Infrastruktur dan Pembangunan: Konvergensi atau Divergensi?
A
A
A
Sahara
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB
Infrastruktur merupakan salah satu topik bahasan pada debat kedua kampanye calon presiden pada Februari nanti. Sebab itu, pemahaman terhadap peran penting infrastruktur dan dampaknya terhadap pembangunan nasional dan wilayah menjadi penting untuk diperhatikan.
Seperti diketahui, pembangunan infrastruktur menjadi fokus perhatian utama pemerintahan Jokowi. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur dalam APBN 2016-2019. Pada 2016 anggaran untuk infrastruktur sebesar Rp317, 1 triliun, meningkat menjadi Rp410 triliun pada 2018. Sebagian besar infrastruktur tersebut difokuskan pada infrastruktur ekonomi (96%), terutama jalan, pelabuhan, bandara, saluran irigasi, dan lain-lain.
Terlepas dari sumber pendanaan infrastruktur yang menjadi polemik di kalangan masyarakat akhir-akhir ini, besarnya dana yang digelontorkan oleh pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur menunjukkan komitmen pemerintah untuk terus fokus pada pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur diyakini oleh pemerintah akan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi nasional dan regional sebagaimana yang dinyatakan oleh teori pertumbuhan neoklasik. Namun, fenomena konvergensi versus divergensi wilayah dari adanya pembangunan infrastruktur perlu menjadi perhatian kita semua.
Konvergensi versus Divergensi
Berdasarkan teori pertumbuhan neoklasik, pembangunan infrastruktur akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan. Pembangunan infrastruktur akan menurunkan biaya logistik sehingga meningkatkan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan dan diekspor oleh wilayah tersebut.
Adapun komoditas-komoditas yang tidak memiliki keunggulan komparatif untuk diproduksi di dalam wilayah tersebut akan diimpor dari wilayah lainnya. Melalui proses tersebut, spesialisasi di masing-masing wilayah akan terjadi yang pada gilirannya akan mendorong inter-regional trade (perdagangan antar wilayah) di Indonesia.
Teori pertumbuhan neoklasik juga menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur dapat menarik masuknya investasi yang dapat digunakan untuk menambah stok kapital di wilayah di mana infrastruktur tersebut dibangun sehingga mendorong perkembangan sektor-sektor di wilayah tersebut. Penganut teori ini juga meyakini bahwa wilayah-wilayah yang selama ini terbelakang akan mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang relatif kaya sehingga akan dapat mengejar ketertinggalannya dengan wilayah-wilayah yang maju (catch-up effect). Dalam jangka panjang catch-up effect tersebut akan menurunkan kesenjangan pembangunan antar wilayah (konvergensi).
Kendati demikian, berdasarkan temuan dari berbagai penelitian, ternyata pembangunan infrastruktur justru bisa menghasilkan dampak yang berkebalikan dari apa yang diyakini oleh teori pertumbuhan ekonomi neoklasik tersebut, yaitu menyebabkan kesenjangan antar wilayah (divergensi) semakin meningkat.
Hal ini terjadi karena trickle down effect (efek penetesan ke bawah) dari pembangunan infrastruktur tersebut tidak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh suatu wilayah terutama wilayah tertinggal. Sehingga, keberadaan infrastruktur yang seharusnya menyebabkan biaya logistik semakin murah tidak diikuti dengan kemampuan wilayah tersebut untuk meningkatkan ekspor dan menarik investasi.
Bagaimanakah dengan Indonesia? Apakah pembangunan infrastruktur menyebabkan konvergensi atau divergensi wilayah?
Dampak Pembangunan Infrastruktur di Indonesia.
Dengan menggunakan model keseimbangan umum (computable general equilibrium- CGE), penulis melakukan simulasi peningkatan dana pembangunan infrastruktur jalan, sarana pertanian, angkutan kereta api, angkutan sungai, dan angkutan udara. Hasil analisis menunjukkan bahwa di tingkat nasional pembangunan infrastruktur di sektor tersebut akan berdampak positif terhadap kinerja makro dan sektoral.
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan meningkat sebesar 0.002%. Dari sisi pengeluaran peningkatan PDB tersebut dipicu oleh kenaikan konsumsi rumah tangga sebesar 1.20% dan kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar 1.19%. Dari sisi penerimaan, kenaikan PDB tersebut bersumber dari kenaikan upah (1.50%), sewa barang modal (1.67%), dan sewa lahan (2.81%).
Inflasi tetap terjadi terutama karena adanya tarikan permintaan, namun inflasi yang terjadi masih dalam kategori inflasi yang ringan (0.92%). Meski demikian, hal penting untuk dicatat adalah terjadinya defisit neraca perdagangan (-0.67%) yang bersumber dari kenaikan impor
sebesar 1.16%. Seperti yang diketahui pembangunan infrastruktur akan menyebabkan peningkatan impor barang modal yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur tersebut.
Dilihat dari kinerja sektoral, secara nasional pembangunan infrastruktur akan menyebabkan kenaikan output di sektor-sektor yang menjadi fokus penelitian. Sebagai contoh, sektor pertanian seperti padi, jagung, kedelai masing-masing meningkat sebesar 0.84%, 1.02%, dan 1.08%. Demikian juga halnya dengan sektor industri, pertambangan, dan jasa-jasa (termasuk jasa perdagangan, dan keuangan) juga mengalami peningkatan output .
Kendati demikian, dilihat dari sisi regional (30 provinsi dalam model), hasil analisis CGE menunjukkan bahwa tidak semua provinsi menerima dampak positif dari pembangunan infrastruktur tersebut. Provinsi-provinsi yang pertumbuhan ekonominya meningkat setelah ada pembangunan infrastruktur tersebut adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (0.05%), Jawa Tengah (0.06%), Sulawesi Utara (0.11%), NTT (0,07%), Kalimantan Barat (0.14%), Kalimantan Selatan (0.19%), dan Kalimantan Tengah (0.24%).
Adapun provinsi-provinsi lainnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil, bahkan ada beberapa provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Mengapa di level regional ada provinsi yang mendapat dampak positif dan negatif? Seperti yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, provinsi yang mendapat dampak negatif adalah provinsi yang tidak dapat memanfaatkan trickle down effect dari pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh ada pembangunan infrastruktur tol di sepanjang Pulau Jawa, manfaatnya belum tentu bisa dinikmati oleh semua wilayah (terutama kabupaten/kota) yang ada di sepanjang jalan tol tersebut.
Bagi wilayah yang bisa memanfaatkan keberadaan jalan tol tersebut, arus barang yang diekspor dari wilayah tersebut akan semakin meningkat karena biaya logistik yang semakin murah. Peningkatan ekspor tersebut akan meningkatkan arus uang yang masuk ke wilayah tersebut dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Adapun wilayah yang tidak mampu meningkatkan ekspor dan menarik investasi, arus uang yang keluar dari wilayah tersebut lebih besar dibandingkan arus uang yang masuk. Dalam jangka panjang tidak bekerjanya trickle down effect tersebut akan menyebabkan kesenjangan antar wilayah semakin meningkat di mana wilayah yang maju akan semakin maju, sementara wilayah yang tertinggal akan semakin tertinggal walaupun secara nasional pembangunan infrastruktur berdampak positif.
Bagaimana mengurangi divergensi tersebut? Tentu saja wilayah-wilayah harus berbenah diri agar dapat memanfaatkan dampak positif dari keberadaan infrastruktur tersebut. Di sinilah pentingnya peran pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dan kreativitas di sektor unggulan. Masing-masing wilayah memiliki komoditas unggulan yang berbeda-beda dan sebaiknya mereka fokus pada pengembangan komoditas unggulan melalui kegiatan-kegiatan yang inovatif untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk unggulan tersebut. Dengan demikian, ekspor dari wilayah tersebut ke wilayah lainnya akan meningkat.
Pemerintah daerah juga harus dapat menarik minat investor untuk menginvestasikan usahanya di wilayah tersebut dengan cara menciptakan iklim investasi yang kondusif (misalnya jaminan keamanan berusaha dan menghilangkan pungutan-pungutan yang tidak diperlukan). Melalui peningkatan ekspor dan investasi di wilayah tersebut, maka trickle down effect dari pembangunan infrastruktur dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masing-masing wilayah.
Sebagai penutup, pemerintah pusat telah berkomitmen membangun infrastruktur strategis di Indonesia. Secara nasional pembangunan
infrastruktur tersebut berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral. Namun, di tingkat regional dampak tersebut bisa berbeda-beda tergantung kemampuan masing-masing wilayah dalam memanfaatkan keberadaan infrastruktur yang telah dibangun.
Di sinilah peran penting kepala daerah untuk mendorong masyarakatnya secara bersama-sama memanfaatkan keberadaan infrastruktur yang telah dibangun oleh pemerintah pusat. Jangan sampai komitmen pemerintah untuk pembangunan infrastruktur justru akan menyebabkan kesenjangan (divergensi) antar wilayah semakin meningkat.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB
Infrastruktur merupakan salah satu topik bahasan pada debat kedua kampanye calon presiden pada Februari nanti. Sebab itu, pemahaman terhadap peran penting infrastruktur dan dampaknya terhadap pembangunan nasional dan wilayah menjadi penting untuk diperhatikan.
Seperti diketahui, pembangunan infrastruktur menjadi fokus perhatian utama pemerintahan Jokowi. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur dalam APBN 2016-2019. Pada 2016 anggaran untuk infrastruktur sebesar Rp317, 1 triliun, meningkat menjadi Rp410 triliun pada 2018. Sebagian besar infrastruktur tersebut difokuskan pada infrastruktur ekonomi (96%), terutama jalan, pelabuhan, bandara, saluran irigasi, dan lain-lain.
Terlepas dari sumber pendanaan infrastruktur yang menjadi polemik di kalangan masyarakat akhir-akhir ini, besarnya dana yang digelontorkan oleh pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur menunjukkan komitmen pemerintah untuk terus fokus pada pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur diyakini oleh pemerintah akan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi nasional dan regional sebagaimana yang dinyatakan oleh teori pertumbuhan neoklasik. Namun, fenomena konvergensi versus divergensi wilayah dari adanya pembangunan infrastruktur perlu menjadi perhatian kita semua.
Konvergensi versus Divergensi
Berdasarkan teori pertumbuhan neoklasik, pembangunan infrastruktur akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan. Pembangunan infrastruktur akan menurunkan biaya logistik sehingga meningkatkan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan dan diekspor oleh wilayah tersebut.
Adapun komoditas-komoditas yang tidak memiliki keunggulan komparatif untuk diproduksi di dalam wilayah tersebut akan diimpor dari wilayah lainnya. Melalui proses tersebut, spesialisasi di masing-masing wilayah akan terjadi yang pada gilirannya akan mendorong inter-regional trade (perdagangan antar wilayah) di Indonesia.
Teori pertumbuhan neoklasik juga menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur dapat menarik masuknya investasi yang dapat digunakan untuk menambah stok kapital di wilayah di mana infrastruktur tersebut dibangun sehingga mendorong perkembangan sektor-sektor di wilayah tersebut. Penganut teori ini juga meyakini bahwa wilayah-wilayah yang selama ini terbelakang akan mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang relatif kaya sehingga akan dapat mengejar ketertinggalannya dengan wilayah-wilayah yang maju (catch-up effect). Dalam jangka panjang catch-up effect tersebut akan menurunkan kesenjangan pembangunan antar wilayah (konvergensi).
Kendati demikian, berdasarkan temuan dari berbagai penelitian, ternyata pembangunan infrastruktur justru bisa menghasilkan dampak yang berkebalikan dari apa yang diyakini oleh teori pertumbuhan ekonomi neoklasik tersebut, yaitu menyebabkan kesenjangan antar wilayah (divergensi) semakin meningkat.
Hal ini terjadi karena trickle down effect (efek penetesan ke bawah) dari pembangunan infrastruktur tersebut tidak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh suatu wilayah terutama wilayah tertinggal. Sehingga, keberadaan infrastruktur yang seharusnya menyebabkan biaya logistik semakin murah tidak diikuti dengan kemampuan wilayah tersebut untuk meningkatkan ekspor dan menarik investasi.
Bagaimanakah dengan Indonesia? Apakah pembangunan infrastruktur menyebabkan konvergensi atau divergensi wilayah?
Dampak Pembangunan Infrastruktur di Indonesia.
Dengan menggunakan model keseimbangan umum (computable general equilibrium- CGE), penulis melakukan simulasi peningkatan dana pembangunan infrastruktur jalan, sarana pertanian, angkutan kereta api, angkutan sungai, dan angkutan udara. Hasil analisis menunjukkan bahwa di tingkat nasional pembangunan infrastruktur di sektor tersebut akan berdampak positif terhadap kinerja makro dan sektoral.
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan meningkat sebesar 0.002%. Dari sisi pengeluaran peningkatan PDB tersebut dipicu oleh kenaikan konsumsi rumah tangga sebesar 1.20% dan kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar 1.19%. Dari sisi penerimaan, kenaikan PDB tersebut bersumber dari kenaikan upah (1.50%), sewa barang modal (1.67%), dan sewa lahan (2.81%).
Inflasi tetap terjadi terutama karena adanya tarikan permintaan, namun inflasi yang terjadi masih dalam kategori inflasi yang ringan (0.92%). Meski demikian, hal penting untuk dicatat adalah terjadinya defisit neraca perdagangan (-0.67%) yang bersumber dari kenaikan impor
sebesar 1.16%. Seperti yang diketahui pembangunan infrastruktur akan menyebabkan peningkatan impor barang modal yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur tersebut.
Dilihat dari kinerja sektoral, secara nasional pembangunan infrastruktur akan menyebabkan kenaikan output di sektor-sektor yang menjadi fokus penelitian. Sebagai contoh, sektor pertanian seperti padi, jagung, kedelai masing-masing meningkat sebesar 0.84%, 1.02%, dan 1.08%. Demikian juga halnya dengan sektor industri, pertambangan, dan jasa-jasa (termasuk jasa perdagangan, dan keuangan) juga mengalami peningkatan output .
Kendati demikian, dilihat dari sisi regional (30 provinsi dalam model), hasil analisis CGE menunjukkan bahwa tidak semua provinsi menerima dampak positif dari pembangunan infrastruktur tersebut. Provinsi-provinsi yang pertumbuhan ekonominya meningkat setelah ada pembangunan infrastruktur tersebut adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (0.05%), Jawa Tengah (0.06%), Sulawesi Utara (0.11%), NTT (0,07%), Kalimantan Barat (0.14%), Kalimantan Selatan (0.19%), dan Kalimantan Tengah (0.24%).
Adapun provinsi-provinsi lainnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil, bahkan ada beberapa provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Mengapa di level regional ada provinsi yang mendapat dampak positif dan negatif? Seperti yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, provinsi yang mendapat dampak negatif adalah provinsi yang tidak dapat memanfaatkan trickle down effect dari pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh ada pembangunan infrastruktur tol di sepanjang Pulau Jawa, manfaatnya belum tentu bisa dinikmati oleh semua wilayah (terutama kabupaten/kota) yang ada di sepanjang jalan tol tersebut.
Bagi wilayah yang bisa memanfaatkan keberadaan jalan tol tersebut, arus barang yang diekspor dari wilayah tersebut akan semakin meningkat karena biaya logistik yang semakin murah. Peningkatan ekspor tersebut akan meningkatkan arus uang yang masuk ke wilayah tersebut dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Adapun wilayah yang tidak mampu meningkatkan ekspor dan menarik investasi, arus uang yang keluar dari wilayah tersebut lebih besar dibandingkan arus uang yang masuk. Dalam jangka panjang tidak bekerjanya trickle down effect tersebut akan menyebabkan kesenjangan antar wilayah semakin meningkat di mana wilayah yang maju akan semakin maju, sementara wilayah yang tertinggal akan semakin tertinggal walaupun secara nasional pembangunan infrastruktur berdampak positif.
Bagaimana mengurangi divergensi tersebut? Tentu saja wilayah-wilayah harus berbenah diri agar dapat memanfaatkan dampak positif dari keberadaan infrastruktur tersebut. Di sinilah pentingnya peran pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dan kreativitas di sektor unggulan. Masing-masing wilayah memiliki komoditas unggulan yang berbeda-beda dan sebaiknya mereka fokus pada pengembangan komoditas unggulan melalui kegiatan-kegiatan yang inovatif untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk unggulan tersebut. Dengan demikian, ekspor dari wilayah tersebut ke wilayah lainnya akan meningkat.
Pemerintah daerah juga harus dapat menarik minat investor untuk menginvestasikan usahanya di wilayah tersebut dengan cara menciptakan iklim investasi yang kondusif (misalnya jaminan keamanan berusaha dan menghilangkan pungutan-pungutan yang tidak diperlukan). Melalui peningkatan ekspor dan investasi di wilayah tersebut, maka trickle down effect dari pembangunan infrastruktur dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masing-masing wilayah.
Sebagai penutup, pemerintah pusat telah berkomitmen membangun infrastruktur strategis di Indonesia. Secara nasional pembangunan
infrastruktur tersebut berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral. Namun, di tingkat regional dampak tersebut bisa berbeda-beda tergantung kemampuan masing-masing wilayah dalam memanfaatkan keberadaan infrastruktur yang telah dibangun.
Di sinilah peran penting kepala daerah untuk mendorong masyarakatnya secara bersama-sama memanfaatkan keberadaan infrastruktur yang telah dibangun oleh pemerintah pusat. Jangan sampai komitmen pemerintah untuk pembangunan infrastruktur justru akan menyebabkan kesenjangan (divergensi) antar wilayah semakin meningkat.
(nag)