Menanti Hasil Perundingan AS-China
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
BANYAK negara menanti dengan cemas apa yang terjadi dalam perundingan dua hari antara Amerika Serikat (AS) dan China. Saya tidak bisa membayangkan apa yang dapat dibahas dalam pertemuan yang dimulai sejak hari Senin lalu mengingat begitu banyaknya agenda pembahasan.
Saya sendiri agak pesimistis bahwa pertemuan ini dapat menyelesaikan banyak hal karena perkara ketegangan perdagangan antarkedua negara ini harus dikoordinasikan lintas departemen dan lintas sektor. Namun demikian, sebagai sebuah niat baik, saya optimistis perundingan ini berpotensi menyelesaikan masalah yang lebih berat lagi.
Perundingan yang dimulai sejak Senin kemarin adalah bagian dari paket kesepakatan pertemuan antar Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di KTT G-20 Argentina. Perundingan yang berlangsung di Beijing itu menyebabkan AS menunda rencana untuk memberlakukan kenaikan tarif impor sebesar 25% atas beberapa produk China.
AS akan mengklaim akan menambah kenaikan tarif yang tertunda itu terhadap China di bulan Maret apabila perundingan dua hari ini gagal. Oleh sebab itu banyak pihak yang sangat berharap bahwa AS dan China dapat segera menemukan dasar baru bagi hubungan perdagangan antar mereka.
Saya juga menyakini bahwa kedua negara sebetulnya juga berharap terciptanya aturan main baru perdagangan. Alasannya karena di kedua negara ini sudah banyak “jatuh korban” dari ketegangan perdagangan, baik akibat masalah di antara kedua negara itu maupun di tingkat dunia.
Di sisi AS, komoditas yang terpenting yaitu kedelai telah mengalami penurunan nilai ekspor ke China sebesar 94% mulai dari pertengahan Oktober 2018. Harga kedelai turun ke level terendah dalam 10 tahun terakhir.
Industri pertanian di Upper Midwest, khususnya di Wisconsin, juga mengalami kebangkrutan hingga pemerintah harus memberikan program subsidi baru pada bulan Juli ke petani sebanyak USD12 juta. Nilai itu membengkak di bulan September menjadi USD25 juta. (Washington Post, 10/12/2018)
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi China juga melambat tahun lalu sebesar 6,5% dan diperkirakan akan terus mengalami penurunan apabila situasi yang ditimbulkan oleh perang dagang tidak berubah. Penurunan ekonomi tersebut juga diperkirakan akan terjadi di tahun 2019 yang dapat membuat 4 juta orang akan kehilangan pekerjaan.
Setengah atau lebih dari 70% bisnis yang berasal dari investasi AS sedang mengalami krisis sejak perang dagang. Contohnya produk-produk mebel yang menjadi andalan ekspor manufaktur China ke AS sudah merumahkan lebih dari 1,1 juta orang di bulan Oktober 2018. Keadaan ekonomi yang tidak menggembirakan tersebut telah menekan kedua negara untuk berunding.
Saya boleh optimistis perundingan itu akan mencapai titik yang menggembirakan karena dalam bebarapa produk, AS dan China bukan atau belum menjadi “absolute advantage competitor”. Dalam teori perdagangan internasional secara sederhana ada dua jenis pesaing alias competitor: absolute competitor dan comparative competitor.
Absolute competitor adalah persaingan dua negara atau lebih atas sebuah produk yang sama di mana salah satu negara akan lebih kuat secara absolut dibandingkan negara lainnya. Contoh adalah produsen minyak bumi.
AS dan Arab Saudi sama-sama produsen minyak bumi tetapi dalam soal volume, Arab Saudi dapat mendikte pasar dunia terlebih apabila bersatu dengan negara-negara OPEC. Oleh sebab itu, bagi AS, akan lebih murah mengimpor minyak daripada harus memproduksinya sendiri.
Jenis persaingan lain adalah comparative competitor dan ini adalah yang terjadi antara AS dan China. China unggul dalam efisiensi dan upah buruh murah yang mendukung ekspor manufaktur, sementara AS sangat dominan dalam penguasaan teknologi tinggi. Keunggulan komparatif China ini yang secara perlahan-lahan menggerus dominasi AS di sektor teknologi.
Pada saat perusahaan-perusahaan teknologi AS menciptakan produk-produk inovatif dan bernilai tambah tinggi, mereka lebih memilih memproduksinya secara massal di China karena biaya produksi yang sangat murah. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak banyak yang ingin memproduksinya di AS atau Eropa karena biaya produksi yang terlalu mahal.
Salah satu syarat yang menggerus dominasi AS dalam teknologi juga karena syarat adanya transfer teknologi dari perusahaan AS kepada perusahaan China. Alih pengetahuan ini telah mendorong lahirnya perusahaan-perusahaan teknologi mulai dari chip komputer hingga teknologi luar angkasa. Kemajuan ini juga yang menggerogoti dominasi AS dalam komoditas-komoditas teknologi tertentu seperti misalnya panel listrik cahaya matahari, mobil, atau komputer.
Perundingan dua hari ini dan perundingan selanjutnya adalah upaya AS untuk menghentikan transformasi China untuk menjadi absolute comparative di beberapa komoditas terutama yang terkait dengan teknologi, jasa dan pelayanan. AS mengenakan tarif yang tinggi atas produk-produk yang disebutkan di atas. Hal ini menyebabkan harga dari produk itu tidak lagi murah.
Masing-masing negara tentu juga berhitung. AS sendiri tidak ingin terus memberikan subsidi kepada produk-produk agrikulturnya karena secara politik hal itu juga tidak akan menguntungkan. Meski demikian, saya melihat bahwa China sendiri tampaknya, sejauh saya membaca dari jauh, tidak mau mengambil risiko yang dapat menimbulkan tsunami politik di dalam negeri.
Mereka harus memilih, minimal untuk jangka pendek ini, antara menyelamatkan jutaan lapangan pekerjaan yang tergantung dari sektor manufaktur atau menyelamatkan perusahaan padat modal dan teknologi. Saya cenderung menilai China akan menyelamatkan lapangan pekerjaan warganya.
AS sendiri telah mengajukan kepada China untuk menghapus syarat transfer teknologi tersebut atau dalam bahasa formalnya China harus membuktikan komitmen mereka terhadap intelectual property rights. Kita belum tahu bagaimana kedua belah pihak mengukur komitmen tersebut karena hal itu menyangkut hal-hal bersifat teknis.
Ini yang saya singgung di atas bahwa perundingan dua hari ini mungkin tidak akan menyelesaikan masalah tetapi minimal dua negara sudah saling mengetahui ke arah mana kecenderungan kebijakan perdagangan mereka.
Analisis ini sendiri hanya membicarakan secara umum satu komoditas dan belum bicara komoditas lain. Di tingkat praktis sebuah perundingan perdagangan selama ini lebih banyak memakan waktu untuk membahas hal-hal yang sangat teknis karena hal yang teknis ini yang akan menjadi petunjuk pelaksanaan di lapangan.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
BANYAK negara menanti dengan cemas apa yang terjadi dalam perundingan dua hari antara Amerika Serikat (AS) dan China. Saya tidak bisa membayangkan apa yang dapat dibahas dalam pertemuan yang dimulai sejak hari Senin lalu mengingat begitu banyaknya agenda pembahasan.
Saya sendiri agak pesimistis bahwa pertemuan ini dapat menyelesaikan banyak hal karena perkara ketegangan perdagangan antarkedua negara ini harus dikoordinasikan lintas departemen dan lintas sektor. Namun demikian, sebagai sebuah niat baik, saya optimistis perundingan ini berpotensi menyelesaikan masalah yang lebih berat lagi.
Perundingan yang dimulai sejak Senin kemarin adalah bagian dari paket kesepakatan pertemuan antar Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di KTT G-20 Argentina. Perundingan yang berlangsung di Beijing itu menyebabkan AS menunda rencana untuk memberlakukan kenaikan tarif impor sebesar 25% atas beberapa produk China.
AS akan mengklaim akan menambah kenaikan tarif yang tertunda itu terhadap China di bulan Maret apabila perundingan dua hari ini gagal. Oleh sebab itu banyak pihak yang sangat berharap bahwa AS dan China dapat segera menemukan dasar baru bagi hubungan perdagangan antar mereka.
Saya juga menyakini bahwa kedua negara sebetulnya juga berharap terciptanya aturan main baru perdagangan. Alasannya karena di kedua negara ini sudah banyak “jatuh korban” dari ketegangan perdagangan, baik akibat masalah di antara kedua negara itu maupun di tingkat dunia.
Di sisi AS, komoditas yang terpenting yaitu kedelai telah mengalami penurunan nilai ekspor ke China sebesar 94% mulai dari pertengahan Oktober 2018. Harga kedelai turun ke level terendah dalam 10 tahun terakhir.
Industri pertanian di Upper Midwest, khususnya di Wisconsin, juga mengalami kebangkrutan hingga pemerintah harus memberikan program subsidi baru pada bulan Juli ke petani sebanyak USD12 juta. Nilai itu membengkak di bulan September menjadi USD25 juta. (Washington Post, 10/12/2018)
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi China juga melambat tahun lalu sebesar 6,5% dan diperkirakan akan terus mengalami penurunan apabila situasi yang ditimbulkan oleh perang dagang tidak berubah. Penurunan ekonomi tersebut juga diperkirakan akan terjadi di tahun 2019 yang dapat membuat 4 juta orang akan kehilangan pekerjaan.
Setengah atau lebih dari 70% bisnis yang berasal dari investasi AS sedang mengalami krisis sejak perang dagang. Contohnya produk-produk mebel yang menjadi andalan ekspor manufaktur China ke AS sudah merumahkan lebih dari 1,1 juta orang di bulan Oktober 2018. Keadaan ekonomi yang tidak menggembirakan tersebut telah menekan kedua negara untuk berunding.
Saya boleh optimistis perundingan itu akan mencapai titik yang menggembirakan karena dalam bebarapa produk, AS dan China bukan atau belum menjadi “absolute advantage competitor”. Dalam teori perdagangan internasional secara sederhana ada dua jenis pesaing alias competitor: absolute competitor dan comparative competitor.
Absolute competitor adalah persaingan dua negara atau lebih atas sebuah produk yang sama di mana salah satu negara akan lebih kuat secara absolut dibandingkan negara lainnya. Contoh adalah produsen minyak bumi.
AS dan Arab Saudi sama-sama produsen minyak bumi tetapi dalam soal volume, Arab Saudi dapat mendikte pasar dunia terlebih apabila bersatu dengan negara-negara OPEC. Oleh sebab itu, bagi AS, akan lebih murah mengimpor minyak daripada harus memproduksinya sendiri.
Jenis persaingan lain adalah comparative competitor dan ini adalah yang terjadi antara AS dan China. China unggul dalam efisiensi dan upah buruh murah yang mendukung ekspor manufaktur, sementara AS sangat dominan dalam penguasaan teknologi tinggi. Keunggulan komparatif China ini yang secara perlahan-lahan menggerus dominasi AS di sektor teknologi.
Pada saat perusahaan-perusahaan teknologi AS menciptakan produk-produk inovatif dan bernilai tambah tinggi, mereka lebih memilih memproduksinya secara massal di China karena biaya produksi yang sangat murah. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak banyak yang ingin memproduksinya di AS atau Eropa karena biaya produksi yang terlalu mahal.
Salah satu syarat yang menggerus dominasi AS dalam teknologi juga karena syarat adanya transfer teknologi dari perusahaan AS kepada perusahaan China. Alih pengetahuan ini telah mendorong lahirnya perusahaan-perusahaan teknologi mulai dari chip komputer hingga teknologi luar angkasa. Kemajuan ini juga yang menggerogoti dominasi AS dalam komoditas-komoditas teknologi tertentu seperti misalnya panel listrik cahaya matahari, mobil, atau komputer.
Perundingan dua hari ini dan perundingan selanjutnya adalah upaya AS untuk menghentikan transformasi China untuk menjadi absolute comparative di beberapa komoditas terutama yang terkait dengan teknologi, jasa dan pelayanan. AS mengenakan tarif yang tinggi atas produk-produk yang disebutkan di atas. Hal ini menyebabkan harga dari produk itu tidak lagi murah.
Masing-masing negara tentu juga berhitung. AS sendiri tidak ingin terus memberikan subsidi kepada produk-produk agrikulturnya karena secara politik hal itu juga tidak akan menguntungkan. Meski demikian, saya melihat bahwa China sendiri tampaknya, sejauh saya membaca dari jauh, tidak mau mengambil risiko yang dapat menimbulkan tsunami politik di dalam negeri.
Mereka harus memilih, minimal untuk jangka pendek ini, antara menyelamatkan jutaan lapangan pekerjaan yang tergantung dari sektor manufaktur atau menyelamatkan perusahaan padat modal dan teknologi. Saya cenderung menilai China akan menyelamatkan lapangan pekerjaan warganya.
AS sendiri telah mengajukan kepada China untuk menghapus syarat transfer teknologi tersebut atau dalam bahasa formalnya China harus membuktikan komitmen mereka terhadap intelectual property rights. Kita belum tahu bagaimana kedua belah pihak mengukur komitmen tersebut karena hal itu menyangkut hal-hal bersifat teknis.
Ini yang saya singgung di atas bahwa perundingan dua hari ini mungkin tidak akan menyelesaikan masalah tetapi minimal dua negara sudah saling mengetahui ke arah mana kecenderungan kebijakan perdagangan mereka.
Analisis ini sendiri hanya membicarakan secara umum satu komoditas dan belum bicara komoditas lain. Di tingkat praktis sebuah perundingan perdagangan selama ini lebih banyak memakan waktu untuk membahas hal-hal yang sangat teknis karena hal yang teknis ini yang akan menjadi petunjuk pelaksanaan di lapangan.
(poe)