Kesejukan Bernegara Hukum
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Hukum UGM
"DON'T grieve. Anything you lose comes round in another form." (Jangan bersedih. Segala sesuatu yang hilang darimu akan datang kembali dalam bentuk yang lain). Itulah kata bijak bernada optimistis dari Jalaluddin Rumi, penyair kesohor yang syair-syairnya menyejukkan kehidupan bersama.
Suasana sejuk di negara ini telah hilang. Padahal, kesejukan menjadi dambaan setiap komponen bangsa. Dalam kesejukan, aktivitas kehidupan dapat dijalankan dengan lancar dan produktif. Tenaga dapat dihemat. Pikiran dapat ditajamkan. Kreativitas dapat dimaksimalkan. Kebersamaan dalam persatuan dapat digalang. Muaranya diperoleh progresivitas kehidupan yang ditandai dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan.
Dalam pandangan saya, kesejukan bernegara hukum di Indonesia dapat dikembalikan lagi bila pada setiap komponen bangsa ada kesungguhan menebar benih-benih kesejukan, dimulai dari keluarga. Keluarga itu tak ubahnya persatuan antara manusia dengan pantai, ombak, angin, buih, dan pasir di laut.
Keluarga merupakan embrio lahirnya negara. Di situlah mulai ada kehidupan bersama. Bapak, ibu, anak, berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam posisi dan peran masing-masing, semua anggota keluarga berusaha memberikan yang terbaik kepada lainnya. Kebutuhan-kebutuhan material maupun spiritual dikelola bersama. Hukum keluarga; yang di dalamnya terkandung: kepercayaan, penghormatan, pengakuan, perlindungan dan kasih sayang; dijadikan basis kehidupan bersama demi terwujudnya suasana kehidupan yang sejuk, rukun, damai.
Peran orang tua dalam keluarga sangat sentral. Orang tua wajib memberi keteladanan dalam sikap, ucapan, dan perilaku. Segalanya dilakukan dengan penuh kasih sayang, dihiasi kejujuran, keramahan, sopan santun, dan keikhlasan. Anak-anak akan mengaktualisasikan keteladanan orang tua itu pada kehidupan nyata, ketika bergaul dengan orang lain.
Tak kurang pentingnya, orang tua wajib membentengi keluarga dari panasnya suhu politik, maraknya kejahatan, hadirnya kepalsuan. Maknanya, semua anggota keluarga jangan dibiarkan tersentuh politik praktis yang cenderung panas, kotor, dan menjijikkan. Berita-berita hoaks, perilaku kasar, bualan para tokoh, sebagaimana tampak dari tayangan televisi, perlu dibuang jauh-jauh. Tergolong sikap bijak, ketika seluruh anggota keluarga sepakat tidak menonton tayangan debat kusir persoalan politik praktis, pamer kemewahan, dan arogansi kekuasaan. Masih ada; walaupun minimal; tayangan televisi yang sehat sebagai tontonan maupun tuntunan. Waktu-waktu luang sebaiknya digunakan untuk bekerja, menajamkan kreativitas, dan memupuk kesejukan suasana. Anggota keluarga perlu dibebaskan dari belenggu ponsel, keasyikan ber-WhatsApp ria dan berswafoto.
Ditukikkan lebih dalam benih-benih kesejukan itu berada pada setiap jiwa manusia. Perlu diingat bahwa di samping rohaniah (jiwa), dalam diri manusia hidup juga terdapat jasmaniah (raga). Kedua unsur tersebut merupakan satu kesatuan. Bila keduanya terpisah, berakhirlah hidup manusia. Kematian, tidak lain berpisahnya jiwa dengan raganya. Jiwa akan berpindah tempat ke alam kehidupan baru (alam barzakh), sementara itu raga sebagai mayat ditinggal di dunia untuk dipersatukan kembali dengan asal-usulnya, yakni tanah (dikubur atau dikebumikan).
Ketika manusia masih hidup, semua gerak, kreativitas, dan dinamika jasmaniahnya merupakan manifestasi dari kehendak rohaniah (jiwa). Fritjof Capra (dalam The Web of Life, 1996 ) menyebut jiwa itu sebagai esensi kehidupan, baik pada sistem kehidupan organisme, sosial, maupun ekosistem. Imam Al-Ghazali (dalam Ihya’Ulumiddin , 1993) memandang jasmani (tangan, kaki, mata, dan anggota badan lainnya) sebagai tentara-tentara kalbu. Gerakan yang menjurus kepada keburukan, kerusakan, kehancuran, dan sejenisnya adalah perwujudan dari dominasi nafsu atas akal, sementara fungsi kalbu terabaikan. Sebaliknya, apabila didapati adanya kehidupan yang sejuk, tenang, damai, maka situasi demikian tidak lain sebagai cerminan keharmonisan fungsi akal dan kalbu, sekaligus kemampuan dalam pengendalian nafsu.
Uraian tentang jiwa di atas dipandang penting untuk direfleksikan ke dalam suasana sejuk dalam ranah negara hukum Indonesia. Kesejukan dapat diidentikkan dengan kehidupan harmonis, terjalinnya sinergi dan fungsi antara kalbu, akal, dan nafsu. Bila dipertanyakan, mengapa korupsi merajalela, jawaban filosofisnya karena ada masalah pada jiwa bangsa. Jiwa dikendalikan nafsu duniawi. Selanjutnya, tangan, kaki dan anggota badan lainnya digerakkan untuk korupsi, maling, menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan.
Menurut Carl von Savigny; dalam ajarannya tentang Volkgeist (jiwa bangsa), hukum pada suatu negara senantiasa dapat dilihat dari perilaku warga negara dan penyelenggara negara. Tidak lain itu karena hukum merupakan pantulan dari kondisi jiwa bangsa. Direntang lebih panjang, maraknya kejahatan atau pelanggaran hukum, tiada lain merupakan pantulan jiwa bangsanya.
Demi kesejukan bernegara hukum, jiwa bangsa perlu diobati agar kembali menjadi sehat. Pengobatan dilakukan melalui program national character building , dan direalisasikan secara konsisten, berkesinambungan. Inilah program riil yang dibutuhkan negara Indonesia saat ini. Hanya pada jiwa bangsa yang sehat akan terwujud kehidupan bernegara hukum yang sejuk, demokratis, humanis, dan etis. Wallahu a’lam.
Guru Besar Hukum UGM
"DON'T grieve. Anything you lose comes round in another form." (Jangan bersedih. Segala sesuatu yang hilang darimu akan datang kembali dalam bentuk yang lain). Itulah kata bijak bernada optimistis dari Jalaluddin Rumi, penyair kesohor yang syair-syairnya menyejukkan kehidupan bersama.
Suasana sejuk di negara ini telah hilang. Padahal, kesejukan menjadi dambaan setiap komponen bangsa. Dalam kesejukan, aktivitas kehidupan dapat dijalankan dengan lancar dan produktif. Tenaga dapat dihemat. Pikiran dapat ditajamkan. Kreativitas dapat dimaksimalkan. Kebersamaan dalam persatuan dapat digalang. Muaranya diperoleh progresivitas kehidupan yang ditandai dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan.
Dalam pandangan saya, kesejukan bernegara hukum di Indonesia dapat dikembalikan lagi bila pada setiap komponen bangsa ada kesungguhan menebar benih-benih kesejukan, dimulai dari keluarga. Keluarga itu tak ubahnya persatuan antara manusia dengan pantai, ombak, angin, buih, dan pasir di laut.
Keluarga merupakan embrio lahirnya negara. Di situlah mulai ada kehidupan bersama. Bapak, ibu, anak, berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam posisi dan peran masing-masing, semua anggota keluarga berusaha memberikan yang terbaik kepada lainnya. Kebutuhan-kebutuhan material maupun spiritual dikelola bersama. Hukum keluarga; yang di dalamnya terkandung: kepercayaan, penghormatan, pengakuan, perlindungan dan kasih sayang; dijadikan basis kehidupan bersama demi terwujudnya suasana kehidupan yang sejuk, rukun, damai.
Peran orang tua dalam keluarga sangat sentral. Orang tua wajib memberi keteladanan dalam sikap, ucapan, dan perilaku. Segalanya dilakukan dengan penuh kasih sayang, dihiasi kejujuran, keramahan, sopan santun, dan keikhlasan. Anak-anak akan mengaktualisasikan keteladanan orang tua itu pada kehidupan nyata, ketika bergaul dengan orang lain.
Tak kurang pentingnya, orang tua wajib membentengi keluarga dari panasnya suhu politik, maraknya kejahatan, hadirnya kepalsuan. Maknanya, semua anggota keluarga jangan dibiarkan tersentuh politik praktis yang cenderung panas, kotor, dan menjijikkan. Berita-berita hoaks, perilaku kasar, bualan para tokoh, sebagaimana tampak dari tayangan televisi, perlu dibuang jauh-jauh. Tergolong sikap bijak, ketika seluruh anggota keluarga sepakat tidak menonton tayangan debat kusir persoalan politik praktis, pamer kemewahan, dan arogansi kekuasaan. Masih ada; walaupun minimal; tayangan televisi yang sehat sebagai tontonan maupun tuntunan. Waktu-waktu luang sebaiknya digunakan untuk bekerja, menajamkan kreativitas, dan memupuk kesejukan suasana. Anggota keluarga perlu dibebaskan dari belenggu ponsel, keasyikan ber-WhatsApp ria dan berswafoto.
Ditukikkan lebih dalam benih-benih kesejukan itu berada pada setiap jiwa manusia. Perlu diingat bahwa di samping rohaniah (jiwa), dalam diri manusia hidup juga terdapat jasmaniah (raga). Kedua unsur tersebut merupakan satu kesatuan. Bila keduanya terpisah, berakhirlah hidup manusia. Kematian, tidak lain berpisahnya jiwa dengan raganya. Jiwa akan berpindah tempat ke alam kehidupan baru (alam barzakh), sementara itu raga sebagai mayat ditinggal di dunia untuk dipersatukan kembali dengan asal-usulnya, yakni tanah (dikubur atau dikebumikan).
Ketika manusia masih hidup, semua gerak, kreativitas, dan dinamika jasmaniahnya merupakan manifestasi dari kehendak rohaniah (jiwa). Fritjof Capra (dalam The Web of Life, 1996 ) menyebut jiwa itu sebagai esensi kehidupan, baik pada sistem kehidupan organisme, sosial, maupun ekosistem. Imam Al-Ghazali (dalam Ihya’Ulumiddin , 1993) memandang jasmani (tangan, kaki, mata, dan anggota badan lainnya) sebagai tentara-tentara kalbu. Gerakan yang menjurus kepada keburukan, kerusakan, kehancuran, dan sejenisnya adalah perwujudan dari dominasi nafsu atas akal, sementara fungsi kalbu terabaikan. Sebaliknya, apabila didapati adanya kehidupan yang sejuk, tenang, damai, maka situasi demikian tidak lain sebagai cerminan keharmonisan fungsi akal dan kalbu, sekaligus kemampuan dalam pengendalian nafsu.
Uraian tentang jiwa di atas dipandang penting untuk direfleksikan ke dalam suasana sejuk dalam ranah negara hukum Indonesia. Kesejukan dapat diidentikkan dengan kehidupan harmonis, terjalinnya sinergi dan fungsi antara kalbu, akal, dan nafsu. Bila dipertanyakan, mengapa korupsi merajalela, jawaban filosofisnya karena ada masalah pada jiwa bangsa. Jiwa dikendalikan nafsu duniawi. Selanjutnya, tangan, kaki dan anggota badan lainnya digerakkan untuk korupsi, maling, menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan.
Menurut Carl von Savigny; dalam ajarannya tentang Volkgeist (jiwa bangsa), hukum pada suatu negara senantiasa dapat dilihat dari perilaku warga negara dan penyelenggara negara. Tidak lain itu karena hukum merupakan pantulan dari kondisi jiwa bangsa. Direntang lebih panjang, maraknya kejahatan atau pelanggaran hukum, tiada lain merupakan pantulan jiwa bangsanya.
Demi kesejukan bernegara hukum, jiwa bangsa perlu diobati agar kembali menjadi sehat. Pengobatan dilakukan melalui program national character building , dan direalisasikan secara konsisten, berkesinambungan. Inilah program riil yang dibutuhkan negara Indonesia saat ini. Hanya pada jiwa bangsa yang sehat akan terwujud kehidupan bernegara hukum yang sejuk, demokratis, humanis, dan etis. Wallahu a’lam.
(wib)