Infrastruktur dan Pembangunan: Konvergensi atau Divergensi?

Rabu, 30 Januari 2019 - 07:44 WIB
Infrastruktur dan Pembangunan:...
Infrastruktur dan Pembangunan: Konvergensi atau Divergensi?
A A A
Sahara
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

Infrastruktur
me­ru­pakan salah satu to­pik bahasan pa­da debat kedua kam­panye calon presiden pada Feb­ruari nanti. Sebab itu, pe­ma­haman terhadap peran penting ­infrastruktur dan dampaknya ter­hadap pembangunan na­sio­nal dan wilayah menjadi pen­ting untuk diperhatikan.

Seperti diketahui, pem­ba­ngun­an infrastruktur menjadi fokus perhatian utama peme­rin­tahan Jokowi. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya ang­garan yang dialokasikan oleh pemerintah terhadap pem­bangunan infrastruktur dalam APBN 2016-2019. Pada 2016 anggaran untuk infrastruktur sebesar Rp317, 1 triliun, me­ning­kat menjadi Rp410 triliun pada 2018. Sebagian besar in­fra­struktur tersebut difo­kus­kan pada infrastruktur eko­no­mi (96%), terutama jalan, pe­la­buh­an, bandara, saluran irigasi, dan lain-lain.

Terlepas dari sumber pen­da­na­an infrastruktur yang men­jadi polemik di kalangan ma­sya­rakat akhir-akhir ini, besarnya dana yang digelontorkan oleh pe­merintah terhadap pem­ba­ngunan infrastruktur me­nun­juk­kan komitmen pemerintah un­tuk terus fokus pada pem­ba­ngunan infrastruktur. Pem­ba­ngun­an infrastruktur diyakini oleh pemerintah akan berdam­pak positif terhadap kinerja ekonomi nasional dan regional sebagaimana yang dinyatakan oleh teori pertumbuhan neo­klasik. Namun, fenomena kon­ver­gensi versus divergensi wila­yah dari adanya pembangunan in­frastruktur perlu menjadi per­hatian kita semua.

Konvergensi versus Divergensi

Berdasarkan teori per­tum­buhan neoklasik, pem­ba­ngun­an infrastruktur akan me­ning­katkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan. Pem­bangunan infrastruktur akan menurunkan biaya lo­gis­tik sehingga meningkatkan da­ya saing barang dan jasa yang di­hasilkan dan diekspor oleh wi­la­yah tersebut.

Adapun ko­mo­di­tas-komoditas yang tidak me­mi­liki keunggulan komparatif untuk diproduksi di dalam wi­la­yah tersebut akan diimpor dari wilayah lainnya. Melalui proses tersebut, spesialisasi di masing-masing wilayah akan terjadi yang pada gilirannya akan men­dorong inter-regional trade (per­dagangan antar wilayah) di Indonesia.

Teori pertumbuhan neo­kla­sik juga menyatakan bahwa pem­bangunan infrastruktur da­pat menarik masuknya in­ves­tasi yang dapat digunakan un­tuk menambah stok kapital di wilayah di mana in­fra­struktur tersebut dibangun se­hingga men­dorong per­kem­bangan sek­tor-sektor di wi­la­yah ter­se­but. Penganut teori ini juga me­ya­kini bahwa wilayah-wilayah yang selama ini ter­belakang akan mengalami per­tumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang relatif kaya sehingga akan dapat mengejar ketertinggalannya dengan wi­layah-wilayah yang ma­ju (catch-up effect). Dalam jang­ka pan­jang catch-up effect ter­sebut akan menurunkan ke­sen­ja­ngan pembangunan antar wi­la­yah (konvergensi).

Kendati demikian, ber­da­sar­kan temuan dari berbagai pe­nelitian, ternyata pem­ba­ngun­an infrastruktur justru bisa menghasilkan dampak yang berkebalikan dari apa yang di­yakini oleh teori per­tum­buh­an ekonomi neoklasik tersebut, yaitu menyebabkan ke­sen­jang­an antar wilayah (divergensi) semakin me­ning­kat.

Hal ini ter­jadi karena trickle down effect (efek penetesan ke ba­wah) dari pem­bangunan in­frastruktur ter­sebut tidak bisa di­man­faat­kan dengan baik oleh suatu wi­la­yah terutama wilayah ter­­ting­gal. Sehingga, ke­ber­ada­an in­fra­struktur yang se­ha­rus­nya me­nyebabkan biaya logistik se­makin murah tidak diikuti de­ngan ke­mam­puan wilayah ter­sebut untuk meningkatkan eks­por dan me­narik investasi.

Bagaimanakah dengan In­do­­nesia? Apakah pem­bangun­an infrastruktur me­nye­babkan konvergensi atau di­vergensi wilayah?
Dampak Pembangunan Infrastruktur di Indonesia.

Dengan menggunakan mo­del keseimbangan umum (co­m­pu­table general equilibrium- CGE), penulis melakukan si­mu­lasi peningkatan dana pem­ba­ngunan infrastruktur jalan, sa­ra­na pertanian, angkutan ke­re­ta api, angkutan sungai, dan ang­kutan udara. Hasil analisis me­nunjukkan bahwa di tingkat na­sional pembangunan in­fra­struktur di sektor tersebut akan berdampak positif terhadap kinerja makro dan sektoral.

Produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan me­ning­kat sebesar 0.002%. Dari sisi pe­ngeluaran peningkatan PDB ter­sebut dipicu oleh kenaikan kon­sumsi rumah tangga seb­e­sar 1.20% dan kenaikan penge­luar­an pemerintah sebesar 1.19%. Dari sisi penerimaan, ke­naikan PDB tersebut ber­sum­ber dari kenaikan upah (1.50%), sewa barang modal (1.67%), dan sewa lahan (2.81%).

Inflasi tetap ter­jadi terutama karena adanya ta­rik­an permintaan, na­mun in­flasi yang terjadi masih dalam ka­tegori inflasi yang ringan (0.92%). Meski de­mi­kian, hal pen­ting untuk dicatat adalah ter­jadinya defisit neraca per­da­gang­an (-0.67%) yang ber­sum­ber dari kenaikan impor
se­besar 1.16%. Seperti yang di­ke­tahui pembangunan infra­struktur akan menyebabkan pe­ning­kat­an impor barang mo­dal yang di­perlukan untuk pem­bangunan infrastruktur ter­sebut.

Dilihat dari kinerja sektoral, secara nasional pembangunan in­frastruktur akan me­nye­bab­kan kenaikan output di sektor-sek­tor yang menjadi fokus pe­ne­litian. Sebagai contoh, sektor per­tanian seperti padi, jagung, ke­delai masing-masing me­ning­kat sebesar 0.84%, 1.02%, dan 1.08%. Demikian juga hal­nya dengan sektor industri, per­tambangan, dan jasa-jasa (ter­masuk jasa perdagangan, dan keuangan) juga mengalami pe­ningkatan output .

Kendati demikian, dilihat dari sisi regional (30 provinsi da­lam model), hasil analisis CGE menunjukkan bahwa tidak semua provinsi menerima dam­pak positif dari pembangunan infrastruktur tersebut. Pro­vin­si-provinsi yang pertumbuhan ekonominya meningkat setelah ada pembangunan in­fra­struk­tur tersebut adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (0.05%), Jawa Tengah (0.06%), Sulawesi Utara (0.11%), NTT (0,07%), Kalimantan Barat (0.14%), Ka­li­mantan Selatan (0.19%), dan Kalimantan Tengah (0.24%).

Ada­pun provinsi-provinsi lain­nya mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil, bah­kan ada beberapa provinsi yang mengalami pertumbuhan eko­no­mi yang negatif.

Mengapa di level regional ada provinsi yang mendapat dam­pak positif dan negatif? Seperti yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, pro­vin­si yang mendapat dampak ne­gatif adalah provinsi yang ti­dak dapat memanfaatkan trickle down effect dari pem­ba­ngunan infrastruktur. Sebagai contoh ada pembangunan in­fra­struktur tol di sepanjang Pu­lau Jawa, manfaatnya belum tentu bisa dinikmati oleh semua wi­layah (terutama kabu­pa­ten/ko­ta) yang ada di sepanjang jalan tol tersebut.

Bagi wilayah yang bisa me­manfaatkan keberadaan jalan tol tersebut, arus barang yang diekspor dari wilayah tersebut akan semakin meningkat ka­re­na biaya logistik yang semakin murah. Peningkatan ekspor ter­sebut akan meningkatkan arus uang yang masuk ke wilayah ter­sebut dan meningkatkan per­tum­buhan ekonomi.

Adapun wi­layah yang tidak mampu me­ningkatkan ekspor dan me­na­rik investasi, arus uang yang ke­luar dari wilayah tersebut lebih besar dibandingkan arus uang yang masuk. Dalam jangka pan­jang tidak bekerjanya trickle down effect tersebut akan me­nye­babkan kesenjangan antar wilayah semakin meningkat di mana wilayah yang maju akan semakin maju, sementara wila­yah yang tertinggal akan se­ma­kin tertinggal walaupun secara nasional pembangunan in­fra­struktur berdampak positif.

Bagaimana mengurangi divergensi tersebut? Tentu saja wilayah-wilayah harus ber­be­nah diri agar dapat me­man­faat­kan dampak positif dari ke­ber­adaan infrastruktur tersebut. Di sini­lah pentingnya peran pe­me­rin­tah daerah untuk me­la­ku­kan ino­vasi dan kreativitas di sek­tor ung­gulan. Masing-ma­sing wila­yah memiliki ko­mo­di­tas ung­gul­an yang berbeda-be­da dan se­baiknya mereka fokus pada pe­ngembangan komo­di­tas ung­gulan melalui kegiatan-ke­giatan yang inovatif untuk me­ning­katkan daya saing dan nilai tam­bah produk unggulan tersebut. Dengan demikian, eks­por dari wilayah tersebut ke wi­layah lainnya akan me­ning­kat.

Pemerintah daerah juga ha­rus dapat menarik minat in­ves­tor untuk menginvestasikan usahanya di wilayah tersebut dengan cara menciptakan iklim investasi yang kondusif (mi­sal­nya jaminan keamanan ber­usa­ha dan menghilangkan pu­ngut­an-pungutan yang tidak di­per­lukan). Melalui peningkatan ekspor dan investasi di wilayah ter­sebut, maka trickle down effect dari pembangunan infra­struktur dapat dimanfaatkan de­ngan baik oleh masing-masing wilayah.

Sebagai penutup, pe­me­rin­tah pusat telah berkomitmen membangun infrastruktur stra­tegis di Indonesia. Secara na­sional pembangunan
infra­struktur tersebut berdampak positif terhadap kinerja eko­nomi makro dan sektoral. Na­mun, di tingkat regional dam­pak tersebut bisa berbeda-beda ter­gantung kemampuan ma­sing-masing wilayah dalam me­manfaatkan keberadaan in­fra­struktur yang telah dibangun.

Di sinilah peran penting kepala daerah untuk mendorong ma­sya­rakatnya secara bersama-sama memanfaatkan keber­ada­an infrastruktur yang telah di­ba­ngun oleh pemerintah pusat. Ja­ngan sampai komitmen pe­me­rintah untuk pembangunan in­frastruktur justru akan me­nye­babkan kesenjangan (di­ver­gen­si) antar wilayah semakin me­ningkat.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0861 seconds (0.1#10.140)