Polemik Kalender

Jum'at, 04 Januari 2019 - 07:25 WIB
Polemik Kalender
Polemik Kalender
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

MENURUT Immanuel Kant (1724-1804), ketika kita berpikir sesungguhnya ada dua kondisi yang mesti ada, namun tidak kita sadari: time and space (waktu dan ruang)—yang dia sebut sebagai apriori condition. Ketika kita mengada, berpikir dan beraktivitas, semuanya berlangsung dalam waktu dan ruang.

Bahkan, ketika berpikir tentang Tuhan yang Mahaabsolut, kita proyeksikan Dia dalam ruang dan waktu. Padahal, Yang Mahaabsolut dan transenden berada di luar ruang dan waktu yang dikonsepsikan manusia.

Makanya, dalam filsafat terdapat ungkapan The Conceived God, Tuhan yang dikonstruksikan oleh penalaran manusia. Karena bersifat nonfisik dan intangible, waktu itu bagaikan sebuah garis kontinum yang tak putus yang di dalamnya kita berjalan menjumpai kematian.

Oleh manusia, waktu itu dipenggal-penggal dengan berbagai macam istilah dan konsep, seperti abad, windu, tahun, bulan, hari, jam, menit, dan detik. Setiap tahun penggalan imajiner tonggak waktu itu kita rayakan dengan berbagai macam upacara.

Bahkan manusia pun menciptakan sistem perhitungan bulan dan hari yang dinamakan kalender sebagai panduan dan penanda perjalanan waktu. Waktu yang awalnya abstrak dibuat menjadi riil, nyata.

Di dalam Alquran disebutkan, Tuhan menciptakan matahari dan bulan juga berfungsi sebagai rujukan perhitungan hari dan bulan (Al-An'am: 96). Kalender yang mendasarkan pada perhitungan garis edar matahari disebut Syamsiah (solar calendar) dan yang merujuk para peredaran bulan disebut Kamariah (lunar calendar).

Umat Kristiani menggunakan kalender matahari yang merujuk pada hari kelahiran Yesus (Masehi), sedangkan kalender Hijriah yang dikembangkan dunia Islam menggunakan perhitungan bulan. Keduanya sejalan dengan pernyataan Alquran tersebut di atas, bahwa matahari dan bulan adalah ciptaan Allah yang bisa dijadikan dasar perhitungan hari, bulan, dan tahun.

Hanya, jumlah hari dalam perhitungan kalender matahari lebih banyak ketimbang perhitungan bulan, selisihnya sebelas hari dalam setahun. Baik kalender Masehi maupun Hijri yang dikembangkan umat kristiani dan kaum muslim, keduanya merupakan kelanjutan dan pengembangan dari kalender sebelum agama Kristen dan Islam lahir.

Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada yang namanya kalender Kristen dan Islam yang murni. Nama bulan dan hari dalam kalender Masehi sangat kental pengaruh paganisme yang menyembah planet, misalnya Sunday dan Monday, yaitu hari untuk menyembah matahari dan bulan.

Oleh umat kristiani, nama lahiriahnya tetap dipertahankan, namun paham paganismenya ditinggalkan. Hari kelahiran Nabi Muhammad pun sering digunakan patokan "Tahun Gajah", dikaitkan dengan peristiwa penyerbuan tentara gajah yang dipimpin Raja Abrahah untuk menghancurkan Kakbah.

Baru pada masa pemerintahan Umar bin Khattab diciptakan kalender Hijriah, dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah. Dalam penetapan ini pun muncul perdebatan di antara para sahabat.

Ada yang usul tahun pertama itu dimulai dari kelahiran Nabi Muhammad. Tetapi, ada yang keberatan, itu kesannya meniru kalender Masehi. Ada usulan lain, tahun pertama dimulai dari wafatnya saja.

Ada lagi yang berpendapat agar dimulai dari berakhirnya wahyu terakhir Alquran, yang berarti Islam telah sempurna. Pendapat yang disepakati, diambil dari peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah, mengandung dinamika dan tekad kuat untuk memperjuangkan Islam.

Dalam kajian historis terhadap sejarah hidup para rasul Tuhan, sejarah Muhammad dinilai paling lengkap dan terang benderang. Namun, perlu kita bedakan antara sikap iman dan sikap ilmiah. Saya mengimani adanya para rasul Allah sebelum Nabi Muhammad, tapi tidak cukup penjelasan ilmiah kapan dan di mana mereka lahir, hidup, dan wafat.

Fenomena menarik adalah peringatan akhir tahun menyambut tahun baru Masehi, yang merupakan tradisi masyarakat kristiani. Umat Islam Indonesia ikut memperingati malam akhir tahun dengan zikir nasional di berbagai kota. Sebuah tradisi baru yang mungkin sekali itu hanya terjadi di Indonesia. Sebuah gerakan kultural Islamisasi malam tahun baru Masehi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8068 seconds (0.1#10.140)