Babak Baru Konflik OSO dan KPU
A
A
A
Muhammad Yahdi Salampessy
Pegiat dan Pengamat Hukum
POLEMIK larangan bagi pengurus partai politik (parpol) untuk menduduki jabatan publik kian memanas dan memasuki babak baru. Oesman Sapta Odang (OSO), Ketua Umum Partai Hanura yang kembali mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD RI pada Pemilu 2019, berada di tengah-tengah pusaran polemik tersebut. Pasalnya, KPU telah memerintahkan OSO untuk mengundurkan diri dari kepengurusan partai jika ingin tetap masuk daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif.
Namun, OSO tampaknya bergeming. OSO tidak juga menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Alih-alih, Partai Hanura melalui Ketua Bidang Organisasi DPP Hanura Benny Rhamdani memastikan bahwa OSO tidak akan memenuhi perintah KPU sebab OSO. Menurut Benny, Partai Hanura hanya akan patuh dan tunduk kepada konstitusi dan hukum.
Cikal Perseteruan
Polemik ini bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 atas uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). MK memutus bahwa pengurus parpol tidak diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sebagai tindak lanjut atas putusan MK tersebut, KPU menerbitkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU No 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota DPD (“PKPU 26/2018”). Di situ antara lain diatur bakal calon anggota DPD yang masih menjadi pengurus parpol wajib mengundurkan diri.
Merasa dirugikan, OSO mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung untuk membatalkan Pasal 60A PKPU 26/2018. Tidak dinyana, MA menerima dan mengabulkan gugatan tersebut. MA menyatakan bahwa Pasal 60A PKPU 26/2018 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Babak Baru
Perseteruan OSO dengan KPU semakin panas ketika KPU kemudian menerbitkan Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan Daftar Calon Perseorangan Peserta Pemilihan Anggota DPD Tahun 2019 pada 20 September 2018. Pasalnya, di dalam keputusan tersebut, KPU mencoret nama OSO dari dalam Daftar Calon Tetap (DCT) DPD karena dinilai tidak memenuhi syarat. Sikap KPU tersebut lantas dilawan oleh OSO dengan mengajukan gugatan ke PTUN.
Dari sinilah babak baru perseteruan OSO dan KPU dimulai. PTUN mengabulkan gugatan OSO dan membatalkan Putusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018. Tidak hanya itu, PTUN juga memerintahkan KPU untuk mencabut keputusan tersebut dan menerbitkan keputusan baru yang mencantumkan OSO sebagai calon tetap peserta pemilu anggota DPD Tahun 2019.
Akrobat Hukum KPU
Sampai saat ini KPU tetap bersikukuh untuk tidak melaksanakan Putusan MA dan PTUN. Pihak KPU bersikeras jika ingin dicantumkan dalam DCT, OSO terlebih dahulu harus mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Hanura. Hal ini senada dan sejalan dengan Putusan MK sebagai The Guardian of Constitution.
Memang menjadi anomali ketika PKPU 26 yang merupakan tindak lanjut Putusan MK atas uji materiil UU Pemilu dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. MA seharusnya melihat bahwa PKPU 26 tersebut merupakan turunan dari UU Pemilu yang diputus oleh MK.
Dalam nalar hukum, sikap KPU yang tetap bertahan meminta OSO menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pengurus Partai Hanura merupakan suatu akrobat yang justru taat dan patuh terhadap konstitusi. Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sangat jelas ketentuan Pasal 24C ayat (1) tersebut menegaskan MK sebagai lembaga yang memiliki tugas untuk menguji UU dan memberikan penafsiran terhadap suatu UU. Berkaitan dengan kasus OSO, MK telah memberikan putusannya atas uji materiil UU Pemilu yang melarang pengurus partai mencalonkan diri sebagai caleg DPD. Putusan MK inilah yang harusnya menjadi pegangan KPU sebagai penyelenggaraan pemilu.
Namun, pihak Hanura, OSO, dan kuasa hukum OSO berdalih bahwa Putusan MK tidak berlaku surut. Dalih pihak Hanura dan OSO tersebut bermakna bahwa Putusan MK tidak dapat diterapkan untuk Pemilu 2019. Putusan MK memiliki daya ikat dan daya laku untuk Pemilu 2024 sehingga tidak dapat diterapkan dalam kasus OSO. Apakah benar demikian? Penulis akan menguraikan Putusan MK dimaksud dan akibat hukumnya.
Berlaku untuk Pemilu 2019
PKPU yang melarang pengurus parpol mencalonkan diri sebagai caleg DPD berlaku untuk Pemilu 2019. Dalam logika hukum, PKPU 26 sudah mulai berlaku sejak putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 dibacakan pada 23 Juli 2018. Putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyebutkan Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Oleh sebab itu, sangat tidak berdasar memandang Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 baru mulai berlaku untuk Pemilu 2024. Putusan MK tersebut diucapkan pada 23 Juli 2018 maka sejak saat itulah Putusan MK tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku.
Dalam beberapa perkara judicial review, suatu norma dalam undang-undang yang sudah diuji oleh MK secara otomatis akan langsung mengikat dan harus ditafsirkan sesuai dengan Putusan MK tanpa harus ada perubahan terhadap undang-undang tersebut guna melaksanakan Putusan MK. Sebagai contoh pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). MK melalui putusan Nomor 002/PPU-I/2003 menegaskan bahwa Pasal 28 UU Migas dibatalkan.Pasal tersebut menyerahkan penentuan harga BBM dan Gas Bumi pada mekanisme persaingan usaha yang sehat. MK dalam putusan tersebut berpendapat harus ada campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga BBM dan Gas Bumi. Tafsir MK atas undang-undang tersebut secara serta merta berlaku meskipun sampai saat ini belum ada revisi terhadap UU Migas.
Contoh Putusan MK tersebut dapat dijadikan dasar dan tolok ukur semua pihak dalam mengkaji kasus OSO. Putusan MK terhadap kasus OSO bisa langsung ditindaklanjuti tanpa harus menunggu revisi terhadap UU Pemilu. Hal ini sangat beralasan mengingat kedudukan MK tidak hanya sebagai negative legislator, tetapi juga sebagai positive legislator sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 48/PUU-IX/2011.
Martitah dalam bukunya “Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislator ke Positive Legislator?” Menguraikan bahwa pertimbangan Hakim MK dalam mengeluarkan putusan Positive Legislator antara lain karena faktor keadilan dan kemanfaatan masyarakat, situasi yang mendesak, dan dalam rangka mengisi kekosongan hukum guna menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat.
Dalam kasus OSO, seharusnya Putusan MK juga dipandang sebagai upaya untuk memberikan keadilan dan kemanfaatan untuk masyarakat. Putusan MK yang kemudian ditindaklanjuti oleh KPU dengan menerbitkan PKPU 26 langsung berlaku tanpa terlebih dahulu harus dilakukan perubahan terhadap UU Pemilu. Dengan kata lain, Putusan MK yang menegaskan larangan bagi pengurus partai politik untuk menjadi calon DPD adalah konstitusional dan posisinya sederajat dengan undang-undang.
Pegiat dan Pengamat Hukum
POLEMIK larangan bagi pengurus partai politik (parpol) untuk menduduki jabatan publik kian memanas dan memasuki babak baru. Oesman Sapta Odang (OSO), Ketua Umum Partai Hanura yang kembali mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD RI pada Pemilu 2019, berada di tengah-tengah pusaran polemik tersebut. Pasalnya, KPU telah memerintahkan OSO untuk mengundurkan diri dari kepengurusan partai jika ingin tetap masuk daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif.
Namun, OSO tampaknya bergeming. OSO tidak juga menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Alih-alih, Partai Hanura melalui Ketua Bidang Organisasi DPP Hanura Benny Rhamdani memastikan bahwa OSO tidak akan memenuhi perintah KPU sebab OSO. Menurut Benny, Partai Hanura hanya akan patuh dan tunduk kepada konstitusi dan hukum.
Cikal Perseteruan
Polemik ini bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 atas uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). MK memutus bahwa pengurus parpol tidak diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sebagai tindak lanjut atas putusan MK tersebut, KPU menerbitkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU No 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota DPD (“PKPU 26/2018”). Di situ antara lain diatur bakal calon anggota DPD yang masih menjadi pengurus parpol wajib mengundurkan diri.
Merasa dirugikan, OSO mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung untuk membatalkan Pasal 60A PKPU 26/2018. Tidak dinyana, MA menerima dan mengabulkan gugatan tersebut. MA menyatakan bahwa Pasal 60A PKPU 26/2018 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Babak Baru
Perseteruan OSO dengan KPU semakin panas ketika KPU kemudian menerbitkan Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan Daftar Calon Perseorangan Peserta Pemilihan Anggota DPD Tahun 2019 pada 20 September 2018. Pasalnya, di dalam keputusan tersebut, KPU mencoret nama OSO dari dalam Daftar Calon Tetap (DCT) DPD karena dinilai tidak memenuhi syarat. Sikap KPU tersebut lantas dilawan oleh OSO dengan mengajukan gugatan ke PTUN.
Dari sinilah babak baru perseteruan OSO dan KPU dimulai. PTUN mengabulkan gugatan OSO dan membatalkan Putusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018. Tidak hanya itu, PTUN juga memerintahkan KPU untuk mencabut keputusan tersebut dan menerbitkan keputusan baru yang mencantumkan OSO sebagai calon tetap peserta pemilu anggota DPD Tahun 2019.
Akrobat Hukum KPU
Sampai saat ini KPU tetap bersikukuh untuk tidak melaksanakan Putusan MA dan PTUN. Pihak KPU bersikeras jika ingin dicantumkan dalam DCT, OSO terlebih dahulu harus mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Hanura. Hal ini senada dan sejalan dengan Putusan MK sebagai The Guardian of Constitution.
Memang menjadi anomali ketika PKPU 26 yang merupakan tindak lanjut Putusan MK atas uji materiil UU Pemilu dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. MA seharusnya melihat bahwa PKPU 26 tersebut merupakan turunan dari UU Pemilu yang diputus oleh MK.
Dalam nalar hukum, sikap KPU yang tetap bertahan meminta OSO menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pengurus Partai Hanura merupakan suatu akrobat yang justru taat dan patuh terhadap konstitusi. Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sangat jelas ketentuan Pasal 24C ayat (1) tersebut menegaskan MK sebagai lembaga yang memiliki tugas untuk menguji UU dan memberikan penafsiran terhadap suatu UU. Berkaitan dengan kasus OSO, MK telah memberikan putusannya atas uji materiil UU Pemilu yang melarang pengurus partai mencalonkan diri sebagai caleg DPD. Putusan MK inilah yang harusnya menjadi pegangan KPU sebagai penyelenggaraan pemilu.
Namun, pihak Hanura, OSO, dan kuasa hukum OSO berdalih bahwa Putusan MK tidak berlaku surut. Dalih pihak Hanura dan OSO tersebut bermakna bahwa Putusan MK tidak dapat diterapkan untuk Pemilu 2019. Putusan MK memiliki daya ikat dan daya laku untuk Pemilu 2024 sehingga tidak dapat diterapkan dalam kasus OSO. Apakah benar demikian? Penulis akan menguraikan Putusan MK dimaksud dan akibat hukumnya.
Berlaku untuk Pemilu 2019
PKPU yang melarang pengurus parpol mencalonkan diri sebagai caleg DPD berlaku untuk Pemilu 2019. Dalam logika hukum, PKPU 26 sudah mulai berlaku sejak putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 dibacakan pada 23 Juli 2018. Putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyebutkan Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Oleh sebab itu, sangat tidak berdasar memandang Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 baru mulai berlaku untuk Pemilu 2024. Putusan MK tersebut diucapkan pada 23 Juli 2018 maka sejak saat itulah Putusan MK tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku.
Dalam beberapa perkara judicial review, suatu norma dalam undang-undang yang sudah diuji oleh MK secara otomatis akan langsung mengikat dan harus ditafsirkan sesuai dengan Putusan MK tanpa harus ada perubahan terhadap undang-undang tersebut guna melaksanakan Putusan MK. Sebagai contoh pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). MK melalui putusan Nomor 002/PPU-I/2003 menegaskan bahwa Pasal 28 UU Migas dibatalkan.Pasal tersebut menyerahkan penentuan harga BBM dan Gas Bumi pada mekanisme persaingan usaha yang sehat. MK dalam putusan tersebut berpendapat harus ada campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga BBM dan Gas Bumi. Tafsir MK atas undang-undang tersebut secara serta merta berlaku meskipun sampai saat ini belum ada revisi terhadap UU Migas.
Contoh Putusan MK tersebut dapat dijadikan dasar dan tolok ukur semua pihak dalam mengkaji kasus OSO. Putusan MK terhadap kasus OSO bisa langsung ditindaklanjuti tanpa harus menunggu revisi terhadap UU Pemilu. Hal ini sangat beralasan mengingat kedudukan MK tidak hanya sebagai negative legislator, tetapi juga sebagai positive legislator sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 48/PUU-IX/2011.
Martitah dalam bukunya “Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislator ke Positive Legislator?” Menguraikan bahwa pertimbangan Hakim MK dalam mengeluarkan putusan Positive Legislator antara lain karena faktor keadilan dan kemanfaatan masyarakat, situasi yang mendesak, dan dalam rangka mengisi kekosongan hukum guna menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat.
Dalam kasus OSO, seharusnya Putusan MK juga dipandang sebagai upaya untuk memberikan keadilan dan kemanfaatan untuk masyarakat. Putusan MK yang kemudian ditindaklanjuti oleh KPU dengan menerbitkan PKPU 26 langsung berlaku tanpa terlebih dahulu harus dilakukan perubahan terhadap UU Pemilu. Dengan kata lain, Putusan MK yang menegaskan larangan bagi pengurus partai politik untuk menjadi calon DPD adalah konstitusional dan posisinya sederajat dengan undang-undang.
(whb)