Problem Sampah dan Kesalahan Bersama
A
A
A
Budi HateesAktivis Lingkungan Hidup dan Pendiri Ovata Indonesia
DALAM penilaian program Adipura periode 2017–2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan Kota Medan, ibu kota Provinsi Sumatra Utara, sebagai kota metropolitan terjorok di negeri ini. Sedangkan Kota Bandar Lampung, ibu kota Provinsi Lampung, menjadi kota besar terjorok.
Saya pernah tinggal dan hidup di dua kota ini. Kedua kota ini pernah meraih Piala Adipura. Kota Medan terakhir kali meraih Piala Adipura pada 2014 saat kota ini dipimpin Dzulmi Eldin sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Medan. Sementara Kota Bandar Lampung terakhir kali meraih Piala Adipura saat dipimpin Wali Kota Herman HN yang juga Wali Kota Bandar Lampung saat ini.
Kita tak tahu bagaimana dua kota yang pernah meraih Adipura di masa kepemimpinan orang yang sama bisa berubah menjadi kota terjorok. Perubahan itu terlalu jomplang dari yang terbaik menjadi terburuk. Mirip sebuah ironi yang membuat kita tertawa sambil menangis.
Mungkinkah Wali Kota Medan Dzulmi Eldin dan Wali Kota Bandar Lampung Herman HN sudah tidak peduli lagi dengan sanitasi kota?Ataukah kedua kepala daerah ini menganggap tidak ada lagi prestise Adipura sehingga tidak menjadi penting apakah akan mendapat Adipura atau tidak sama sekali?
Namun jelas, prestasi sebagai kota terjorok membuat Wali Kota Medan Dzulmi Eldin dan Wali Kota Bandar Lampung Herman HN menjadi objek yang diejek netizen di media sosial. Keduanya dianggap tak becus mengurusi kota terutama dalam perkara kebersihan dan sanitasi.
Kesalahan Bersama
Boleh saja Wali Kota Medan dan Wali Kota Bandar Lampung diejek oleh rakyatnya masing-masing. Sah-sah saja mempertanyakan keandalan atau malah keseriusan kedua elite pemerintah daerah itu dalam mengurusi kota. Tapi, benarkah keduanya ini tidak becus mengurus kotanya masing-masing? Atau jangan-jangan mereka hanya terkena imbas dari kebiasaan buruk rakyat masing-masing dalam membuang sampah yang membuat Kota Medan maupun Kota Bandar Lampung menjadi jorok.
Penilaian Adipura periode 2017–2018 ini salah satunya meliputi penilaian fisik dan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah. Kota-kota paling kotor mendapat nilai jelek di antaranya karena melakukan pembuangan sampah terbuka, padahal UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan agar TPA menggunakan sistem lahan uruk saniter atau sekurang-kurangnya sistem lahan uruk terkendali.
Jika faktor sistem pengelolaan TPA ini yang menyebabkan Kota Medan dan Kota Bandar Lampung menjadi kota terjorok, maka wajar apabila kesalahan ditimpakan pada wali kotanya. Keduanya ini tidak mematuhi amanat UU 18/2008 dan membiarkan TPA terbuka sehingga menimbulkan masalah sanitasi di lingkungan masyarakat sekitar TPA. Mereka harus memperbaiki sistem pengelolaan sampah di TPA tersebut sesuai amanat UU 18/2008.
Namun, bila kita lihat aspek penilaian lainnya, seperti faktor tingginya produksi sampah masyarakat bisa dibilang bahwa partisipasi publik dalam mengelola sampah sangat rendah. Artinya, masyarakat di Kota Medan maupun Kota Bandar Lampung belum punya komitmen untuk bersama-sama menjaga kebersihan kotanya masing-masing karena menganggap urusan kebersihan kota menjadi persoalan pemerintah daerah. Dengan kata lain, masyarakat terus-menerus memproduksi sampah tanpa pernah memikirkan permasalahan kota mereka jika sampah terus diproduksi.
Dari simpul ini bisa dikatakan, baik pemerintah maupun masyarakat, bersama-sama punya andil sebagai penyebab predikat sebagai kota terjorok.Pemerintah daerah tidak punya kebijakan strategis dalam mengelola sampah yang ditandai dengan minimnya anggaran untuk pengelolaan lingkungan, sedangkan masyarakat di dua kota itu tidak memiliki tradisi mengendalikan produksi sampah rumah tangga dan tidak punya budaya yang tepat dalam menjaga lingkungannya masing-masing.
Padahal, baik pemerintah daerah maupun masyarakatnya, mestinya bersama-sama memahami bahwa segala sesuatu di daerah akan sulit berdinamika jika tidak saling melibatkan. Pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendiri sambil membayangkan masyarakat sebagai objek yang harus manut. Pemerintah daerah harus mendorong munculnya partisipasi masyarakat dengan merumuskan arah dan kebijakan pembangunan daerah di bidang lingkungan hidup, yang diimplementasikan dengan program-program kerja karena masyarakat wajib berpartisipasi.
Lantas, bagaimana mendorong masyarakat agar berpartisipasi mengatasi masalah sampah yang ada di Kota Medan maupun Kota Bandar Lampung?
Bank Sampah
Sejak lama KLH dan Kehutanan meluncurkan program kerja bernama bank sampah yang tujuannya mengurangi jumlah sampah yang ada di negeri ini.Program yang dijalankan Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah,dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK dirumuskan karena produksi sampah cenderung meningkat dari tahun ke tahun membuat daya tampung TPA menjadi berlebihan sehingga sampah-sampah yang dibawa ke TPA justru menimbulkan masalah baru.
Akibatnya, TPA menjadi solusi tidak solutif dalam mengatasi masalah sampah. Bahkan,beberapa TPA justru menjadi pemicu persoalan krusial menyita perhatian pemerintah seperti kasus penutupan TPA Bantar Gebang di Bekasi beberapa waktu lalu. Untuk itu,KLHK merancang program bank sampah yang efektif mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut mengatasi persoalan sampah.
Menurut catatan PSLB3 KLHK, pada 2015 jumlah bank sampah di Indonesia ada 1.172 unit dan 2017 jumlah bank sampah di Indonesia mencapai 5.244 unit tersebar di 34 provinsi dan 219 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Angka statistik itu menunjukkan program bank sampah ini terus berkembang sehingga efektif jika didorong sebagai salah satu solusi mengatasi persoalan sampah di kota.
Program bank sampah pada dasarnya mengajak masyarakat memilah sampah organik dan nonorganik. Sampah organik dan nonorganik harus mendapat perlakukan berbeda. Sampah organik bisa diolah menjadi kompos atau pupuk, sedangkan sampah nonorganik akan diolah menjadi ragam jenis barang industri rumah tangga, baik kompos maupun jenis barang industri rumah tangga, sehingga akan memberikan keuntungan finansial kepada masyarakat.
Dengan kata lain, sampah yang selama ini diandaikan sebagai “barang yang harus dibuang karena tidak bisa dimanfaatkan”, menjadi bahan baku yang bisa diolah dan dimanfaatkan untuk barang produksi yang memiliki nilai jual. Namun, program bank sampah ini tidak akan bisa berjalan sebelum ditata terlebih dahulu sistem manajemen kerjanya.
Untuk itu, perlu dibentuk lebih dahulu sebuah lembaga yang akan bertanggung jawab dalam program bank sampah. Lembaga ini bisa memakai lembaga tradisional yang ada di lingkungan masyarakat, seperti kelompok pengajian, organisasi kepemudaan, lembaga RT/RW, karang taruna, remaja masjid, dan lainnya. Bisa juga dibentuk lembaga baru khusus menangani bank sampah agar manajemen pengelolaannya berjalan dengan baik demi kepentingan semua anggotanya.
Manajemen bank sampah ini harus memiliki aturan jelas tentang bagaimana menyosialisasikan cara membedakan sampah organik dengan nonorganik kepada masyarakat. Apakah setiap masyarakat harus memiliki dua kotak sampah di depan rumahnya dan bagaimana cara masyarakat memanfaatkan sampah organik dan sampah nonorganik? Masyarakat harus diliterasikan untuk lebih memahami tentang sampah dan pengelolaan sampah sehingga partisipasinya akan muncul dengan sendirinya karena ada keuntungan finansial yang diperoleh.
Pada tataran inilah peran pemerintah melalui organisasi pemerintah daerah (OPD) yang menangani masalah lingkungan hidup menjadi sangat urgen. Pemerintah menjadi fasilitator yang mendorong masyarakat agar berpartisipasi mengembangkan program bank sampah. Sebagai fasilitator, pemerintah daerah harus memfasilitasi masyarakat dengan berbagai ragam teknologi maupun pengetahuan terkait pengolahan sampah.
Bila masyarakat membutuhkan pengetahuan cara membuat kompos, misalnya, maka pemerintah harus membuat pelatihan pembuatan kompos sehingga masyarakat bisa mempraktikkannya dalam pelaksanaan program bank sampah. Selain itu, bila masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana untuk mengangkut sampah atau pergudangan guna menumpuk sampah yang sudah dipilah antara organik dan nonorganik, maka pemerintah harus mengadakannya.
Dengan menanamkan pemahaman kepada masyarakat bahwa sampah bisa dimanfaatkan, maka semua sampah yang diproduksi masyarakat akan dimanfaatkan. Dengan begitu, sampah-sampah yang selama ini menjadi beban dan mengotori lingkungan akan sulit ditemukan di lingkungan masyarakat. Ketika semua sampah sudah bisa dimanfaatkan, maka dikatakan tak akan ada lagi sampah yang dikirim ke TPA.Pada akhirnya keberadaan TPA tidak lagi dibutuhkan.
DALAM penilaian program Adipura periode 2017–2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan Kota Medan, ibu kota Provinsi Sumatra Utara, sebagai kota metropolitan terjorok di negeri ini. Sedangkan Kota Bandar Lampung, ibu kota Provinsi Lampung, menjadi kota besar terjorok.
Saya pernah tinggal dan hidup di dua kota ini. Kedua kota ini pernah meraih Piala Adipura. Kota Medan terakhir kali meraih Piala Adipura pada 2014 saat kota ini dipimpin Dzulmi Eldin sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Medan. Sementara Kota Bandar Lampung terakhir kali meraih Piala Adipura saat dipimpin Wali Kota Herman HN yang juga Wali Kota Bandar Lampung saat ini.
Kita tak tahu bagaimana dua kota yang pernah meraih Adipura di masa kepemimpinan orang yang sama bisa berubah menjadi kota terjorok. Perubahan itu terlalu jomplang dari yang terbaik menjadi terburuk. Mirip sebuah ironi yang membuat kita tertawa sambil menangis.
Mungkinkah Wali Kota Medan Dzulmi Eldin dan Wali Kota Bandar Lampung Herman HN sudah tidak peduli lagi dengan sanitasi kota?Ataukah kedua kepala daerah ini menganggap tidak ada lagi prestise Adipura sehingga tidak menjadi penting apakah akan mendapat Adipura atau tidak sama sekali?
Namun jelas, prestasi sebagai kota terjorok membuat Wali Kota Medan Dzulmi Eldin dan Wali Kota Bandar Lampung Herman HN menjadi objek yang diejek netizen di media sosial. Keduanya dianggap tak becus mengurusi kota terutama dalam perkara kebersihan dan sanitasi.
Kesalahan Bersama
Boleh saja Wali Kota Medan dan Wali Kota Bandar Lampung diejek oleh rakyatnya masing-masing. Sah-sah saja mempertanyakan keandalan atau malah keseriusan kedua elite pemerintah daerah itu dalam mengurusi kota. Tapi, benarkah keduanya ini tidak becus mengurus kotanya masing-masing? Atau jangan-jangan mereka hanya terkena imbas dari kebiasaan buruk rakyat masing-masing dalam membuang sampah yang membuat Kota Medan maupun Kota Bandar Lampung menjadi jorok.
Penilaian Adipura periode 2017–2018 ini salah satunya meliputi penilaian fisik dan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah. Kota-kota paling kotor mendapat nilai jelek di antaranya karena melakukan pembuangan sampah terbuka, padahal UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan agar TPA menggunakan sistem lahan uruk saniter atau sekurang-kurangnya sistem lahan uruk terkendali.
Jika faktor sistem pengelolaan TPA ini yang menyebabkan Kota Medan dan Kota Bandar Lampung menjadi kota terjorok, maka wajar apabila kesalahan ditimpakan pada wali kotanya. Keduanya ini tidak mematuhi amanat UU 18/2008 dan membiarkan TPA terbuka sehingga menimbulkan masalah sanitasi di lingkungan masyarakat sekitar TPA. Mereka harus memperbaiki sistem pengelolaan sampah di TPA tersebut sesuai amanat UU 18/2008.
Namun, bila kita lihat aspek penilaian lainnya, seperti faktor tingginya produksi sampah masyarakat bisa dibilang bahwa partisipasi publik dalam mengelola sampah sangat rendah. Artinya, masyarakat di Kota Medan maupun Kota Bandar Lampung belum punya komitmen untuk bersama-sama menjaga kebersihan kotanya masing-masing karena menganggap urusan kebersihan kota menjadi persoalan pemerintah daerah. Dengan kata lain, masyarakat terus-menerus memproduksi sampah tanpa pernah memikirkan permasalahan kota mereka jika sampah terus diproduksi.
Dari simpul ini bisa dikatakan, baik pemerintah maupun masyarakat, bersama-sama punya andil sebagai penyebab predikat sebagai kota terjorok.Pemerintah daerah tidak punya kebijakan strategis dalam mengelola sampah yang ditandai dengan minimnya anggaran untuk pengelolaan lingkungan, sedangkan masyarakat di dua kota itu tidak memiliki tradisi mengendalikan produksi sampah rumah tangga dan tidak punya budaya yang tepat dalam menjaga lingkungannya masing-masing.
Padahal, baik pemerintah daerah maupun masyarakatnya, mestinya bersama-sama memahami bahwa segala sesuatu di daerah akan sulit berdinamika jika tidak saling melibatkan. Pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendiri sambil membayangkan masyarakat sebagai objek yang harus manut. Pemerintah daerah harus mendorong munculnya partisipasi masyarakat dengan merumuskan arah dan kebijakan pembangunan daerah di bidang lingkungan hidup, yang diimplementasikan dengan program-program kerja karena masyarakat wajib berpartisipasi.
Lantas, bagaimana mendorong masyarakat agar berpartisipasi mengatasi masalah sampah yang ada di Kota Medan maupun Kota Bandar Lampung?
Bank Sampah
Sejak lama KLH dan Kehutanan meluncurkan program kerja bernama bank sampah yang tujuannya mengurangi jumlah sampah yang ada di negeri ini.Program yang dijalankan Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah,dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK dirumuskan karena produksi sampah cenderung meningkat dari tahun ke tahun membuat daya tampung TPA menjadi berlebihan sehingga sampah-sampah yang dibawa ke TPA justru menimbulkan masalah baru.
Akibatnya, TPA menjadi solusi tidak solutif dalam mengatasi masalah sampah. Bahkan,beberapa TPA justru menjadi pemicu persoalan krusial menyita perhatian pemerintah seperti kasus penutupan TPA Bantar Gebang di Bekasi beberapa waktu lalu. Untuk itu,KLHK merancang program bank sampah yang efektif mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut mengatasi persoalan sampah.
Menurut catatan PSLB3 KLHK, pada 2015 jumlah bank sampah di Indonesia ada 1.172 unit dan 2017 jumlah bank sampah di Indonesia mencapai 5.244 unit tersebar di 34 provinsi dan 219 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Angka statistik itu menunjukkan program bank sampah ini terus berkembang sehingga efektif jika didorong sebagai salah satu solusi mengatasi persoalan sampah di kota.
Program bank sampah pada dasarnya mengajak masyarakat memilah sampah organik dan nonorganik. Sampah organik dan nonorganik harus mendapat perlakukan berbeda. Sampah organik bisa diolah menjadi kompos atau pupuk, sedangkan sampah nonorganik akan diolah menjadi ragam jenis barang industri rumah tangga, baik kompos maupun jenis barang industri rumah tangga, sehingga akan memberikan keuntungan finansial kepada masyarakat.
Dengan kata lain, sampah yang selama ini diandaikan sebagai “barang yang harus dibuang karena tidak bisa dimanfaatkan”, menjadi bahan baku yang bisa diolah dan dimanfaatkan untuk barang produksi yang memiliki nilai jual. Namun, program bank sampah ini tidak akan bisa berjalan sebelum ditata terlebih dahulu sistem manajemen kerjanya.
Untuk itu, perlu dibentuk lebih dahulu sebuah lembaga yang akan bertanggung jawab dalam program bank sampah. Lembaga ini bisa memakai lembaga tradisional yang ada di lingkungan masyarakat, seperti kelompok pengajian, organisasi kepemudaan, lembaga RT/RW, karang taruna, remaja masjid, dan lainnya. Bisa juga dibentuk lembaga baru khusus menangani bank sampah agar manajemen pengelolaannya berjalan dengan baik demi kepentingan semua anggotanya.
Manajemen bank sampah ini harus memiliki aturan jelas tentang bagaimana menyosialisasikan cara membedakan sampah organik dengan nonorganik kepada masyarakat. Apakah setiap masyarakat harus memiliki dua kotak sampah di depan rumahnya dan bagaimana cara masyarakat memanfaatkan sampah organik dan sampah nonorganik? Masyarakat harus diliterasikan untuk lebih memahami tentang sampah dan pengelolaan sampah sehingga partisipasinya akan muncul dengan sendirinya karena ada keuntungan finansial yang diperoleh.
Pada tataran inilah peran pemerintah melalui organisasi pemerintah daerah (OPD) yang menangani masalah lingkungan hidup menjadi sangat urgen. Pemerintah menjadi fasilitator yang mendorong masyarakat agar berpartisipasi mengembangkan program bank sampah. Sebagai fasilitator, pemerintah daerah harus memfasilitasi masyarakat dengan berbagai ragam teknologi maupun pengetahuan terkait pengolahan sampah.
Bila masyarakat membutuhkan pengetahuan cara membuat kompos, misalnya, maka pemerintah harus membuat pelatihan pembuatan kompos sehingga masyarakat bisa mempraktikkannya dalam pelaksanaan program bank sampah. Selain itu, bila masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana untuk mengangkut sampah atau pergudangan guna menumpuk sampah yang sudah dipilah antara organik dan nonorganik, maka pemerintah harus mengadakannya.
Dengan menanamkan pemahaman kepada masyarakat bahwa sampah bisa dimanfaatkan, maka semua sampah yang diproduksi masyarakat akan dimanfaatkan. Dengan begitu, sampah-sampah yang selama ini menjadi beban dan mengotori lingkungan akan sulit ditemukan di lingkungan masyarakat. Ketika semua sampah sudah bisa dimanfaatkan, maka dikatakan tak akan ada lagi sampah yang dikirim ke TPA.Pada akhirnya keberadaan TPA tidak lagi dibutuhkan.
(mhd)