Bersama Mengendalikan Inflasi

Jum'at, 04 Januari 2019 - 05:13 WIB
Bersama Mengendalikan Inflasi
Bersama Mengendalikan Inflasi
A A A
Tasroh, SS, MPA, MSc

ASN, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan

MENGAWALI tahun politik 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Desember 2018 sebesar 0,62%. Dengan angka inflasi tersebut, inflasi tahun kalender 2018 dan secara year on year (yoy) tercatat 3,13%. Inflasi sepanjang 2018 tersebut lebih rendah dari tahun sebelumnya yang sebesar 3,61% dan juga dari target APBN 2018 sebesar 3,5%.

Rendahnya angka inflasi pada tahun lalu tak lepas dari upaya pemerintah mengendalikan harga-harga bergejolak atau volatile foods dengan menjaga ketersediaan bahan pangan. Pengendalian harga pangan sangat penting karena komoditas pangan selalu bisa "dipermainkan" oleh pihak-pihak tertentu, sehingga dikenal sebagai faktor pemacu inflasi yang paling mudah "digoreng".

Hal ini karena harga pangan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap garis kemiskinan. Terkendalinya laju inflasi tahun lalu juga karena kebijakan pemerintah yang tidak menaikkan harga-harga yang diatur atau administered price seperti bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.

Tidak hanya naiknya harga BBM dan tarif listrik yang memberi andil besar terhadap pengendalian laju inflasi, meski harus dibayar mahal dengan membengkaknya anggaran subsidi energi dalam APBN 2018 dan juga 2019. Kebijakan tidak menaikkan harga BBM jenis premium di tahun 2018 berdampak berkurangnya laba yang diraih PT Pertamina (Persero) karena harus menanggung biaya produksi yang lebih tinggi dari harga jual. Namun perusahaan plat merah itu masih bisa beroperasi normal karena banyak dimensi bisnis lain yang secara simultan berkembang positif.

Sebagaimana diketahui, sepanjang tahun2018 lalu, pemerintah tidak menaikkan harga BBM jenis premium. Kebijakan tersebut dinilai "jenius" karena direspons positif pasar sehingga dapat secara langsung mengendalikan inflasi. Justru pemerintah mengambil kebijakan membuka kembali penyediaan pasokan BBM premium di wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) yang sebelumnya hanya diperuntukkan di luar Jamali.

Karena menanggung beban yang diakibatkan tidak adanya kenaikan harga BBM premium, Pertamina hanya membukukan laba bersih sebesar Rp 5 triliun hingga kuartal III/2018. Padahal sepanjang 2017, BUMN migas tersebut berhasil membukukan laba bersih hingga mencapai Rp35 triliun (JP, 31/12/2018). Sayangnya, demi menjaga harga solar, pemerintah tidak bisa menerapkan kebijakan yang sama seperti dilakukan untuk BBM premium. Hal mana lantaran solar meskipun setara dengan premium (menyangkut kebutuhan energi akar rumput), solar lebih terbatas pemakainya. Akhirnya pemerintah memutuskan untuk menaikkan alokasi subsidi solar menjadi Rp2.000 per liter pada pertengahan tahun ini dari semula Rp500 per liter. Tambahan subsidi sebesar Rp 1.500 per liter itu bersumber dari APBN.

Tidak hanya menahan harga BBM, pemerintah pun menetapkan tarif listrik di sepanjang tahun 2018 sama dengan tarif di tahun 2017, baik untuk pelanggan non-subsidi maupun bersubsidi. Karena tarif listrik tidak dinaikkan, sementara di sisi lain nilai tukar rupiah terus melemah dan terjadi kenaikan harga bahan bakar untuk pembangkit listrik, PT PLN (Persero) membukukan kerugian sebesar Rp18,48 triliun pada kinerja kuartal III/2018. Padahal, sepanjang 2017, perseroan mampu mencetak laba bersih Rp 3,05 triliun.

Kerja S ama Lintas Pihak

Apa pun upaya yang dilakukan untuk mengendalikan inflasi, kita mengapresiasi kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berhasil menjaga laju inflasi di kisaran 3% selama empat tahun berturut-turut sejak 2015. Padahal pada 2014 laju inflasi mencapai 8,36%. Keberhasilan ini menjadi modal kuat bagi Joko Widodo yang kembali maju dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019 ini.

Kinerja pemerintah yang berhasil menekan laju inflasi diyakini dapat berlanjut pada tahun ini. Optimisme tersebut tidaklah berlebihan sepanjang pemerintah dapat mengendalikan harga-harga pangan. Inflasi 2018 sebagian besar disumbang oleh bahan makanan sebesar 0,68%. Salah satu yang membutuhkan perhatian khusus adalah komoditas beras karena bobotnya yang tinggi terhadap inflasi. Kenaikan harga beras sekecil apa pun akan memengaruhi laju inflasi. Pada tahun lalu, andil/sumbangan komoditas beras terhadap inflasi mencapai 0,13%.

Selain beras, pemerintah juga perlu mengendalikan harga telur ayam. Meski andilnya kecil, jika komoditas itu mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi maka akan memberi dampak cukup signifikan terhadap inflasi. Bobot telur ayam terhadap inflasi hanya 0,7%, tapi jika kenaikan harganya mencapai 15% maka akan berpengaruh besar terhadap inflasi secara keseluruhan.

Terjaganya harga pangan tahun lalu tak lepas dari koordinasi tim pengendalian inflasi di daerah maupun pusat. Koordinasi sangat penting dalam menjaga keseimbangan antara sisi permintaan dan sisi penawaran komoditas pangan. Koordinasi yang baik akan membuat pergerakan inflasi yang disebabkan gejolak harga pangan bisa lebih terkendali. Di sisi lain, pengendalian harga pangan dapat terlaksana jika terjadi perbaikan jalur distribusi dan upaya memberantas penimbunan barang.

Sayangnya untuk yang satu ini, dari rezim ke rezim belum benar-benar berubah ke arah yang lebih transparan dan penuh integritas. Apalagi jika kita melihat hasil laporan Kementrian Perdagangan RI (2018) bahwa meskipun pemerintah telah banyak memangkas dan menutup "jalur tikus" (meminjam istilah pakar ekonomi Khatib Basri untuk menggambarkan masih banyaknya jalur distribusi komoditas pangan yang masih berada dalam "remang-remang"), dengan Satkas Pangan Nasional, misalnya, toh tidak serta-merta jalur distribusi pangan atau energi dan turunannya, benar-benar bersih dan tegak lurus sesuai dengan target pemerintah. Hal mana lantaran, keberadaan "jalur tikus" itu di samping sudah turun-temurun menguasai jalur distribusi nasional, diakui masih banyak mafia pangan yang mengambil untung untuk diri dan kelompok/jejaringnya.

Data Kementerian Perdagangan RI selama 5 tahun terakhir, pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla telah berhasil memutus "jalur tikus" serta menghentikan jejaring mafia pangan dan energi hingga mencapai 65%. Tercatat dari sebelumnya terdapat 298 pos jalur tikus, hingga Desember 2018, kini tinggal 91 saja.

Artinya masih ada 35% potensi dan peluang jalur tikus yang masih beroperasi dan diperkirakan akan terus berkembang yang dapat mengancam upaya pemerintah mengendalikan inflasi. Untuk alasan inilah penegakan hukum dan upaya-upaya pemerintah untuk mengendalikan inflasi harus didukung bersama oleh semua pihak, termasuk peran serta masyarakat, kalangan dunia usaha bersama-sama mengendalikan inflasi. Caranya, memerankan tugas dan fungsi masing-masing secara seimbang dan tidak berlebih-lebihan sehingga menutup peluang dan kesempatan para mafia pangan dan energi melancarkan aksi busuknya, mengacak-acak pasar.

Untuk itu memasuki tahun politik 2019 di mana apa pun kebijakan pemerintah akan mudah "digoreng" kaum oposan, hemat penulis, selain menjaga harga pangan, pengendalian inflasi tahun 2019 ini dapat terjadi sepanjang harga yang diatur pemerintah tidak dinaikkan. Dari sisi komoditas, kenaikan harga BBM memberi andil terbesar yaitu 0,26% pada tahun lalu atau yang tertinggi bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. Pada 2017, andil bensin terhadap inflasi hanya 0,18%, sedangkan tarif listrik memberi andil tertinggi sebesar 0,81%.

Kita menaruh harapan kepada pemerintah agar dapat bekerja dengan baik dan cermat untuk mengendalikan inflasi tahun 2019 ini yang ditargetkan sebesar 3,5% dalam APBN 2019 dan tentu harus didukung penuh pula oleh masyarakat dan kalangan dunia usaha nasional. Karena terkendalinya inflasi akan meningkatkan daya beli masyarakat dan perkembangan dunia usaha nasional dan selanjutnya dapat mendorong konsumsi masyarakat yang hingga kini masih menjadi kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) nasional.

Dengan bersama mengendalikan inflasi, tak hanya menutup kesempatan para "broker" ekonomi dan politik mengganggu kerja pemerintah, tetapi sekaligus meneguhkan aksi bersama rakyat untuk mengendalikan inflasi guna meningkatkan daya tahan ekonomi rakyat, ekonomi nasional yang kini masih terus dirundung berbagai tantangan dan ancaman internal dan eksternal. Konsistensi dan tekad yang kuat pemerintah mengendalikan inflasi diharapkan turut menopang daya tahan ekonomi rakyat, ekonomi nasional menuju pertumbuhan ekonomi bangsa yang sehat dan dinamis.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6241 seconds (0.1#10.140)