Prabowo (Tidak) Akan Mundur
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya, Tim Pakar (SC) Debat Hukum pada Philip Jesup International dan ICRC
PADA Senin malam, 14 Januari 2019, calon presiden (capres) Prabowo Subianto menyampaikan pidato berjudul “Mengusung Kebangsaan untuk Indonesia Menang”. Sebelumnya, ramai beredar rumor perihal kemungkinan Prabowo mundur dari kontestasi politik jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak netral dan terjadi kecurangan. Dalam logika politik tampaknya Prabowo tidak akan benar-benar mundur dari kontestasi, mengingat jika dilihat dari histori, maka tahun ini merupakan “panggung terakhir” untuknya sehingga dengan terminologi “now or never”, hampir tidak mungkin Prabowo benar-benar mundur dari pencapresan.
Isu KPU tidak netral maupun dugaan spekulatif lainnya merupakan bagian dari narasi politik pesimisme yang dibangun capres Prabowo Subianto. Mc Kindson (2017), salah seorang tim pemenangan Donald Trump, menjelaskan memang sangat logis jika oposisi selalu menggunakan politik pesimisme sebagai kontra narasi politik optimisme yang diusung petahana. Memang secara natural dan sangat logis jika platform politik oposisi di seluruh dunia selalu mengusung narasi pesimistis sebagaimana diusung capres Prabowo Subianto.
Isu kemungkinan mundur dari kontestasi jika terjadi kecurangan atau jika terjadi ketidaknetralan KPU merupakan bagian dari narasi pesimisme dibangun capres Prabowo Subianto. Biaya politik yang harus dipikul koalisi Prabowo terlalu besar jika mengundurkan diri dari gelanggang kontestasi pilpres.
Satu hal sedikit menenangkan masyarakat ketika menyaksikan pidato Prabowo kemarin tampak bahwa dengan visi-misi kebangsaan dalam pidato tersebut. Meskipun disampaikan dengan prolog narasi pesimistis, tetapi di akhir setiap fokus persoalan yang dipaparkan selalu diakhiri dengan epilog kebangsaan.
Jika menyimak pidato Prabowo tampaknya bahwa pidato Senin malam, 14 Januari 2019, itu merupakan balasan dari pidato petahana Jokow Widodo pada Sabtu, 12 Januari 2019. Dalam pidato tersebut, petahana banyak menyoroti terkait narasi pesimistis yang dibangun Prabowo. Masyarakat tidak perlu ikut terbawa arus dengan eskalasi berkembang menjelang debat capres yang akan dimulai pada 17 Januari 2019.
Substansi Pidato
Jika mengamati pidato Prabowo pada Senin malam, 14 Januari 2019, ada empat poin yang menarik dianalisis sehingga berakhir pada kesimpulan bahwa Prabowo tidak akan mundur dari kontestasi. Pertama, dalam pidato tersebut diawali dengan narasi pesimisme dan diakhiri dengan narasi optimisme, hal tersebut terselip janji, sebagaimana lazimnya janji-janji kampanye yang secara logis selalu menggambarkan “dari… - menjadi…” Artinya situasi tersebut masih menggambarkan optimisme capres Prabowo Subianto dalam menghadapi kontestasi Pilpres 2019.
Kedua, secara substantif tampak bahwa kubu capres Prabowo Subianto ingin melakukan langkah koreksi atas narasi pesimisme yang dibangun secara berlebihan. Tampaknya kubu Prabowo ingin mengoreksi pendekatan tersebut, mengingat hingga mendekati debat capres dan hari Pilpres 2019, narasi pesimistis tidak banyak membantu menaikkan elektabilitas. Dalam hal ini tampak bahwa dalam substansi pidato tersebut mulai mengintrodusikan narasi-narasi optimisme maupun narasi-narasi merajut NKRI dengan harapan politik perbandingan (“dari… - menjadi…”) akan dapat membantu memengaruhi elektabilitas secara positif.
Ketiga, keyakinan bahwa Prabowo tidak akan mundur dari kontestasi, tampak dari substansi pidatonya bahwa masing-masing fokus dalam uraian pidato tersebut merupakan rangkuman dari materi yang dipersiapkan untuk menghadapi debat capres pada masing-masing tema yang disusun KPU.
Tampaknya kubu Prabowo ingin menggunakan momentum “pidato balasan” tersebut sekaligus merangkum paparan materi dalam debat capres sehingga jika pada debat capres ada ide maupun gagasan tidak tersampaikan, mengingat debat capres merupakan komunikasi dialogis sehingga mungkin saja ada gagasan terlewat, maka setidaknya masyarakat telah memahami melalui pidato satu arah pada Senin malam itu.
Keempat, jika segala upaya dilakukan dan ternyata kelak capres Prabowo tidak bisa memenangi kontestasi pilpres, maka isu mundur jika KPU tidak netral dapat digunakan kamuflase pascakekalahan tersebut. Termasuk dapat digunakan sebagai materi pada saat mengajukan gugatan selisih perhitungan suara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Denise Champ (2000), menjelaskan bahwa langkah terakhir yang dapat dipersiapkan untuk mempertahankan diri pada situasi politik kurang menguntungkan adalah menggunakan politik kamuflase. Dalam hal ini, KPU memang rawan terkena serangan berbagai isu, mengingat posisi KPU sebagai pihak yang menetapkan hasil perhitungan suara.
Game Theory
Kita menguji kemungkinan mundurnya Prabowo sebagai capres dari perspektif game theory. Menguji kemungkinan tersebut melalui game theory setelah mengurai kelindan hubungan antarpartai dalam koalisi prabowo dan dalam kaitannya dengan pileg yang akan dilakukan. Jika Prabowo mundur dari kontestasi dengan alasan apa pun, akan besar dampaknya pada pileg partai pengusung dan pendukungnya. Sebab akan terdampak coattail effect (efek ekor jas), mengingat Prabowo Subianto merupakan tokoh sentral dalam koalisi partai pengusung dan pendukung.
Masing-masing partai pengusung dan pendukung capres Prabowo Subianto mempunyai kepentingan masing-masing secara subjektif pada gelaran pilpres. Karena itu, bisa dipastikan jika Prabowo mundur akan merusak banyak rencana politik partai pengusung dan pendukung sehingga ancaman mundur jika KPU tidak netral hanya psywar menjelang pilpres. Belum pernah terjadi di belahan bumi manapun sejak era demokrasi modern bahwa calon presiden mengundurkan diri di tengah masa kontestasi.
Dengan perhitungan di atas tampaknya masyarakat tetap akan menyaksikan proses demokrasi yang utuh, dalam pengertian tetap akan menghadirkan kontestasi dua pasang capres-cawapres sebagaimana ditetapkan KPU dalam narasi kebangsaan. Perlu dipahami oleh masyarakat sebagai konstituen bahwa semua proses yang terjadi tersebut merupakan bagian dari indahnya demokrasi, sekaligus seluruh proses dan peristiwa tersebut bisa dijadikan referensi masyarakat sebagai konstituen dalam menentukan pilihan kelak.
Sejarah demokrasi bangsa ini selalu mengalami perbaikan kualitas dari masa ke masa sehingga saatnya kini selain elite menghadirkan kedewasaan dan keteduhan berpolitik, masyarakat pun harus bijaksana dan kritis menyikapi situasi politik yang berkembang. Masyarakat harus menyadari bahwa inti dari demokrasi adalah perbedaan yang memanusiakan. Dengan demikian, NKRI akan tetap utuh dan semakin jaya.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya, Tim Pakar (SC) Debat Hukum pada Philip Jesup International dan ICRC
PADA Senin malam, 14 Januari 2019, calon presiden (capres) Prabowo Subianto menyampaikan pidato berjudul “Mengusung Kebangsaan untuk Indonesia Menang”. Sebelumnya, ramai beredar rumor perihal kemungkinan Prabowo mundur dari kontestasi politik jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak netral dan terjadi kecurangan. Dalam logika politik tampaknya Prabowo tidak akan benar-benar mundur dari kontestasi, mengingat jika dilihat dari histori, maka tahun ini merupakan “panggung terakhir” untuknya sehingga dengan terminologi “now or never”, hampir tidak mungkin Prabowo benar-benar mundur dari pencapresan.
Isu KPU tidak netral maupun dugaan spekulatif lainnya merupakan bagian dari narasi politik pesimisme yang dibangun capres Prabowo Subianto. Mc Kindson (2017), salah seorang tim pemenangan Donald Trump, menjelaskan memang sangat logis jika oposisi selalu menggunakan politik pesimisme sebagai kontra narasi politik optimisme yang diusung petahana. Memang secara natural dan sangat logis jika platform politik oposisi di seluruh dunia selalu mengusung narasi pesimistis sebagaimana diusung capres Prabowo Subianto.
Isu kemungkinan mundur dari kontestasi jika terjadi kecurangan atau jika terjadi ketidaknetralan KPU merupakan bagian dari narasi pesimisme dibangun capres Prabowo Subianto. Biaya politik yang harus dipikul koalisi Prabowo terlalu besar jika mengundurkan diri dari gelanggang kontestasi pilpres.
Satu hal sedikit menenangkan masyarakat ketika menyaksikan pidato Prabowo kemarin tampak bahwa dengan visi-misi kebangsaan dalam pidato tersebut. Meskipun disampaikan dengan prolog narasi pesimistis, tetapi di akhir setiap fokus persoalan yang dipaparkan selalu diakhiri dengan epilog kebangsaan.
Jika menyimak pidato Prabowo tampaknya bahwa pidato Senin malam, 14 Januari 2019, itu merupakan balasan dari pidato petahana Jokow Widodo pada Sabtu, 12 Januari 2019. Dalam pidato tersebut, petahana banyak menyoroti terkait narasi pesimistis yang dibangun Prabowo. Masyarakat tidak perlu ikut terbawa arus dengan eskalasi berkembang menjelang debat capres yang akan dimulai pada 17 Januari 2019.
Substansi Pidato
Jika mengamati pidato Prabowo pada Senin malam, 14 Januari 2019, ada empat poin yang menarik dianalisis sehingga berakhir pada kesimpulan bahwa Prabowo tidak akan mundur dari kontestasi. Pertama, dalam pidato tersebut diawali dengan narasi pesimisme dan diakhiri dengan narasi optimisme, hal tersebut terselip janji, sebagaimana lazimnya janji-janji kampanye yang secara logis selalu menggambarkan “dari… - menjadi…” Artinya situasi tersebut masih menggambarkan optimisme capres Prabowo Subianto dalam menghadapi kontestasi Pilpres 2019.
Kedua, secara substantif tampak bahwa kubu capres Prabowo Subianto ingin melakukan langkah koreksi atas narasi pesimisme yang dibangun secara berlebihan. Tampaknya kubu Prabowo ingin mengoreksi pendekatan tersebut, mengingat hingga mendekati debat capres dan hari Pilpres 2019, narasi pesimistis tidak banyak membantu menaikkan elektabilitas. Dalam hal ini tampak bahwa dalam substansi pidato tersebut mulai mengintrodusikan narasi-narasi optimisme maupun narasi-narasi merajut NKRI dengan harapan politik perbandingan (“dari… - menjadi…”) akan dapat membantu memengaruhi elektabilitas secara positif.
Ketiga, keyakinan bahwa Prabowo tidak akan mundur dari kontestasi, tampak dari substansi pidatonya bahwa masing-masing fokus dalam uraian pidato tersebut merupakan rangkuman dari materi yang dipersiapkan untuk menghadapi debat capres pada masing-masing tema yang disusun KPU.
Tampaknya kubu Prabowo ingin menggunakan momentum “pidato balasan” tersebut sekaligus merangkum paparan materi dalam debat capres sehingga jika pada debat capres ada ide maupun gagasan tidak tersampaikan, mengingat debat capres merupakan komunikasi dialogis sehingga mungkin saja ada gagasan terlewat, maka setidaknya masyarakat telah memahami melalui pidato satu arah pada Senin malam itu.
Keempat, jika segala upaya dilakukan dan ternyata kelak capres Prabowo tidak bisa memenangi kontestasi pilpres, maka isu mundur jika KPU tidak netral dapat digunakan kamuflase pascakekalahan tersebut. Termasuk dapat digunakan sebagai materi pada saat mengajukan gugatan selisih perhitungan suara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Denise Champ (2000), menjelaskan bahwa langkah terakhir yang dapat dipersiapkan untuk mempertahankan diri pada situasi politik kurang menguntungkan adalah menggunakan politik kamuflase. Dalam hal ini, KPU memang rawan terkena serangan berbagai isu, mengingat posisi KPU sebagai pihak yang menetapkan hasil perhitungan suara.
Game Theory
Kita menguji kemungkinan mundurnya Prabowo sebagai capres dari perspektif game theory. Menguji kemungkinan tersebut melalui game theory setelah mengurai kelindan hubungan antarpartai dalam koalisi prabowo dan dalam kaitannya dengan pileg yang akan dilakukan. Jika Prabowo mundur dari kontestasi dengan alasan apa pun, akan besar dampaknya pada pileg partai pengusung dan pendukungnya. Sebab akan terdampak coattail effect (efek ekor jas), mengingat Prabowo Subianto merupakan tokoh sentral dalam koalisi partai pengusung dan pendukung.
Masing-masing partai pengusung dan pendukung capres Prabowo Subianto mempunyai kepentingan masing-masing secara subjektif pada gelaran pilpres. Karena itu, bisa dipastikan jika Prabowo mundur akan merusak banyak rencana politik partai pengusung dan pendukung sehingga ancaman mundur jika KPU tidak netral hanya psywar menjelang pilpres. Belum pernah terjadi di belahan bumi manapun sejak era demokrasi modern bahwa calon presiden mengundurkan diri di tengah masa kontestasi.
Dengan perhitungan di atas tampaknya masyarakat tetap akan menyaksikan proses demokrasi yang utuh, dalam pengertian tetap akan menghadirkan kontestasi dua pasang capres-cawapres sebagaimana ditetapkan KPU dalam narasi kebangsaan. Perlu dipahami oleh masyarakat sebagai konstituen bahwa semua proses yang terjadi tersebut merupakan bagian dari indahnya demokrasi, sekaligus seluruh proses dan peristiwa tersebut bisa dijadikan referensi masyarakat sebagai konstituen dalam menentukan pilihan kelak.
Sejarah demokrasi bangsa ini selalu mengalami perbaikan kualitas dari masa ke masa sehingga saatnya kini selain elite menghadirkan kedewasaan dan keteduhan berpolitik, masyarakat pun harus bijaksana dan kritis menyikapi situasi politik yang berkembang. Masyarakat harus menyadari bahwa inti dari demokrasi adalah perbedaan yang memanusiakan. Dengan demikian, NKRI akan tetap utuh dan semakin jaya.
(wib)