Paslon 01 Dinilai Punya Program Konkret dan Komitmen Tegakkan HAM
A
A
A
JAKARTA - Debat pertama Pilpres 2019 antara dua pasangan capres-cawapres, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang berlangsung di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019) malam, tak pelak memperlihatkan keunggulan pasangan calon nomor urut 01 tersebut.
Dalam debat yang membahas masalah hukum, HAM, korupsi, dan terorisme, Jokowi-Ma’ruf Amin dinilai mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para panelis, sekaligus memberikan banyak contoh kepada lawan debat mereka berbagai kebijakan yang telah dan akan dilakukan di lima tahun mendatang dalam memimpin negeri ini.
Dalam acara yang dipandu dua moderator, Ira Koesno dan Imam Priyono serta disiarkan tiga stasiun televisi nasional dan Radio Republik Indonesia itu, capres-cawapres 01 itu mampu menjelaskan dengan tuntas berbagai topik yang diajukan.
Salah satunya mengenai penegakan HAM. Seperti kita ketahui bahwa terdapat delapan kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang belum tuntas, yakni kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
“Terkait HAM, seperti kita ketahui masalah di HAM itu banyak. Ada HAM terkait soal sosial dan budaya, kelompok minoritas, kelompok rentan, atau disabilitas. Untuk masalah-masalah itu, pemerintah Joko Widodo sudah tergolong baik dalam menyelesaikan dan memberikan komitmen serta keberpihakan,” ujar Prof Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Kamis (17/1/2019).
Mantan Dirjen HAM itu menuturkan siapapun pemerintahnya termasuk pemerintahan Jokowi pasti akan diwarisi untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
“Itu bukan masalah sederhana dan penuh nuansa politik. Saya nilai, Jokowi sudah tepat dan mengerti bahwa untuk menanganinya dilakukan dua pendekatan, yakni, yudisial melalui pengadilan Adhoc dan politik. Masing-masing ada plus dan minus. Harapan saya, jika sebelumnya pernah mau digelar tahun 2014, maka jika terpilih lagi harus diwujudkan pengadilan ad hoc tentang HAM masa lalu itu,” jelas Harkristuti.
Terkait komitmen dan janji Jokowi-Ma’ruf Amin untuk meningkatkan perlindungan terhadap perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya, Harkristuti menyatakan apa yang sudah dilakukan terhadap tiga kelompok tersebut sudah bagus.
“Termasuk juga perlindungan untuk kaum difabel. Munculnya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang kini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tengah memasuki tahap finalisasi, menunjukkan komitmen serius,” katanya.
Jika RPP tersebut sudah terbit, Harkristuti menambahkan bahwa pemerintah memiliki pekerjaan rumah selanjutnya, yakni semua fasilitas dan sarana pemerintah harus dilengkapi infrastruktur yang ramah disabilitas.
“Tinggal presiden mengamanatkan kepada para Menteri untuk menyiapkan fasilitas dan sarana yang bisa memperluas akses lingkungan yang ramah pada difabel,” lanjutnya.
Dalam masalah perlindungan hak-hak masyarakat adat, mulai dari legal aspek, pemberdayaan ekonomi, hukum, dan juga perlindungan hak di bidang pertanahan, Harkristuti menilai masih menyisakan catatan.
“Soal pembangunan infrastruktur, meskipun ada protes, tapi masyarakat sudah merasakan. Tinggal bagaimana pemerintah tetap harus memberikan perhatian penuh, terutama terhadap kelompok masyarakat adat dengan memiliki pendekatan khusus dan non hukum agar tidak terjadi letupan,” ungkapnya.
Secara umum, Harkristuti menilai bahwa kedua pasangan capres-cawapres mampu melakukan debat perdana Pilpres dengan baik. Oleh karena, keduanya bukan ahli di bidang hukum, masyarakat pun diharapkan menilai secara objektif dalam kapasitas debat publik, bukan debat keahlian.
“Jadi, jika mau menilai secara objektif, maka nilai komitmen dan bagaimana komitmen itu berjalan selama ini,” tutupnya.
Dalam debat yang membahas masalah hukum, HAM, korupsi, dan terorisme, Jokowi-Ma’ruf Amin dinilai mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para panelis, sekaligus memberikan banyak contoh kepada lawan debat mereka berbagai kebijakan yang telah dan akan dilakukan di lima tahun mendatang dalam memimpin negeri ini.
Dalam acara yang dipandu dua moderator, Ira Koesno dan Imam Priyono serta disiarkan tiga stasiun televisi nasional dan Radio Republik Indonesia itu, capres-cawapres 01 itu mampu menjelaskan dengan tuntas berbagai topik yang diajukan.
Salah satunya mengenai penegakan HAM. Seperti kita ketahui bahwa terdapat delapan kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang belum tuntas, yakni kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
“Terkait HAM, seperti kita ketahui masalah di HAM itu banyak. Ada HAM terkait soal sosial dan budaya, kelompok minoritas, kelompok rentan, atau disabilitas. Untuk masalah-masalah itu, pemerintah Joko Widodo sudah tergolong baik dalam menyelesaikan dan memberikan komitmen serta keberpihakan,” ujar Prof Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Kamis (17/1/2019).
Mantan Dirjen HAM itu menuturkan siapapun pemerintahnya termasuk pemerintahan Jokowi pasti akan diwarisi untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
“Itu bukan masalah sederhana dan penuh nuansa politik. Saya nilai, Jokowi sudah tepat dan mengerti bahwa untuk menanganinya dilakukan dua pendekatan, yakni, yudisial melalui pengadilan Adhoc dan politik. Masing-masing ada plus dan minus. Harapan saya, jika sebelumnya pernah mau digelar tahun 2014, maka jika terpilih lagi harus diwujudkan pengadilan ad hoc tentang HAM masa lalu itu,” jelas Harkristuti.
Terkait komitmen dan janji Jokowi-Ma’ruf Amin untuk meningkatkan perlindungan terhadap perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya, Harkristuti menyatakan apa yang sudah dilakukan terhadap tiga kelompok tersebut sudah bagus.
“Termasuk juga perlindungan untuk kaum difabel. Munculnya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang kini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tengah memasuki tahap finalisasi, menunjukkan komitmen serius,” katanya.
Jika RPP tersebut sudah terbit, Harkristuti menambahkan bahwa pemerintah memiliki pekerjaan rumah selanjutnya, yakni semua fasilitas dan sarana pemerintah harus dilengkapi infrastruktur yang ramah disabilitas.
“Tinggal presiden mengamanatkan kepada para Menteri untuk menyiapkan fasilitas dan sarana yang bisa memperluas akses lingkungan yang ramah pada difabel,” lanjutnya.
Dalam masalah perlindungan hak-hak masyarakat adat, mulai dari legal aspek, pemberdayaan ekonomi, hukum, dan juga perlindungan hak di bidang pertanahan, Harkristuti menilai masih menyisakan catatan.
“Soal pembangunan infrastruktur, meskipun ada protes, tapi masyarakat sudah merasakan. Tinggal bagaimana pemerintah tetap harus memberikan perhatian penuh, terutama terhadap kelompok masyarakat adat dengan memiliki pendekatan khusus dan non hukum agar tidak terjadi letupan,” ungkapnya.
Secara umum, Harkristuti menilai bahwa kedua pasangan capres-cawapres mampu melakukan debat perdana Pilpres dengan baik. Oleh karena, keduanya bukan ahli di bidang hukum, masyarakat pun diharapkan menilai secara objektif dalam kapasitas debat publik, bukan debat keahlian.
“Jadi, jika mau menilai secara objektif, maka nilai komitmen dan bagaimana komitmen itu berjalan selama ini,” tutupnya.
(kri)