Debat Pilpres dan Politik Media

Sabtu, 26 Januari 2019 - 08:15 WIB
Debat Pilpres dan Politik Media
Debat Pilpres dan Politik Media
A A A
Didimus Dedi Dhosa
Dosen FISIP Unika Widya Mandira-Kupang

DEBAT calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) tahap pertama usai dilaksanakan pada 17 Januari lalu. Di lini masa sosial media, warga dunia maya ramai-ramai melontarkan pelbagai kritik sesudah debat itu digelar.

Kritik itu dilontarkan kepada penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan dialamatkan juga kepada kedua pasangan calon. Selain disemaraki oleh kritik, lini masa jagad sosial media dijejali pula oleh perang antarpendukung masing-masing kandidat.

Fanatisme buta para pendukung menyebarkan ocehan murahan dan saling tuding justru membidani lahirnya diskursus demokrasi tanpa etika. Pada akhirnya, publik menilai bahwa panggung debat tak lebih dari pamer strategi murahan meraup simpati swing voters, minus substansi membangun ke-Indonesia-an yang jaya.

Yang hilang dari perdebatan edisi pertama adalah diskursus rasional dan strategis membedah dua problem krusial bangsa yakni korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dua hal ini seolah-olah barang haram diperbincangkan. Pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan oleh tim panelis disinyalir tidak menukik, dan bahkan perdebatan seputar korupsi dan pelanggaran HAM masa lalu justeru tidak menohok.

Korupsi adalah satu satu problem mendasar yang menyebabkan Indonesia belum bisa menjadi bangsa besar, yang bukan sekadar sejajar dengan negara-negara maju melainkan bangsa yang menyejahterakan rakyatnya seturut semangat dasar pembentukan nation-state oleh para pendiri bangsa.

Berdasarkan survei persepsi yang dilakukan oleh Transparency International tahun 2017, ditemukan bahwa lembaga terkorup adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota DPR adalah orang-orang terhormat. Mereka dihormati lantaran mengemban tugas representasi kepentingan rakyat.
Kepentingan DPR adalah kepentingan rakyat. Ini tentu ada pada tataran ideal (das sollen). Tapi di tataran praksis (das sein), lembaga itu justru bukan sebuah institusi terhormat. Ia terjungkil ke tubir keboborkan justru oleh ulah korup yang dilakukan bukan cuma per individu (aktor) melainkan juga dibuat secara berjemaah (institusi).
Posisi korup kedua adalah birokrasi, disusul DPRD, Kepolisian, Kementerian, dan Pengadilan. Ironisnya bahwa keenam institusi ini berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Mengatasnamakan rakyat, kinerja lembaga ini malah menggantang untuk kepentingan pribadi dan lembaganya.

Ketika lembaga antirasuah coba membongkar jejaring korupsi yang menggurita dalam tubuh institusi-institusi tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malah diserang balik dan dibonsai habis-habisan. Kewenangan penyadapan KPK pernah dipolitisasi, yang berujung pada usaha pemangkasan. Tatkala kasus-kasus besar kian terbongkar dan mengalami titik terang untuk disampaikan ke publik, penyidik KPK Novel Baswedan pun disiram dengan air keras. Rumah petinggi KPK diserang ancaman bom.

Publik di Tanah Air berharap agar debat tentang korupsi bisa menukil ke persoalan mendasar korupsi. Membongkar kasus korupsi tak jauh dari membongkar keterlibatan partai, tempat di mana para anggota dewan terhormat berlindung, dan kepada partai pula anggota dewan terhormat itu menjaga eksistensi, salah satunya melalui proyek dan fee proyek. Tapi, harapan publik itu pupus seiring berakhirnya putaran pertama debat.

Di sisi lain, problem HAM pun ditunggu oleh publik untuk diperdebatkan secara jujur. Rezim demi rezim berganti, masalah HAM tidak pernah diselesaikan hingga tuntas. Para korban mengalami penderitaan mendalam, sementara itu para pelaku masih melenggang di kancah politik. Sebetulnya, membicarakan HAM secara jujur dapat menaikan elektabilitas masing-masing kandidat di hadapan publik.

Prabowo Subianto memiliki data-data valid seputar pelanggaran HAM di Indonesia. Ia dibesarkan dalam trah dan melalui jejaring rezim Orde Baru. Dan, kubu Joko Widodo sebetulnya mampu meyakinkan publik mengapa hingga saat ini penyelesaian kasus HAM masih berada di tataran lips services, di saat kekuasaan itu ada di tangannya. Sama seperti korupsi, kasus HAM dalam debat menyisahkan ketidakpuasan masyarakat.

Politik Media

Ketidakmampuan para kandidat debat melahirkan perdebatan bermutu dalam ajang bergengsi yang menyita perhatian publik, tentu salah satunya diakibatkan oleh kutukan politik media. Media tidak sekadar pilar keempat demokrasi di Indonesia pasca-otoritarian. Media pun bukan sebatas penyangga yang memungkinkan orang merayakan kebebasan berpendapat. Sebaliknya, media juga merupakan sarana pendangkalan demokrasi, tatkala pemilik media adalah para politico-birokrat, yang membentuk opini publik.

Debat pilpres baru-baru yang dibangun tanpa pendalaman analisis atas data-data korupsi dan pelanggaran HAM mengakibatkan publik menyaksikan drama politik. Panggung depan media menampilkan citra. Yang ditampilkan di panggung depan adalah produk desain dari panggung belakang. Di panggung belakang media, para pakar dan anggota tim pemenangan menata bagaimana kedua paket kandidat mesti berbicara, beradu gagasan, dan mengatur nada suara yang dapat menarik simpati publik.

Dengan demikian, yang disampaikan oleh Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiago Uno adalah produk kerja keras masing-masing tim pemenang. Ironisnya, kepakaran tim itu belum mampu mengendus jejak korupsi dan problem HAM untuk disampaikan secara terbuka kepada publik. Belajar dari keterbatasan tersebut, kita berharap agar debat berikutnya mampu membuka mata publik perihal bagaimana membangun bangsa yang besar, adil dan sejahtera dengan berpijak dari sejumlah problem krusial yang dihadapi masyarakat.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7490 seconds (0.1#10.140)