Catatan Akhir Tahun Seputar Fintech
A
A
A
Ahmad IskandarDosen FE di Universitas Ibnu Chaldun
MESKIPUN masih berusia seumur jagung, industri financial technology (fintech) di Tanah Air sudah banyak diwarnai kehebohan dan kekhawatiran. Mulai dari isu beroperasinya ratusan fintech bodong sampai dengan fenomena adanya 1.330 korban pinjaman online yang mengadu ke LBH berasal dari 25 provinsi di Indonesia.
Munculnya pelbagai berita tidak sedap tersebut bisa jadi hanya ekses dari banyaknya inovasi dalam dunia fintech dalam negeri dan kondisi tersebut kebetulan berkembang lebih jauh ke arah tidak diinginkan.Sebagaimana diketahui, pesatnya perkembangan fintech di seluruh dunia telah menimbulkan gelombang perubahan gaya hidup nasabah industri keuangan, menciptakan tren tersendiri dalam teknologi digital, menimbulkan evolusi sektor jasa keuangan dan berubahnya kondisi inklusi keuangan Indonesia, menciptakan perubahan pasar keuangan Indonesia, serta melahirkan respons regulator terhadap keberadaan fintech.
Seksi Harus diakui fintech adalah industri seksi dan menjanjikan prospek cerah di masa mendatang. Fintech sendiri merupakan pemanfaatan perkembangan teknologi informasi untuk meningkatkan layanan di industri keuangan. Atau bisa disebut pula sebagai variasi model bisnis dan perkembangan teknologi yang memiliki potensi untuk meningkatkan industri layanan keuangan.Dalam bidang pembayaran, pengaruh fintech telah mengubah sistem pembayaran ke sistem digital. Sejarah sistem pembayaran yang digunakan manusia berkembang terus mulai dari ketika manusia masih menggunakan sistem perdagangan barter, alat pembayaran dengan komoditi, uang kartal (logam), uang kertas, uang kartu (kartu kredit atau debet), dan terakhir alat pembayaran menggunakan medium digital lewat telepon seluler.
Seorang teman penulis bercerita ketika berkunjung ke China beberapa bulan lalu, saat makan di restoran ia menyaksikan sebagian besar masyarakat di sana sudah tidak membawa uang lagi untuk membayar. Cukup mereka menggunakan barcode yang ada di ponsel sebagai alat bayarnya. Sungguh simpel dan praktis. Itulah hasil positif dari fintech.
Perkembangan Sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat aturan soal peer to peer (P2P) lending , industri fintech mengalami perkembangan sangat pesat. Perkembangan teknologi dan kemudahan yang diberikan menjadi alasan banyak masyarakat menggunakan jasa perusahaan startup keuangan ini.Namun, seiring perkembangan tersebut, isu-isu negatif mulai banyak bermunculan dan mengancam keberadaan industri ini. Mulai dari fenomena bunga mahal, sistem penagihan menerapkan bentuk teror, penipuan hingga pencurian, dan penggunaan data nasabah sampai beroperasinya fintech yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang jumlahnya 400-an.Hal yang sangat kasatmata di era fintech adalah kanal pinjaman semakin banyak tersedia. Bila dahulu, orang hanya mengenal bank, lembaga pembiayaan (multifinance ), atau koperasi, maka di era sekarang masyarakat mengenal peer to peer lending, fintech lender , fintech aggregator , sampai rentenir online. Singkat kata, mengakses pinjaman zaman fintech menjadi semakin mudah.
Meski menawarkan berbagai kemudahan mulai dari tidak mengharuskan calon nasabah untuk datang ke kantor atau tidak perlu agunan, masyarakat harus cermat dalam meminjam uang melalui jasa fintech. Karena saat ini hanya ada 78 fintech yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, sisanya ratusan perusahaan statusnya ilegal atau tidak terdaftar.
Kemudahan memperoleh pinjaman ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, mudahnya mengakses pinjaman akan menguntungkan bagi masyarakat yang memang sangat membutuhkan proses cepat. Namun di sisi lain, kemudahan ini bisa berakibat seseorang terjebak utang apabila dalam prosesnya kurang berhati-hati mencari pinjaman yang baik. Ini perlu kehati-hatian dampak negatif kehadiran rentenir online. Kehadiran rentenir online mudah dikenali ciri-cirinya.
Pertama, mengenakan bunga supertinggi. Biasanya bunga yang dipatok di luar batas kewajaran. Misalnya, 1 % per hari dan bahkan ada yang mematok 1% tiap 12 jam. Keberanian mereka memasang bunga supertinggi terkait persyaratan yang mereka tetapkan sangat mudah dan pencairan sangat cepat. Mereka tidak dibatasi regulator seperti Bank Indonesia atau OJK karena mereka perusahaan fintech ilegal (bodong).Kedua, cair cepat dan syaratnya mudah. Kalau bank menerapkan syarat ketat mulai dari kejelasan identitas, sejarah rekam jejak kredit, sampai syarat agunan, maka rentenir online syaratnya sangat mudah. Cukup fotokopi identitas dan foto diri langsung duit pinjaman cair.
Ketiga, aturan bunga semena-mena. Ketika peminjam gagal membayar pinjaman misalnya sampai tiga bulan, sang rentenir bisa saja mewajibkan peminjam membayar bunga berlipat-lipat. Semakin lama menunda pembayaran, si peminjam dipaksa menanggung bunga sangat besar.
Keempat, rentenir tidak segan pakai cara kasar. Saat pembayaran utang mulai macet, sang rentenir tidak segan berbuat kasar saat menagih pembayaran utang. Rentenir online memakai jasa debt collector agar si peminjam takut sehingga mau tidak mau akan membayar utangnya.
Regulasi OJK
Terkait perkembangan negatif tersebut, OJK mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan sebagai ketentuan yang memayungi pengawasan dan pengaturan industri fintech. Peraturan ini dibuat agar industri keuangan digital memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Inovasi keuangan digital perlu diarahkan agar menghasilkan inovasi keuangan digital yang bertanggung jawab, aman, mengedepankan perlindungan konsumen dan memiliki risiko yang terkelola dengan baik.Peraturan ini juga dikeluarkan sebagai upaya mendukung pelayanan jasa keuangan yang inovatif, cepat, murah, mudah, dan luas serta untuk meningkatkan inklusi keuangan, investasi, pembiayaan, serta layanan jasa keuangan lainnya. Di sini penulis gariskan produk fintech itu harus cepat, mudah, luas, dan juga murah. Jadi tidak ada yang pakai bunga tinggi.
MESKIPUN masih berusia seumur jagung, industri financial technology (fintech) di Tanah Air sudah banyak diwarnai kehebohan dan kekhawatiran. Mulai dari isu beroperasinya ratusan fintech bodong sampai dengan fenomena adanya 1.330 korban pinjaman online yang mengadu ke LBH berasal dari 25 provinsi di Indonesia.
Munculnya pelbagai berita tidak sedap tersebut bisa jadi hanya ekses dari banyaknya inovasi dalam dunia fintech dalam negeri dan kondisi tersebut kebetulan berkembang lebih jauh ke arah tidak diinginkan.Sebagaimana diketahui, pesatnya perkembangan fintech di seluruh dunia telah menimbulkan gelombang perubahan gaya hidup nasabah industri keuangan, menciptakan tren tersendiri dalam teknologi digital, menimbulkan evolusi sektor jasa keuangan dan berubahnya kondisi inklusi keuangan Indonesia, menciptakan perubahan pasar keuangan Indonesia, serta melahirkan respons regulator terhadap keberadaan fintech.
Seksi Harus diakui fintech adalah industri seksi dan menjanjikan prospek cerah di masa mendatang. Fintech sendiri merupakan pemanfaatan perkembangan teknologi informasi untuk meningkatkan layanan di industri keuangan. Atau bisa disebut pula sebagai variasi model bisnis dan perkembangan teknologi yang memiliki potensi untuk meningkatkan industri layanan keuangan.Dalam bidang pembayaran, pengaruh fintech telah mengubah sistem pembayaran ke sistem digital. Sejarah sistem pembayaran yang digunakan manusia berkembang terus mulai dari ketika manusia masih menggunakan sistem perdagangan barter, alat pembayaran dengan komoditi, uang kartal (logam), uang kertas, uang kartu (kartu kredit atau debet), dan terakhir alat pembayaran menggunakan medium digital lewat telepon seluler.
Seorang teman penulis bercerita ketika berkunjung ke China beberapa bulan lalu, saat makan di restoran ia menyaksikan sebagian besar masyarakat di sana sudah tidak membawa uang lagi untuk membayar. Cukup mereka menggunakan barcode yang ada di ponsel sebagai alat bayarnya. Sungguh simpel dan praktis. Itulah hasil positif dari fintech.
Perkembangan Sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat aturan soal peer to peer (P2P) lending , industri fintech mengalami perkembangan sangat pesat. Perkembangan teknologi dan kemudahan yang diberikan menjadi alasan banyak masyarakat menggunakan jasa perusahaan startup keuangan ini.Namun, seiring perkembangan tersebut, isu-isu negatif mulai banyak bermunculan dan mengancam keberadaan industri ini. Mulai dari fenomena bunga mahal, sistem penagihan menerapkan bentuk teror, penipuan hingga pencurian, dan penggunaan data nasabah sampai beroperasinya fintech yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang jumlahnya 400-an.Hal yang sangat kasatmata di era fintech adalah kanal pinjaman semakin banyak tersedia. Bila dahulu, orang hanya mengenal bank, lembaga pembiayaan (multifinance ), atau koperasi, maka di era sekarang masyarakat mengenal peer to peer lending, fintech lender , fintech aggregator , sampai rentenir online. Singkat kata, mengakses pinjaman zaman fintech menjadi semakin mudah.
Meski menawarkan berbagai kemudahan mulai dari tidak mengharuskan calon nasabah untuk datang ke kantor atau tidak perlu agunan, masyarakat harus cermat dalam meminjam uang melalui jasa fintech. Karena saat ini hanya ada 78 fintech yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, sisanya ratusan perusahaan statusnya ilegal atau tidak terdaftar.
Kemudahan memperoleh pinjaman ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, mudahnya mengakses pinjaman akan menguntungkan bagi masyarakat yang memang sangat membutuhkan proses cepat. Namun di sisi lain, kemudahan ini bisa berakibat seseorang terjebak utang apabila dalam prosesnya kurang berhati-hati mencari pinjaman yang baik. Ini perlu kehati-hatian dampak negatif kehadiran rentenir online. Kehadiran rentenir online mudah dikenali ciri-cirinya.
Pertama, mengenakan bunga supertinggi. Biasanya bunga yang dipatok di luar batas kewajaran. Misalnya, 1 % per hari dan bahkan ada yang mematok 1% tiap 12 jam. Keberanian mereka memasang bunga supertinggi terkait persyaratan yang mereka tetapkan sangat mudah dan pencairan sangat cepat. Mereka tidak dibatasi regulator seperti Bank Indonesia atau OJK karena mereka perusahaan fintech ilegal (bodong).Kedua, cair cepat dan syaratnya mudah. Kalau bank menerapkan syarat ketat mulai dari kejelasan identitas, sejarah rekam jejak kredit, sampai syarat agunan, maka rentenir online syaratnya sangat mudah. Cukup fotokopi identitas dan foto diri langsung duit pinjaman cair.
Ketiga, aturan bunga semena-mena. Ketika peminjam gagal membayar pinjaman misalnya sampai tiga bulan, sang rentenir bisa saja mewajibkan peminjam membayar bunga berlipat-lipat. Semakin lama menunda pembayaran, si peminjam dipaksa menanggung bunga sangat besar.
Keempat, rentenir tidak segan pakai cara kasar. Saat pembayaran utang mulai macet, sang rentenir tidak segan berbuat kasar saat menagih pembayaran utang. Rentenir online memakai jasa debt collector agar si peminjam takut sehingga mau tidak mau akan membayar utangnya.
Regulasi OJK
Terkait perkembangan negatif tersebut, OJK mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan sebagai ketentuan yang memayungi pengawasan dan pengaturan industri fintech. Peraturan ini dibuat agar industri keuangan digital memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Inovasi keuangan digital perlu diarahkan agar menghasilkan inovasi keuangan digital yang bertanggung jawab, aman, mengedepankan perlindungan konsumen dan memiliki risiko yang terkelola dengan baik.Peraturan ini juga dikeluarkan sebagai upaya mendukung pelayanan jasa keuangan yang inovatif, cepat, murah, mudah, dan luas serta untuk meningkatkan inklusi keuangan, investasi, pembiayaan, serta layanan jasa keuangan lainnya. Di sini penulis gariskan produk fintech itu harus cepat, mudah, luas, dan juga murah. Jadi tidak ada yang pakai bunga tinggi.
(mhd)