73 Tahun Kementerian Agama Sebuah Refleksi
A
A
A
Ruchman Basori
Kasi Kemahasiswaan Ditjen Pendis Kemenag RI, Kandidat Doktor Manajemen Kependidikan Unnes
MEMBAHAS Kementerian Agama seperti membahas Indonesia karena kementerian ini mengandung spirit keagamaan yang menjadi dasar pokok Ketuhanan Yang Maha Esa. Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika. Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar dengan jumlah pemeluk sekitar 200 juta (87,2% dari total penduduk) dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Indonesia ini juga merupakan negara multietnis dengan jumlah suku 1.310, menurut Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) 2010. Memiliki jumlah pulau yang indah dan terhampar luas mencapai 17.504, bahasa 742 dan subbahasa yang masih hidup. Dalam konteks pendidikan Islam yang kini dibina oleh Kementerian Agama, Indonesia memiliki lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia.
Menurut Data EMIS Ditjen Pendidikan Islam Tahun 2016/ 2017 terdapat 28.268 raudlatul athfal (RA), 24.951 madrasah ibtidaiyah (MI), 17.363 madrasah tsanawiyah (MTs) dan 8.165 madrasah aliyah (MA) dengan jumlah siswa 9.513.043 orang. Dari sisi pendidikan nonformal terdapat 21.921 pondok pesantren dengan 3.227.234 santri. Madrasah diniyah takmiliyah (MDT) 76.683 sekolah dengan 5.892.797 orang dan taman pendidikan Alquran berjumlah 135.493 buah dengan jumlah santri 7.519.944 orang. Pada level pendidikan tinggi keagamaan Islam (PTKIN) seperti UIN, IAIN, dan STAIN ada 58 PTKIN dengan jumlah mahasiswa 489.490 orang dan PTKIS berjumlah 686 lembaga dengan mahasiswa 313.147 orang.
Tulisan ini ingin sedikit membahas pendidikan Islam di tengah kompleksitas masalah yang dihadapi Kementerian Agama, agar masyarakat benar-benar merasakan kehadiran negara dalam memperluas akses dan meningkatkan mutu pendidikan Islam. Di banyak kesempatan, Kamarudin Amin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam pada Kementerian Agama, yakin Indonesia akan menjadi pusat peradaban Islam di dunia.
Untuk itu, diperlukan langkah transformatif oleh siapa pun pemegang kementerian ini, agar pendidikan Islam naik kelas menjadi pendidikan bermutu dan bersaing. Kerja keras, kerja cerdas, inovasi, dan kreativitas amat diperlukan. Komitmen mutu dan transformasi ini juga harus dijiwai oleh seluruh aparatur keluarga besar Kementerian Agama. Tidak berlebihan jika dikatakan pendidikan Islam akan menjadi “aktor perubahan” di negeri ini, jika mampu diberdayakan dan diafirmasi dengan baik.
Indonesia dengan bonus demografi, menurut ramalan The Mc Kinsey Institute, akan menjadi negara kuat dengan tingkat ekonomi ketujuh dunia pada 2045. Hal itu tentu tidak terlepas dari kontribusi dan partisipasi pendidikan Islam dengan berbagai ragamnya.
Penataan paradigmatik pengembangan pendidikan Islam yang mengedepankan nilai-nilai multikultural harus terus diupayakan. Penguatan kelembagaan pendidikan tinggi keagamaan Islam (PTKI), pendidikan madrasah dari mulai RA, MI, MTs, MA, dan pendidikan keagamaan Islam seperti pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah MDT, dan TPQ) menjadi keniscayaan.
Tak kalah pentingnya adalah diimbangi dengan kebijakan penganggaran pendidikan yang adil. Disadari, masih terjadi kekurangadilan atas penganggaran pendidikan antara sekolah dan madrasah, perguruan tinggi umum dengan PTKI dan dialami juga pada lembaga pendidikan keagamaan Islam yang kadang menjadi bahan lelucon hidup segan mati tak mau (la yamutu wala yahya).
Akses anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan Islam menjadi penting. Di beberapa daerah minoritas dan perbatasan, kebutuhan akan pendidikan Islam perlu diperluas. Karena Indonesia dengan 34 provinsi dan ribuan pulau membutuhkan layanan pendidikan agama yang memadahi. Layanan pendidikan Islam yang bermutu adalah hak warga negara dan negara wajib memenuhinya sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, harus membuka unit madrasah baru (UMB) yang diikuti dengan pengangkatan guru yang berkualitas, sarana dan prasarana yang memadai, dan penganggaran yang cukup. Pondok pesantren perlu didirikan di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) agar anak bangsa dapat mengenyamnya dengan baik. Pada saat yang sama, perlunya diperkuat program penukaran kiai dan ustaz dari Jawa ke luar Jawa “tadabalul ustadz” dan santri luar Jawa untuk belajar di pesantren di Pulau Jawa.
Selain itu program pendidikan kader ulama (PKU) juga perlu dihadirkan kembali, baik melalui pendekatan degree maupun non degree agar reproduksi ulama terus bergeliat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, banyak kalangan berharap agar Indonesia menjadi kiblat pendidikan Islam di dunia, bukan lagi ke Timur Tengah.
Selain kebijakan perluasan akses, Kemenag juga dituntut untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam. Dalam hal pondok pesantren, misalnya, diperlukan afirmasi terhadap pondok pesantren salafiyah (PPS), yang kian hari kian menurun jumlahnya.
Kasi Kemahasiswaan Ditjen Pendis Kemenag RI, Kandidat Doktor Manajemen Kependidikan Unnes
MEMBAHAS Kementerian Agama seperti membahas Indonesia karena kementerian ini mengandung spirit keagamaan yang menjadi dasar pokok Ketuhanan Yang Maha Esa. Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika. Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar dengan jumlah pemeluk sekitar 200 juta (87,2% dari total penduduk) dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Indonesia ini juga merupakan negara multietnis dengan jumlah suku 1.310, menurut Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) 2010. Memiliki jumlah pulau yang indah dan terhampar luas mencapai 17.504, bahasa 742 dan subbahasa yang masih hidup. Dalam konteks pendidikan Islam yang kini dibina oleh Kementerian Agama, Indonesia memiliki lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia.
Menurut Data EMIS Ditjen Pendidikan Islam Tahun 2016/ 2017 terdapat 28.268 raudlatul athfal (RA), 24.951 madrasah ibtidaiyah (MI), 17.363 madrasah tsanawiyah (MTs) dan 8.165 madrasah aliyah (MA) dengan jumlah siswa 9.513.043 orang. Dari sisi pendidikan nonformal terdapat 21.921 pondok pesantren dengan 3.227.234 santri. Madrasah diniyah takmiliyah (MDT) 76.683 sekolah dengan 5.892.797 orang dan taman pendidikan Alquran berjumlah 135.493 buah dengan jumlah santri 7.519.944 orang. Pada level pendidikan tinggi keagamaan Islam (PTKIN) seperti UIN, IAIN, dan STAIN ada 58 PTKIN dengan jumlah mahasiswa 489.490 orang dan PTKIS berjumlah 686 lembaga dengan mahasiswa 313.147 orang.
Tulisan ini ingin sedikit membahas pendidikan Islam di tengah kompleksitas masalah yang dihadapi Kementerian Agama, agar masyarakat benar-benar merasakan kehadiran negara dalam memperluas akses dan meningkatkan mutu pendidikan Islam. Di banyak kesempatan, Kamarudin Amin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam pada Kementerian Agama, yakin Indonesia akan menjadi pusat peradaban Islam di dunia.
Untuk itu, diperlukan langkah transformatif oleh siapa pun pemegang kementerian ini, agar pendidikan Islam naik kelas menjadi pendidikan bermutu dan bersaing. Kerja keras, kerja cerdas, inovasi, dan kreativitas amat diperlukan. Komitmen mutu dan transformasi ini juga harus dijiwai oleh seluruh aparatur keluarga besar Kementerian Agama. Tidak berlebihan jika dikatakan pendidikan Islam akan menjadi “aktor perubahan” di negeri ini, jika mampu diberdayakan dan diafirmasi dengan baik.
Indonesia dengan bonus demografi, menurut ramalan The Mc Kinsey Institute, akan menjadi negara kuat dengan tingkat ekonomi ketujuh dunia pada 2045. Hal itu tentu tidak terlepas dari kontribusi dan partisipasi pendidikan Islam dengan berbagai ragamnya.
Penataan paradigmatik pengembangan pendidikan Islam yang mengedepankan nilai-nilai multikultural harus terus diupayakan. Penguatan kelembagaan pendidikan tinggi keagamaan Islam (PTKI), pendidikan madrasah dari mulai RA, MI, MTs, MA, dan pendidikan keagamaan Islam seperti pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah MDT, dan TPQ) menjadi keniscayaan.
Tak kalah pentingnya adalah diimbangi dengan kebijakan penganggaran pendidikan yang adil. Disadari, masih terjadi kekurangadilan atas penganggaran pendidikan antara sekolah dan madrasah, perguruan tinggi umum dengan PTKI dan dialami juga pada lembaga pendidikan keagamaan Islam yang kadang menjadi bahan lelucon hidup segan mati tak mau (la yamutu wala yahya).
Akses anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan Islam menjadi penting. Di beberapa daerah minoritas dan perbatasan, kebutuhan akan pendidikan Islam perlu diperluas. Karena Indonesia dengan 34 provinsi dan ribuan pulau membutuhkan layanan pendidikan agama yang memadahi. Layanan pendidikan Islam yang bermutu adalah hak warga negara dan negara wajib memenuhinya sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, harus membuka unit madrasah baru (UMB) yang diikuti dengan pengangkatan guru yang berkualitas, sarana dan prasarana yang memadai, dan penganggaran yang cukup. Pondok pesantren perlu didirikan di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) agar anak bangsa dapat mengenyamnya dengan baik. Pada saat yang sama, perlunya diperkuat program penukaran kiai dan ustaz dari Jawa ke luar Jawa “tadabalul ustadz” dan santri luar Jawa untuk belajar di pesantren di Pulau Jawa.
Selain itu program pendidikan kader ulama (PKU) juga perlu dihadirkan kembali, baik melalui pendekatan degree maupun non degree agar reproduksi ulama terus bergeliat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, banyak kalangan berharap agar Indonesia menjadi kiblat pendidikan Islam di dunia, bukan lagi ke Timur Tengah.
Selain kebijakan perluasan akses, Kemenag juga dituntut untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam. Dalam hal pondok pesantren, misalnya, diperlukan afirmasi terhadap pondok pesantren salafiyah (PPS), yang kian hari kian menurun jumlahnya.
(mhd)