Menangani Korupsi Proyek Bencana Alam

Senin, 14 Januari 2019 - 08:30 WIB
Menangani Korupsi Proyek...
Menangani Korupsi Proyek Bencana Alam
A A A
Kardiansyah AfkarPraktisi Hukum dan Penggiat Antikorupsi

DI penghujung 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menutup catatan akhir tahun pemberantasan korupsi dengan melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) bagi daerah yang terkena musibah bencana alam di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Jamak dipahami bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime ) karena korupsi menyentuh sendi-sendi kemanusiaan dan kepentingan hajat hidup orang banyak. Paling tidak ada empat sifat dan karakteristik mengapa kejahatan korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime (Eddy O S Hiariej, 2009) yaitu; pertama, korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis. Kedua, korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya.




Ketiga , korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan, dan keempat , korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Atas dasar keempat hal tersebutlah, tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Selain itu, perbuatan korupsi juga dianggap sebagai suatu kejahatan yang melanggar hak-hak asasi, sosial, dan ekonomi masyarakat yang memiliki dampak yang cukup luas.Di lain sisi, kejahatan korupsi juga memberikan dampak yang buruk terhadap kehidupan sosial masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, upaya pemberantasan terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat lagi dilakukan dengan cara-cara yang biasa, tetapi dibutuhkan cara yang luar biasa dalam pemberantasannya (extraordinary law enforcement ). Pemiskinan dan pemberian hukuman mati terhadap para koruptor merupakan salah satu cara yang dianggap dapat memberikan efek jera (deterent effect ) bagi pelaku tindak pidana korupsi.
"Keadaan Tertentu"
Dalam perspektif hukum pidana kasus korupsi dugaan suap proyek pembangunan SPAM di lingkungan Kementerian PUPR, secara formil unsur-unsurnya telah terpenuhi sebagai suatu perbuatan tindak pidana korupsi. Namun, yang masih menjadi perdebatan ialah mengenai penerapan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor mengenai pemberian hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hukuman mati tersebut dapat dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan korupsi bilamana perbuatannya tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu misalnya; negara dalam keadaan bahaya, bencana alam, pengulangan tindak pidana korupsi, dan keadaan krisis moneter (vide penjelasan Pasal 2 UU Tipikor).
Namun, pemberian ancaman hukuman mati terhadap seorang pelaku korupsi bencana alam tidak dapat secara serta-merta dijerat dengan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Sebab, parameter dalam memaknai "keadaan tertentu" dalam hal ini keadaan "bencana alam" tidak dijelaskan secara rigid dalam kondisi bencana alam seperti apa yang dimaksudkan dalam pasal tersebut sebab interpretasi keadaan bencana alam tersebut masih memiliki pemaknaan yang cukup luas.Karena itu, penentuan terhadap magnitudo "keadaan tertentu (kondisi bencana alam)" menjadi penting. Misalnya; dalam hal "keadaan tertentu" seperti bencana alam apakah setiap musibah bencana alam secara serta-merta dapat dikategorikan termasuk dalam unsur Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Tentunya penerapan pasal tersebut tidak dapat diterapkan begitu saja sehingga perlu kiranya untuk menentukan parameter besarnya magnitudo bencana alam. Dengan begitu, penerapan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak digunakan sebagai pasal sapu jagat terhadap segala bentuk korupsi proyek bencana alam.Misalnya penerapan Pasal 2 ayat (2) tersebut dapat diterapkan ketika musibah bencana alam tersebut ditetapkan sebagai bencana nasional sehingga seseorang yang melakukan perbuatan tindak pidana korupsi terkait anggaran/proyek pemulihan bencana alam tersebut dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor terhadap para pelaku.
Hukuman Mati bagi Koruptor
Pemberian hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi sangat dimungkinkan untuk dilakukan. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan" . Pemaknaan keadaan tertentu yang dimaksud dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tipikor yang menjelaskan bahwa; "Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" ............... negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter".

Pasal ini dapat diterapkan terhadap para tersangka kasus korupsi di sektor bencana alam mengingat karena kejahatan korupsi dapat memberikan dampak yang buruk pada kualitas hidup manusia. Selain itu, korupsi juga dapat dianggap sebagai kejahatan atau pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Sebab, kejahatan korupsi sangat erat kaitannya dengan pemenuhan hak-hak asasi manusia dalam pemenuhan kehidupan yang layak bagi masyarakat seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, bantuan kemanusiaan dan lain-lain.

Akan tetapi, semua itu terabaikan karena negara tidak memiliki cukup anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat akibat banyaknya anggaran negara yang dikorupsi oleh orang-orang yang berwatak korup. Makin maraknya praktik korupsi yang terjadi tidak terlepas dari kemerosotan kinerja institusi dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.

Korupsi di sektor bencana alam seolah-olah menjelaskan bahwa para pelaku korupsi telah memperlihatkan kemerosotan watak etis dan integritas moral mereka. Perbuatan korupsi ini dapat digolongkan sebagai perbuatan kebejatan hidup para koruptor yang sudah buta dengan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka memanfaatkan kesempatan untuk mengambil keuntungan (memperkaya diri) di atas penderitaan kemanusiaan korban bencana alam.

Suatu perbuatan yang sangat tidak manusiawi serta telah melanggar dan merampas hak-hak asasi korban bencana alam. Karena itu, KPK dapat menerapkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor untuk menjerat para tersangka korupsi proyek bencana alam sebagai salah satu bentuk extraordinary law enforcement agar dapat memberikan efek jera (deterrent effect ) terhadap para pelaku korupsi.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0707 seconds (0.1#10.140)