, misi, dan program yang ditawarkan merupakan hal yang paling penting bagi publik.
Kedua, parpol tidak memahami permasalahan yang dihadapi konstituen. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan para caleg dan partai menjawab setiap masalah yang dihadapi konstituen. Misalkan kemiskinan, pengangguran, harga-harga bahan pokok, semua seharusnya diselesaikan dengan formulasi program seperti apa? Ini tidak terjawab. Kurangnya pemahaman parpol pada konstituen disebabkan oleh kurang intensifnya untuk melakukan hubungan dengan konstituen.
Ketiga, karena sebagian besar calon anggota DPR dan DPRD bukan hasil kaderisasi (tentang ideologi partai) berjenjang secara sistematis, fenomena parpol merekrut orang populer, artis, publik figur untuk mendulang suara partai hal yang kerap dilakukan partai. Padahal, para tokoh-tokoh yang direkrut secara “dadakan” itu tidak memiliki pemahaman tentang ideologi partai.
Ini merupakan refleksi dari belum berhasilnya parpol lakukan kaderisasi. Keempat, para calon menganggap para pemilih “mata duitan” atau bisa “dibeli” sehingga yang ditawarkan oleh caleg bukan program, melainkan uang dan bahan kebutuhan pokok. Kelima, regulasi tidak mewajibkan parpol dan caleg menyerahkan visi, misi, dan program kerja pada saat mendaftarkan diri.
Kampanye Produktif
Pelbagai permasalahan di atas harusnya dapat dijawab dengan mulai menyusun kampanye-kampanye yang lebih produktif. Hal itu dapat dilakukan dengan, pertama, partai harus menetapkan grand design rencana program yang akan diinternalisasikan oleh masing-masing wakil di lembaga legislatif terhadap tiga kewenangannya di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran.
Kedua, visi dan misi partai harus dirumuskan dalam bentuk program konkret dan jelas sehingga dapat menjawab setiap masalah masyarakat. Ketiga, caleg harus memaparkan visi, misi, dan program kerja parpol pada saat melakukan kampanye di konstituen/dapil dalam berbagi bentuk media yang dibenarkan.
Keempat, membangun sistem rekrutmen caleg secara demokratis dengan pola kaderisasi yang berjenjang sehingga diharapkan para kader paham terhadap ideologi partai. Kelima, menyelaraskan antara visi, misi, dan materi kampanye parpol, calon presiden/wakil presiden, calon DPR. Karena presiden dan DPR nanti akan bersama-sama membuat UU dan APBN sehingga pemerintah yang efektif akan dapat diwujudkan apabila agenda politik presiden sama dengan agenda politik partai yang menjadi pengusung/pendukungnya di DPR. Keenam, ke depan perlu dipikirkan regulasi yang mewajibkan parpol dan caleg menyerahkan visi, misi, dan program kerja pada saat mendaftarkan diri di pemilu.
(nag)