Kaleidoskop Komunikasi Politik 2018
A
A
A
Dr. Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
LEMBARAN perjalanan kehidupan sepanjang tahun 2018 segera berakhir. Ragam persitiwa telah tersaji meninggalkan banyak cerita, berita dan nostalgia. Tentu di penghujung tahun ini, kita perlu melakukan refleksi atas hal-hal yang sudah kita lalui untuk evaluasi sekaligus perbaikan diri di tahun yang segera kita lalui. Salah satu kunci penting di panggung politik nasional kita tentu saja adalah komunikasi. Tidak ada aktivitas politik baik itu sirkulasi elite, perumusan undang-undangan dan kebijakan, agregasi kepentingan dan kontestasi elektoral yang bisa menafikan peran dan fungsi signifikan komunikasi politik.
Evaluasi 2018
Saking dinamisnya, tentu saja banyak peristiwa komunikasi politik yang mengemuka di jagat politik kita. Tanpa bermaksud mereduksi ragam peristiwa tersebut, sebagai evaluasi saya akan memberi empat catatan khusus bidang komunikasi politik di tahun 2018 ini.
Pertama, di tahun 2018 ini nampak muncul dan menguatnya fenomena heteronomi komunikasi sejak dimulainya masa kampanye Pemilu 2019. Hal ini ditandai dengan banyaknya orang melakukan persuasi ke basis pemilih dengan ragam cara. Mulai dari cara yang dibenarkan oleh undang-undang dan aturan main yang berlaku, hingga cara-cara yang secara substantif melanggar, tetapi dibungkus dengan rapih penuh kamuflase sehingga sulit dijerat UU dan peraturan.
Misalnya membagikan sembako dan varian jenis vote buying lainnya tapi disamarkan dengan ragam istilah yang menjadi pembenarnya. Mengelola akun-akun anonim dan memelihara pasukan siber (cyber troops) di dunia maya. Memproduksi dan mereproduksi serta mendistribusikan hoaks, fitnah, fakenews dan ujaran kebencian (hate speech). Tujuan utamanya melegitimasi kandidat yang diusungnya dan mendelegitimasi lawan entah capres/cawapres maupun caleg-caleg di dapil. Dunia maya penuh hasutan, cercaaan, makian dan kebohongan!
Heteronomi adalah sikap seseorang dalam bertindak dengan hanya sekadar mengikuti atural moral yang bersifat eksternal. Secara konseptual, konsep ini dikenalkan oleh filosof Jerman abad ke-18 Immanuel Kant. Immanuel Kant menjelaskan secara fundamental antara prinsip otonomi kehendak dengan heteronomi kehendak.Prinsip otonomi kehendak merupakan prinsip moralitas tertinggi (the highest morality). Otonomi kehendak ini bersumber dari kesadaran internal seseorang untuk manaati norma moral atas kesadarannya sendiri. Sementara prinsip heteronomi kehendak adalah sumber moral palsu. Artinya kesadarannya bukan bersifat internal dalam diri seseorang, tetapi karena ada aturan yang mengharuskan.
Dalam berkomunikasi, orang yang mengalami heteronomi hanya akan sekedar menghindarkan dirinya untuk tidak melanggar aturan formal, tetapi kerap mengabaikan moralitas. Fenomena itu, hampir setiap saat kita temukan di lini masa media sosial, mimbar-mimbar ceramah, grup-grup perbincangan warga, bahkan bibit-bibit kebencian pun disemai di lembaga-lembaga pendidikan.
Tentu, hal ini harus mendapat catatan serius dari semua elemen bangsa. Penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu harus serius menegakkan aturan main, polisi fokus dan tidak memihak dalam menegakkan hukum, media jangan menolerir berita palsu, hoaks dan ujaran kebencian menjadi isi pemberitaan, kampus dan sekolah turut menjaga keajegan nalar, dan komponen warga lainnya mau bersama-sama saling mengingatkan.
Kedua, di tingkat elite narasi yang dikonstruksi sepanjang 2018 juga lebih banyak agresivitas verbal dibanding dialektika dan argumentasi. Dalam perspektif komunikasi politik, dapat dibedakan antara argumentatif dan verbal agresif. Dominic Ifanta dalam tulisannya Argumentativeness and Verbal Aggressiveness (1996) membedakan keduanya. Argumentasi selalu bersandar pada alasan, nalar, logika berfikir, dan tautan data atau fakta yang bisa menjadi penguatnya.
Sementara agresivitas verbal menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri orang lain. Saling sindir dengan diksi Sontoloyo, Genderuwo, tampang Boyolali, Indonesia akan punah jika Prabowo-Sandi kalah, dan masih banyak lagi pilihan diksi yang diproduksi elite yang tidak berorientasi pada pertarungan program dan gagasan melainkan pada aspek emosionalitas.
Ketiga, hal lain yang perlu dievaluasi adalah komunikasi politik dalam proses kandidasi di Pilkada serentak. Sebagai komparasi, di Pilkada serentak 2015 hanya ada tiga paslon tunggal. Di Pilkada serentak 2017, jumlah paslon tunggal naik menjadi 9. Di pilkada serentak 2018, paslon tunggal naik lagi menjadi 12 daerah. Kalau melihat pola ini, maka paslon tunggal ini akan memiliki efek domino pada pilkada serentak di masa mendatang.
Hal ini, bisa melemahkan pelembagaan politik di tubuh partai. Pola borongan partai oleh petahana dalam kandidasi, akan menyebabkan mandegnya proses kaderisasi terutama upaya partai dalam distribusi dan alokasi kader terbaiknya untuk berkompetisi di Pilkada.Kondisi ini, diperparah dengan model kepartaian kita yang masih bergantung kuat pada pemimpinnya. Kritik Thomas Carothers, dalam tulisannya di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace(2006), Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies misalnya, mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric yang didominasi oleh suatu lingkaran kecil elit politisi.Komunikasi politik tidak bersifat demokratis melainkan menguatkan pola feodal, oligarkidan trasaksional. Ke depan partai harus lebih mampu mendinamisasi komunikasi politik dalam proses kandidasi, sehingga partai masih bisa menyisakan harapan untuk publik mau berpartisipasi dalam proses sirkulasi pemimpin. Pemilu juga harus mampu menghadirkan harapan di masyarakat. Jika tidak, maka semakin lama pemilu dan pilkada akan semakin sepi dari partisipasi warga di TPS.
Keempat, evaluasi komunikasi pemerintah, hingga saat ini masih belum optimal. Penulis hampir setiap tahun selalu mengingatkan pentingnya narasi tunggal pemerintah itu terkelola dengan baik. Presiden Jokowi pernah mengeluarkan Inpres No.9 tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik, yang ditandatangani pada 25 Juni 2015.Tetapi dalam praktik, narasi tunggal pemerintah kerap berantakan akibat tidak bekerja optimalnya pranata komunikasi yang dimiliki dan dioperasionalkan kementerian, lembaga, dan pemerintahan daerah. Termasuk juga komunikasi istana dalam hal ini Tim Komunikasi Presiden (TKP) dan Kantor Staf Presiden yang belum terkordinasikan dengan baik dalam membangun narasi presiden yang resmi, memberi arahan dan presidensial.
Tantangan 2019
Tahun depan, penuh tantangan. Politik nasional kita akan mencapai titik didihnya. Peristiwa komunikasi akan dimulai dengan debat-debat capres dan cawapres yang dimulai pada 17 Januari 2019. Tentu, seluruh kanal warga akan terpapar dengan perdebatan para capres dan cawapres. Hal ini, akan membentuk polarisasi yang semakin tajam terutama antar pendukung masing-masing. Menurut perspektif Social Judgement Theory dari Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif dalam bukunya Griffin, A First Look at Communication Theory (2012), bahwa seseorang mempertimbangkan isu atau objek yang memersuasinya itu berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) mereka. Orang yang sudah memiliki kerangka rujukan masing-masing akan sulit menerima persuasi pihak lain dan cenderung menguatkan, menjustifikasi apa yang sudah ada di persepsinya itu.
Jika kurang bijak, kita punya potensi mengalami hambatan komunikasi. Misalnya melakukan provokasi, gampang terlibat dalam “mental kerumunan” untuk memberi dukungan pada kandidat yang diinginkan dan mengabaikan keberadaan orang lain yang memiliki pilihan berbeda. Simpul yang bisa mengurai benang kusut problem perbedaan pandangan dalam politik itu tentu saja salah satunya adalah cara mengelola komunikasi.
Hakikat berkomunikasi itu menciptakan kesepahaman bersama (mutual understanding). Berkomunikasi yang mengembangkan etika, menghormati hukum, sensitif dengan situasi, mengembangkan rasa hormat dan tetap menjaga nalar dalam menyebarkan pesan menjadi penting di situasi yang kerap diwarnai guncangan. Ada hal yang lebih penting dari sekedar pemilu lima tahunan yakni persatuan Indonesia.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
LEMBARAN perjalanan kehidupan sepanjang tahun 2018 segera berakhir. Ragam persitiwa telah tersaji meninggalkan banyak cerita, berita dan nostalgia. Tentu di penghujung tahun ini, kita perlu melakukan refleksi atas hal-hal yang sudah kita lalui untuk evaluasi sekaligus perbaikan diri di tahun yang segera kita lalui. Salah satu kunci penting di panggung politik nasional kita tentu saja adalah komunikasi. Tidak ada aktivitas politik baik itu sirkulasi elite, perumusan undang-undangan dan kebijakan, agregasi kepentingan dan kontestasi elektoral yang bisa menafikan peran dan fungsi signifikan komunikasi politik.
Evaluasi 2018
Saking dinamisnya, tentu saja banyak peristiwa komunikasi politik yang mengemuka di jagat politik kita. Tanpa bermaksud mereduksi ragam peristiwa tersebut, sebagai evaluasi saya akan memberi empat catatan khusus bidang komunikasi politik di tahun 2018 ini.
Pertama, di tahun 2018 ini nampak muncul dan menguatnya fenomena heteronomi komunikasi sejak dimulainya masa kampanye Pemilu 2019. Hal ini ditandai dengan banyaknya orang melakukan persuasi ke basis pemilih dengan ragam cara. Mulai dari cara yang dibenarkan oleh undang-undang dan aturan main yang berlaku, hingga cara-cara yang secara substantif melanggar, tetapi dibungkus dengan rapih penuh kamuflase sehingga sulit dijerat UU dan peraturan.
Misalnya membagikan sembako dan varian jenis vote buying lainnya tapi disamarkan dengan ragam istilah yang menjadi pembenarnya. Mengelola akun-akun anonim dan memelihara pasukan siber (cyber troops) di dunia maya. Memproduksi dan mereproduksi serta mendistribusikan hoaks, fitnah, fakenews dan ujaran kebencian (hate speech). Tujuan utamanya melegitimasi kandidat yang diusungnya dan mendelegitimasi lawan entah capres/cawapres maupun caleg-caleg di dapil. Dunia maya penuh hasutan, cercaaan, makian dan kebohongan!
Heteronomi adalah sikap seseorang dalam bertindak dengan hanya sekadar mengikuti atural moral yang bersifat eksternal. Secara konseptual, konsep ini dikenalkan oleh filosof Jerman abad ke-18 Immanuel Kant. Immanuel Kant menjelaskan secara fundamental antara prinsip otonomi kehendak dengan heteronomi kehendak.Prinsip otonomi kehendak merupakan prinsip moralitas tertinggi (the highest morality). Otonomi kehendak ini bersumber dari kesadaran internal seseorang untuk manaati norma moral atas kesadarannya sendiri. Sementara prinsip heteronomi kehendak adalah sumber moral palsu. Artinya kesadarannya bukan bersifat internal dalam diri seseorang, tetapi karena ada aturan yang mengharuskan.
Dalam berkomunikasi, orang yang mengalami heteronomi hanya akan sekedar menghindarkan dirinya untuk tidak melanggar aturan formal, tetapi kerap mengabaikan moralitas. Fenomena itu, hampir setiap saat kita temukan di lini masa media sosial, mimbar-mimbar ceramah, grup-grup perbincangan warga, bahkan bibit-bibit kebencian pun disemai di lembaga-lembaga pendidikan.
Tentu, hal ini harus mendapat catatan serius dari semua elemen bangsa. Penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu harus serius menegakkan aturan main, polisi fokus dan tidak memihak dalam menegakkan hukum, media jangan menolerir berita palsu, hoaks dan ujaran kebencian menjadi isi pemberitaan, kampus dan sekolah turut menjaga keajegan nalar, dan komponen warga lainnya mau bersama-sama saling mengingatkan.
Kedua, di tingkat elite narasi yang dikonstruksi sepanjang 2018 juga lebih banyak agresivitas verbal dibanding dialektika dan argumentasi. Dalam perspektif komunikasi politik, dapat dibedakan antara argumentatif dan verbal agresif. Dominic Ifanta dalam tulisannya Argumentativeness and Verbal Aggressiveness (1996) membedakan keduanya. Argumentasi selalu bersandar pada alasan, nalar, logika berfikir, dan tautan data atau fakta yang bisa menjadi penguatnya.
Sementara agresivitas verbal menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri orang lain. Saling sindir dengan diksi Sontoloyo, Genderuwo, tampang Boyolali, Indonesia akan punah jika Prabowo-Sandi kalah, dan masih banyak lagi pilihan diksi yang diproduksi elite yang tidak berorientasi pada pertarungan program dan gagasan melainkan pada aspek emosionalitas.
Ketiga, hal lain yang perlu dievaluasi adalah komunikasi politik dalam proses kandidasi di Pilkada serentak. Sebagai komparasi, di Pilkada serentak 2015 hanya ada tiga paslon tunggal. Di Pilkada serentak 2017, jumlah paslon tunggal naik menjadi 9. Di pilkada serentak 2018, paslon tunggal naik lagi menjadi 12 daerah. Kalau melihat pola ini, maka paslon tunggal ini akan memiliki efek domino pada pilkada serentak di masa mendatang.
Hal ini, bisa melemahkan pelembagaan politik di tubuh partai. Pola borongan partai oleh petahana dalam kandidasi, akan menyebabkan mandegnya proses kaderisasi terutama upaya partai dalam distribusi dan alokasi kader terbaiknya untuk berkompetisi di Pilkada.Kondisi ini, diperparah dengan model kepartaian kita yang masih bergantung kuat pada pemimpinnya. Kritik Thomas Carothers, dalam tulisannya di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace(2006), Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies misalnya, mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric yang didominasi oleh suatu lingkaran kecil elit politisi.Komunikasi politik tidak bersifat demokratis melainkan menguatkan pola feodal, oligarkidan trasaksional. Ke depan partai harus lebih mampu mendinamisasi komunikasi politik dalam proses kandidasi, sehingga partai masih bisa menyisakan harapan untuk publik mau berpartisipasi dalam proses sirkulasi pemimpin. Pemilu juga harus mampu menghadirkan harapan di masyarakat. Jika tidak, maka semakin lama pemilu dan pilkada akan semakin sepi dari partisipasi warga di TPS.
Keempat, evaluasi komunikasi pemerintah, hingga saat ini masih belum optimal. Penulis hampir setiap tahun selalu mengingatkan pentingnya narasi tunggal pemerintah itu terkelola dengan baik. Presiden Jokowi pernah mengeluarkan Inpres No.9 tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik, yang ditandatangani pada 25 Juni 2015.Tetapi dalam praktik, narasi tunggal pemerintah kerap berantakan akibat tidak bekerja optimalnya pranata komunikasi yang dimiliki dan dioperasionalkan kementerian, lembaga, dan pemerintahan daerah. Termasuk juga komunikasi istana dalam hal ini Tim Komunikasi Presiden (TKP) dan Kantor Staf Presiden yang belum terkordinasikan dengan baik dalam membangun narasi presiden yang resmi, memberi arahan dan presidensial.
Tantangan 2019
Tahun depan, penuh tantangan. Politik nasional kita akan mencapai titik didihnya. Peristiwa komunikasi akan dimulai dengan debat-debat capres dan cawapres yang dimulai pada 17 Januari 2019. Tentu, seluruh kanal warga akan terpapar dengan perdebatan para capres dan cawapres. Hal ini, akan membentuk polarisasi yang semakin tajam terutama antar pendukung masing-masing. Menurut perspektif Social Judgement Theory dari Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif dalam bukunya Griffin, A First Look at Communication Theory (2012), bahwa seseorang mempertimbangkan isu atau objek yang memersuasinya itu berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) mereka. Orang yang sudah memiliki kerangka rujukan masing-masing akan sulit menerima persuasi pihak lain dan cenderung menguatkan, menjustifikasi apa yang sudah ada di persepsinya itu.
Jika kurang bijak, kita punya potensi mengalami hambatan komunikasi. Misalnya melakukan provokasi, gampang terlibat dalam “mental kerumunan” untuk memberi dukungan pada kandidat yang diinginkan dan mengabaikan keberadaan orang lain yang memiliki pilihan berbeda. Simpul yang bisa mengurai benang kusut problem perbedaan pandangan dalam politik itu tentu saja salah satunya adalah cara mengelola komunikasi.
Hakikat berkomunikasi itu menciptakan kesepahaman bersama (mutual understanding). Berkomunikasi yang mengembangkan etika, menghormati hukum, sensitif dengan situasi, mengembangkan rasa hormat dan tetap menjaga nalar dalam menyebarkan pesan menjadi penting di situasi yang kerap diwarnai guncangan. Ada hal yang lebih penting dari sekedar pemilu lima tahunan yakni persatuan Indonesia.
(whb)