Mewaspadai Politik Identitas di Pilpres 2019
A
A
A
Wawan Sanita
Pemerhati Politik dan Hukum
DEMOKRASI merupakan suatu pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam keputusan diambil oleh mereka yang diberi wewenang. Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi adalah pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) terdiri dari pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres) secara langsung.
Pelaksanaan pemilu harus tunduk pada ketentuan konstitusi sebagai upaya mewujudkan demokrasi konstitusional dalam memilih pemimpin, baik level nasional maupun daerah. Sebagai sebuah mekanisme, pemilu diharapkan dapat dilaksanakan secara bebas dan setara (free and fair). Namun, dalam pelaksanaannya di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Terjadi perdebatan soal politisasi suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) serta meningkatnya suasana sektarian di berbagai media sosial yang kini menjadi sarana komunikasi mudah dan massal.
Bagaimana politik identitas dengan menggunakan SARA sebagai isu dapat dilihat di Pilkada DKI Jakarta 2017. Dari 101 pilkada serentak se-Indonesia pada 2017, Pilkada DKI Jakarta mendominasi pemberitaan dan menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan, riak-riak sosial politik yang ditimbulkan masih dirasakan hingga kini dengan mengemukanya berbagai keprihatinan atas menguatnya sentimen SARA yang dapat mengoyak sendi-sendi persatuan nasional.
DKI Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan sekaligus pusat ekonomi dan kebudayaan menjadi tonggak penting dalam demokrasi Indonesia. Jakarta telah menarik perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia dalam hal politik, hukum, dan ekonomi. Jakarta sebagai ibu kota negara juga merupakan barometer bagi bangsa Indonesia sekaligus miniatur Indonesia sehingga memiliki tantangan besar memelihara keharmonisan dan kerukunan antarumat beragama di tengah-tengah warganya yang multietnis dan beragam latar belakang.
Pilkada DKI Jakarta 2017 dianggap sebagai babak awal perebutan kekuasaan yang sejatinya akan dilakukan pada 2019. Karena DKI Jakarta merupakan titik kunci dalam konstelasi politik nasional serta keterlibatan seluruh instrumen politik nasional dalam dinamikanya. Jakarta sebagai home town politik nasional menjadi daya tarik elite politik nasional untuk turut serta dalam manuver politik.
Pilkada DKI Jakarta telah menjadi ajang pertarungan hebat ideologi nasionalis versus religius dan ajang pertarungan antarkoalisi parpol besar, menyita banyak perhatian publik nasional dan internasional. Pilkada DKI Jakarta menjadi pilkada paling mahal karena gejolak politik yang terjadi di dalamnya mengarah pada perpecahan bangsa.
Pilkada DKI Jakarta menarik perhatian, bersuhu tinggi, dan jadi tolok ukur guna meraih panggung politik di Pileg 2019. Sosok Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai gubernur petahana, di satu sisi dianggap sebagai public darling dan di sisi lain dianggap sebagai public enemy, karena beberapa aksinya menuai pro kontra.
Akibatnya, beberapa elite parpol berusaha agar Ahok tidak terpilih kembali. Parpol memiliki kepentingan besar terhadap hasil Pilkada DKI 2017 untuk memperoleh dukungan suara pada Pilpres 2019. Hingga saat ini kasus penistaan agama masih terasa dampaknya, opini masyarakat terpecah sangat tampak pada sesama kaum muslim yang berbeda pandangan dalam menyikapi kasus tersebut.
Bawaslu DKI Jakarta menangani sejumlah kasus berbau SARA, di antaranya pemasangan spanduk yang berisi imbauan jangan pilih pemimpin nonmuslim, kasus di Kepulauan Seribu (penyebutan Surat Al-Maidah 51 dalam pidato Gubernur Ahok), saat itu Ahok belum jadi peserta pemilu dan belum mendaftarkan diri sebagai calon di KPU.
Pilkada DKI Jakarta yang sudah usai dan menghasilkan pemimpin baru dapat diduplikasi oleh kelompok tertentu guna meraih kemenangan pada Pilpres 2019 sehingga berbagai aktivitas lanjutan sebagai serial penggalangan massa pada Pilkada DKI Jakarta terus berlanjut menjelang Pilpres 2019.
Kerawanan sosial merupakan konsekuensi logis pada Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai pusat pertarungan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Selain itu, harapan besar masyarakat melekat pada pasangan calon untuk perbaikan di berbagai aspek sosial guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka Pilkada DKI Jakarta menjadi strategis secara nasional, baik dari sisi ekonomi, politik maupun sosial-budaya.
Antisipasi di Pilpres 2019
Pilkada DKI Jakarta 2017 cukup menguras energi bangsa, walaupun bersifat lokal, tetapi efek ditimbulkan hingga ke berbagai penjuru negeri karena isu SARA yang berkembang, totalitas pertarungan politik elite parpol yang dinilai berbiaya cukup tinggi dianggap menjadi pertarungan untuk melancarkan agenda sesungguhnya, yaitu Pilpres 2019.
Ancaman politik identitas dengan isu SARA diperkirakan akan menjadi permasalahan utama pada bidang politik, hukum, dan keamanan (polhukam). Karena itu, pemerintah dan lembaga negara harus bebas dari kepentingan politik praktis. Aparat keamanan dan lembaga lainnya agar tetap profesional, kompak, dan berorientasi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penanganan yang serius terhadap tahun politik 2018 dan 2019 yang akan dihadapi Indonesia perlu dilakukan agar isu SARA dalam berpolitik dapat dicegah sejak dini. Kesadaran masyarakat menggunakan cara-cara yang beretika dan mengedepankan prinsip kebangsaan berorientasi pada eksistensi NKRI harus dipupuk agar mengakar kuat, Pilkada DKI Jakarta menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia.
Isu SARA yang muncul sangat kuat menciptakan polarisasi di masyarakat, tenun kebinekaan yang terajut kuat menjadi renggang bahkan terkoyak oleh pisau provokasi berbungkus SARA. Walaupun pilkada telah selesai, namun rajutan yang telah koyak itu akan sulit dieratkan kembali tanpa kepercayaan dari semua pihak. Kemajuan teknologi memudahkan orang saling bertukar informasi namun juga memudahkan orang melakukan hal negatif. Pilkada DKI Jakarta menjadi contoh situasi yang tidak kondusif, panas, dan terpolarisasi.
Untuk menyukseskan Pemilu 2019, penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu seyogianya tetap profesional dan tidak terpengaruh tekanan dari pihak manapun, merangkul tokoh masyarakat, tokoh budaya, tokoh agama, dan pemimpin lokal agar saling bekerja sama menjaga Jakarta tetap damai.
Secara politik, masyarakat yang terpecah menjadi beberapa kubu perlu disadarkan dan diciptakan rasa nasionalisme yang kuat untuk mengantisipasi politik adu domba. Pemerintah harus bersikap netral dan mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu 2019 melalui koordinasi dengan penyelenggara pemilu, aparat keamanan, dan pihak terkait lainnya.
Pemerhati Politik dan Hukum
DEMOKRASI merupakan suatu pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam keputusan diambil oleh mereka yang diberi wewenang. Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi adalah pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) terdiri dari pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres) secara langsung.
Pelaksanaan pemilu harus tunduk pada ketentuan konstitusi sebagai upaya mewujudkan demokrasi konstitusional dalam memilih pemimpin, baik level nasional maupun daerah. Sebagai sebuah mekanisme, pemilu diharapkan dapat dilaksanakan secara bebas dan setara (free and fair). Namun, dalam pelaksanaannya di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Terjadi perdebatan soal politisasi suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) serta meningkatnya suasana sektarian di berbagai media sosial yang kini menjadi sarana komunikasi mudah dan massal.
Bagaimana politik identitas dengan menggunakan SARA sebagai isu dapat dilihat di Pilkada DKI Jakarta 2017. Dari 101 pilkada serentak se-Indonesia pada 2017, Pilkada DKI Jakarta mendominasi pemberitaan dan menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan, riak-riak sosial politik yang ditimbulkan masih dirasakan hingga kini dengan mengemukanya berbagai keprihatinan atas menguatnya sentimen SARA yang dapat mengoyak sendi-sendi persatuan nasional.
DKI Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan sekaligus pusat ekonomi dan kebudayaan menjadi tonggak penting dalam demokrasi Indonesia. Jakarta telah menarik perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia dalam hal politik, hukum, dan ekonomi. Jakarta sebagai ibu kota negara juga merupakan barometer bagi bangsa Indonesia sekaligus miniatur Indonesia sehingga memiliki tantangan besar memelihara keharmonisan dan kerukunan antarumat beragama di tengah-tengah warganya yang multietnis dan beragam latar belakang.
Pilkada DKI Jakarta 2017 dianggap sebagai babak awal perebutan kekuasaan yang sejatinya akan dilakukan pada 2019. Karena DKI Jakarta merupakan titik kunci dalam konstelasi politik nasional serta keterlibatan seluruh instrumen politik nasional dalam dinamikanya. Jakarta sebagai home town politik nasional menjadi daya tarik elite politik nasional untuk turut serta dalam manuver politik.
Pilkada DKI Jakarta telah menjadi ajang pertarungan hebat ideologi nasionalis versus religius dan ajang pertarungan antarkoalisi parpol besar, menyita banyak perhatian publik nasional dan internasional. Pilkada DKI Jakarta menjadi pilkada paling mahal karena gejolak politik yang terjadi di dalamnya mengarah pada perpecahan bangsa.
Pilkada DKI Jakarta menarik perhatian, bersuhu tinggi, dan jadi tolok ukur guna meraih panggung politik di Pileg 2019. Sosok Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai gubernur petahana, di satu sisi dianggap sebagai public darling dan di sisi lain dianggap sebagai public enemy, karena beberapa aksinya menuai pro kontra.
Akibatnya, beberapa elite parpol berusaha agar Ahok tidak terpilih kembali. Parpol memiliki kepentingan besar terhadap hasil Pilkada DKI 2017 untuk memperoleh dukungan suara pada Pilpres 2019. Hingga saat ini kasus penistaan agama masih terasa dampaknya, opini masyarakat terpecah sangat tampak pada sesama kaum muslim yang berbeda pandangan dalam menyikapi kasus tersebut.
Bawaslu DKI Jakarta menangani sejumlah kasus berbau SARA, di antaranya pemasangan spanduk yang berisi imbauan jangan pilih pemimpin nonmuslim, kasus di Kepulauan Seribu (penyebutan Surat Al-Maidah 51 dalam pidato Gubernur Ahok), saat itu Ahok belum jadi peserta pemilu dan belum mendaftarkan diri sebagai calon di KPU.
Pilkada DKI Jakarta yang sudah usai dan menghasilkan pemimpin baru dapat diduplikasi oleh kelompok tertentu guna meraih kemenangan pada Pilpres 2019 sehingga berbagai aktivitas lanjutan sebagai serial penggalangan massa pada Pilkada DKI Jakarta terus berlanjut menjelang Pilpres 2019.
Kerawanan sosial merupakan konsekuensi logis pada Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai pusat pertarungan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Selain itu, harapan besar masyarakat melekat pada pasangan calon untuk perbaikan di berbagai aspek sosial guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka Pilkada DKI Jakarta menjadi strategis secara nasional, baik dari sisi ekonomi, politik maupun sosial-budaya.
Antisipasi di Pilpres 2019
Pilkada DKI Jakarta 2017 cukup menguras energi bangsa, walaupun bersifat lokal, tetapi efek ditimbulkan hingga ke berbagai penjuru negeri karena isu SARA yang berkembang, totalitas pertarungan politik elite parpol yang dinilai berbiaya cukup tinggi dianggap menjadi pertarungan untuk melancarkan agenda sesungguhnya, yaitu Pilpres 2019.
Ancaman politik identitas dengan isu SARA diperkirakan akan menjadi permasalahan utama pada bidang politik, hukum, dan keamanan (polhukam). Karena itu, pemerintah dan lembaga negara harus bebas dari kepentingan politik praktis. Aparat keamanan dan lembaga lainnya agar tetap profesional, kompak, dan berorientasi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penanganan yang serius terhadap tahun politik 2018 dan 2019 yang akan dihadapi Indonesia perlu dilakukan agar isu SARA dalam berpolitik dapat dicegah sejak dini. Kesadaran masyarakat menggunakan cara-cara yang beretika dan mengedepankan prinsip kebangsaan berorientasi pada eksistensi NKRI harus dipupuk agar mengakar kuat, Pilkada DKI Jakarta menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia.
Isu SARA yang muncul sangat kuat menciptakan polarisasi di masyarakat, tenun kebinekaan yang terajut kuat menjadi renggang bahkan terkoyak oleh pisau provokasi berbungkus SARA. Walaupun pilkada telah selesai, namun rajutan yang telah koyak itu akan sulit dieratkan kembali tanpa kepercayaan dari semua pihak. Kemajuan teknologi memudahkan orang saling bertukar informasi namun juga memudahkan orang melakukan hal negatif. Pilkada DKI Jakarta menjadi contoh situasi yang tidak kondusif, panas, dan terpolarisasi.
Untuk menyukseskan Pemilu 2019, penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu seyogianya tetap profesional dan tidak terpengaruh tekanan dari pihak manapun, merangkul tokoh masyarakat, tokoh budaya, tokoh agama, dan pemimpin lokal agar saling bekerja sama menjaga Jakarta tetap damai.
Secara politik, masyarakat yang terpecah menjadi beberapa kubu perlu disadarkan dan diciptakan rasa nasionalisme yang kuat untuk mengantisipasi politik adu domba. Pemerintah harus bersikap netral dan mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu 2019 melalui koordinasi dengan penyelenggara pemilu, aparat keamanan, dan pihak terkait lainnya.
(maf)