Narsisme Politik
A
A
A
Aulia Keiko Hubbansyah
Pengamat Politik
DALAM satu kesempatan, tanpa sengaja, saya berkenalan dengan seseorang yang juga calon anggota legislatif DPR RI. Karena penasaran, saya tanyakan apa yang menjadi motivasinya mencalonkan diri. Saya mengira ia akan memberi jawaban normatif seperti "mengabdikan diri untuk rakyat". Akan tetapi, betapa terkejutnya saya mendengar alasannya. Dia ingin jadi anggota DPR karena kebingungan menghabiskan waktu akibat anak-anaknya yang mulai besar.
Sebenarnya sah-sah saja kalau kontestan maju karena alasan apa pun. Termasuk alasan seperti di atas. Itu haknya dan tidak ada yang melarang. Hanya, saya membayangkan bahwa jabatan politik harusnya dipegang oleh mereka yang paling siap semuanya, baik mental, spiritual, maupun kompetensi. Dalam bayangan saya, jabatan politik yang strategis seperti anggota DPR bukan jabatan untuk coba-coba. Apalagi, sekadar buat menghabiskan waktu luang. Di jabatan ini melekat nasib jutaan rakyat. Karena itu, lembaga legislatif harus terdiri atas, meminjam kata-kata Iwan Fals, "kumpulan orang hebat".
Narsis
Setelah perbincangan tadi, saya langsung teringat kisah Narcissus dalam mitologi Yunani. Narcissus adalah seorang pemburu dari Kota Thespiae di wilayah Boetia yang terkenal karena ketampanannya. Ia menolak banyak perempuan yang jatuh hati kepadanya. Tidak hanya perempuan, Narcissus juga membuat seorang pemuda bernama Ameinias jatuh cinta. Sebelum bunuh diri karena juga ditolak, Ameinias berdoa kepada dewa untuk menghukum Narcissus dengan mengutuknya jatuh cinta kepada bayangannya sendiri yang terlihat dari pantulan kolam tempat ia minum. Akhirnya dalam keputusasaan karena tidak bisa memiliki bayangan itu, Narcissus pun bunuh diri.
Cerita mengenai Narcissus ini yang kemudian menginspirasi munculnya terminologi Narsisme. Dalam tradisi psikologi narsisme merujuk pada suatu kondisi pemujaan terhadap diri sendiri secara berlebihan yang biasanya merupakan manifestasi dari ketidakmatangan emosional seseorang.
Terdapat kecenderungan narsisme dalam diri setiap manusia. Celakanya, semakin orang itu memiliki kompetensi yang rendah, semakin besar pula kecenderungannya untuk berperilaku narsis. Teori efek Dunning-Kruger menjelaskan bahwa seseorang yang tidak memiliki kemampuan cenderung mengalami superioritas ilusif. Artinya, ia merasa kemampuannya lebih hebat daripada orang lain pada umumnya. Bias kognitif ini diakibatkan ketidakmampuan orang tersebut secara metakognitif untuk mengidentifikasi apa yang menjadi kekurangannya.
Sejak memasuki aras demokrasi hampir 20 tahun lalu, di mana keran politik dibuka sederas-derasnya, realitas politik Indonesia dipenuhi oleh para pelakon yang dihinggapi oleh sifat narsistik sehingga menimbulkan panorama politik yang sarat dengan narsisme. Seperti contoh caleg di atas, setiap kita merasa mampu menjadi pemimpin publik yang baik. Tanpa memedulikan prasyarat-prasyaratnya seperti kompetensi, pengalaman, rekam jejak, kecakapan emosional, spiritual, dan sebagainya.
Demokratisasi kita ditandai dengan orang-orang yang ingin dipanggil "pimpinan", "ketua", "kepala", "bos". Tak heran bila kemudian ratusan, bahkan ribuan, organisasi berdiri dengan jabatan yang hampir selalu melekatkan kata "ketua" untuk tiap levelnya; "ketua umum", "wakil ketua", "ketua harian", "ketua bidang", "ketua tim", "ketua dewan pakar", "ketua dewan pembina", dan seterusnya.
Sikap merasa diri mampu menjadi pemimpin yang lebih baik, yang tidak diikuti dengan sikap merasa diri mampu menjadi pengikut yang baik, membuat proses demokrasi kita menjadi timpang, bahkan kebablasan. Dalam situasi seperti ini, semua orang berpikir besar, bahkan terlalu besar, dan cenderung mengabaikan ihwal kecil yang sebenarnya lebih mampu untuk dikerjakan. Semua orang berpikir "kalau nanti saya jadi ....", bukan "apa yang bisa saya kerjakan sekarang".
Upaya Koreksi
Karena itu, perlu ada koreksi atas apa yang telah terjadi agar realitas politik kita menjadi lebih baik. Mekanisme self assessment system yang kita anut dalam demokrasi kita, yang diinspirasi oleh doktrin Smithian, perlu diperbaiki agar demokrasi tidak berjalan sebatas prosedural, tapi juga substansial.
Maka itu, agar demokrasi berjalan baik, perlu ada kerangka yang lebih bisa mereduksi orang-orang dengan "bias kognitif bawaan" ini untuk mengisi jabatan publik yang strategis. Secara teknis, ini bisa diawali dengan pengenaan persyaratan khusus yang lebih ketat. Misalnya, untuk bisa mengajukan diri sebagai anggota DPR RI, seseorang harus pernah menjadi anggota legislatif di level yang lebih rendah apakah itu tingkat kabupaten/kota atau provinsi dengan ukuran capaian kinerja tertentu.
Ini perlu dilakukan karena proses belajar selalu diawali dari sesuatu yang sederhana untuk kemudian menuju ke tingkatan permasalahan yang lebih kompleks. Logika sederhananya, bagaimana mungkin anak SD disuruh mengerjakan soal kalkulus, sementara ia sendiri belum menguasai materi matematika dasar seperti penjumlahan. Kepemimpinan berjenjang menjadi kunci dari keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas publik. Kepemimpinan publik yang menyangkut nasib jutaan orang di dalamnya bukanlah jabatan untuk coba-coba.
Memang tidak ada kepastian apakah dengan begini kerja kelembagaan publik menjadi lebih baik. Tetapi, batasan seperti ini bisa mengurangi orang-orang narsis yang tidak mempunyai kompetensi dan pengalaman untuk terlibat dalam kontestasi politik.
Kita tidak bisa terus berlindung di balik keyakinan self correcting system pada sistem demokrasi. Biarkan saja orang tidak kompeten terpilih karena kalau tidak bekerja baik, orang itu dengan sendirinya tidak akan dipilih kembali. Ini keyakinan keliru. Dalam kondisi pemilih yang terbatas daya kritisnya, self correcting system yang dibayangkan di atas tidak akan pernah terjadi. Karena itu, memang perlu kerangka aturan yang lebih membatasi supaya narsisme tidak semakin pekat dalam realitas politik kita. Hal baik terkadang memang harus diciptakan, jangan ditunggu karena ia tidak hadir dengan sendiri
Pengamat Politik
DALAM satu kesempatan, tanpa sengaja, saya berkenalan dengan seseorang yang juga calon anggota legislatif DPR RI. Karena penasaran, saya tanyakan apa yang menjadi motivasinya mencalonkan diri. Saya mengira ia akan memberi jawaban normatif seperti "mengabdikan diri untuk rakyat". Akan tetapi, betapa terkejutnya saya mendengar alasannya. Dia ingin jadi anggota DPR karena kebingungan menghabiskan waktu akibat anak-anaknya yang mulai besar.
Sebenarnya sah-sah saja kalau kontestan maju karena alasan apa pun. Termasuk alasan seperti di atas. Itu haknya dan tidak ada yang melarang. Hanya, saya membayangkan bahwa jabatan politik harusnya dipegang oleh mereka yang paling siap semuanya, baik mental, spiritual, maupun kompetensi. Dalam bayangan saya, jabatan politik yang strategis seperti anggota DPR bukan jabatan untuk coba-coba. Apalagi, sekadar buat menghabiskan waktu luang. Di jabatan ini melekat nasib jutaan rakyat. Karena itu, lembaga legislatif harus terdiri atas, meminjam kata-kata Iwan Fals, "kumpulan orang hebat".
Narsis
Setelah perbincangan tadi, saya langsung teringat kisah Narcissus dalam mitologi Yunani. Narcissus adalah seorang pemburu dari Kota Thespiae di wilayah Boetia yang terkenal karena ketampanannya. Ia menolak banyak perempuan yang jatuh hati kepadanya. Tidak hanya perempuan, Narcissus juga membuat seorang pemuda bernama Ameinias jatuh cinta. Sebelum bunuh diri karena juga ditolak, Ameinias berdoa kepada dewa untuk menghukum Narcissus dengan mengutuknya jatuh cinta kepada bayangannya sendiri yang terlihat dari pantulan kolam tempat ia minum. Akhirnya dalam keputusasaan karena tidak bisa memiliki bayangan itu, Narcissus pun bunuh diri.
Cerita mengenai Narcissus ini yang kemudian menginspirasi munculnya terminologi Narsisme. Dalam tradisi psikologi narsisme merujuk pada suatu kondisi pemujaan terhadap diri sendiri secara berlebihan yang biasanya merupakan manifestasi dari ketidakmatangan emosional seseorang.
Terdapat kecenderungan narsisme dalam diri setiap manusia. Celakanya, semakin orang itu memiliki kompetensi yang rendah, semakin besar pula kecenderungannya untuk berperilaku narsis. Teori efek Dunning-Kruger menjelaskan bahwa seseorang yang tidak memiliki kemampuan cenderung mengalami superioritas ilusif. Artinya, ia merasa kemampuannya lebih hebat daripada orang lain pada umumnya. Bias kognitif ini diakibatkan ketidakmampuan orang tersebut secara metakognitif untuk mengidentifikasi apa yang menjadi kekurangannya.
Sejak memasuki aras demokrasi hampir 20 tahun lalu, di mana keran politik dibuka sederas-derasnya, realitas politik Indonesia dipenuhi oleh para pelakon yang dihinggapi oleh sifat narsistik sehingga menimbulkan panorama politik yang sarat dengan narsisme. Seperti contoh caleg di atas, setiap kita merasa mampu menjadi pemimpin publik yang baik. Tanpa memedulikan prasyarat-prasyaratnya seperti kompetensi, pengalaman, rekam jejak, kecakapan emosional, spiritual, dan sebagainya.
Demokratisasi kita ditandai dengan orang-orang yang ingin dipanggil "pimpinan", "ketua", "kepala", "bos". Tak heran bila kemudian ratusan, bahkan ribuan, organisasi berdiri dengan jabatan yang hampir selalu melekatkan kata "ketua" untuk tiap levelnya; "ketua umum", "wakil ketua", "ketua harian", "ketua bidang", "ketua tim", "ketua dewan pakar", "ketua dewan pembina", dan seterusnya.
Sikap merasa diri mampu menjadi pemimpin yang lebih baik, yang tidak diikuti dengan sikap merasa diri mampu menjadi pengikut yang baik, membuat proses demokrasi kita menjadi timpang, bahkan kebablasan. Dalam situasi seperti ini, semua orang berpikir besar, bahkan terlalu besar, dan cenderung mengabaikan ihwal kecil yang sebenarnya lebih mampu untuk dikerjakan. Semua orang berpikir "kalau nanti saya jadi ....", bukan "apa yang bisa saya kerjakan sekarang".
Upaya Koreksi
Karena itu, perlu ada koreksi atas apa yang telah terjadi agar realitas politik kita menjadi lebih baik. Mekanisme self assessment system yang kita anut dalam demokrasi kita, yang diinspirasi oleh doktrin Smithian, perlu diperbaiki agar demokrasi tidak berjalan sebatas prosedural, tapi juga substansial.
Maka itu, agar demokrasi berjalan baik, perlu ada kerangka yang lebih bisa mereduksi orang-orang dengan "bias kognitif bawaan" ini untuk mengisi jabatan publik yang strategis. Secara teknis, ini bisa diawali dengan pengenaan persyaratan khusus yang lebih ketat. Misalnya, untuk bisa mengajukan diri sebagai anggota DPR RI, seseorang harus pernah menjadi anggota legislatif di level yang lebih rendah apakah itu tingkat kabupaten/kota atau provinsi dengan ukuran capaian kinerja tertentu.
Ini perlu dilakukan karena proses belajar selalu diawali dari sesuatu yang sederhana untuk kemudian menuju ke tingkatan permasalahan yang lebih kompleks. Logika sederhananya, bagaimana mungkin anak SD disuruh mengerjakan soal kalkulus, sementara ia sendiri belum menguasai materi matematika dasar seperti penjumlahan. Kepemimpinan berjenjang menjadi kunci dari keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas publik. Kepemimpinan publik yang menyangkut nasib jutaan orang di dalamnya bukanlah jabatan untuk coba-coba.
Memang tidak ada kepastian apakah dengan begini kerja kelembagaan publik menjadi lebih baik. Tetapi, batasan seperti ini bisa mengurangi orang-orang narsis yang tidak mempunyai kompetensi dan pengalaman untuk terlibat dalam kontestasi politik.
Kita tidak bisa terus berlindung di balik keyakinan self correcting system pada sistem demokrasi. Biarkan saja orang tidak kompeten terpilih karena kalau tidak bekerja baik, orang itu dengan sendirinya tidak akan dipilih kembali. Ini keyakinan keliru. Dalam kondisi pemilih yang terbatas daya kritisnya, self correcting system yang dibayangkan di atas tidak akan pernah terjadi. Karena itu, memang perlu kerangka aturan yang lebih membatasi supaya narsisme tidak semakin pekat dalam realitas politik kita. Hal baik terkadang memang harus diciptakan, jangan ditunggu karena ia tidak hadir dengan sendiri
(mhd)