Psychology of Crowds
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SEJAK dibuka lebar-lebar ruang demokrasi pasca-Orde Baru, muncul fenomena baru dalam masyarakat kita, yaitu senang melakukan demo dan berkerumun secara masif. Dengan dalih kebebasan mimbar, maka bermunculan berbagai forum diskusi, seminar, pengajian akbar, dan demonstrasi. Demonstrasi pun tidak perlu izin, cukup memberi tahu pada aparat kepolisian.
Para orator aktivis LSM, ormas, parpol, dan ulama, memiliki panggung baru yang mengantarkan mereka menjadi selebritas panggung. Popularitas mereka semakin terdongkrak dan meroket jika mampu menggandeng televisi.
Sementara itu, para pimpinan perusahaan sering dibuat bingung karena para buruh atau karyawan mudah melakukan demo dan mengajukan tuntutan kenaikan gaji yang tidak selalu rasional atau realistik dengan kondisi keuangan perusahaan.
Dalam kehidupan politik, salah satu tradisi dan ritual demokrasi adalah mengumpulkan massa untuk show off dan meraih dukungan. Berbagai kiat dilakukan politisi agar bisa menghimpun massa sebanyak mungkin, di antaranya dengan insentif hiburan berupa musik bersama artis ternama.
Tapi, di Indonesia ada pula panggung dan daya tarik lain untuk mengumpulkan massa, yaitu mimbar ceramah keagamaan dengan menghadirkan selebritas ulama atau ulama selebritas. Penceramah agama selebritas ini sesungguhnya tidak hanya khas Indonesia. Di Amerika Serikat (AS) juga terdapat tokoh-tokoh gereja yang bisa memukau pendengar ketika berorasi di atas panggung.
Fenomena kerumunan massa ini sudah lama menjadi perhatian para peminat studi psikologi sosial. Dulu di Eropa pada abad ke-19 fenomena ini mulai muncul.
Ketika lahir kota baru akibat dari pembangunan pusat-pusat industri di Inggris, Prancis, dan Italia, banyak orang desa hijrah ke kota untuk mencari pekerjaan sebagai buruh pabrik. Nasib buruh yang merasa tenaganya dieksploitasi pemilik kapital telah mendorong munculnya solidaritas dari mereka yang merasa senasib. Gerakan dan demo buruh muncul sebagai fenomena baru, satu hal tidak terjadi pada masyarakat petani Eropa.
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian, para psikolog sosial menyimpulkan bahwa sikap asli individu akan berubah ketika bergabung ke dalam kerumunan massa. Mereka cenderung bersikap emosional, mudah diprovokasi, dan ditunggangi pihak lain yang tidak dikenal.
Standar baik dan buruk menjadi kabur ketika dilakukan orang banyak. Orang yang ramai-ramai melakukan demonstrasi, bahkan ketika melakukan perusakan, mereka tidak merasa bersalah.
Maka itu, setiap ada pertandingan final sepak bola, polisi selalu berjaga-jaga. Terlebih jika yang bertanding adalah Persija lawan Persib yang masing-masing suporternya sangat fanatik.
Kerumunan massa diibaratkan jerami kering, ketika disulut api provokasi akan menimbulkan kebakaran luas hanya dalam waktu singkat. Beberapa isu yang mudah menyulut emosi massa adalah isu ketidakadilan, terlebih jika dibumbui dengan sentimen etnis dan agama.
Sekarang ini muncul fenomena baru the new psychology of crowds, yaitu kerumunan dalam dunia medsos atau virtual crowd. Mereka berkerumun dalam dunia medsos tanpa seleksi dan rambu-rambu, bebas keluar masuk, tidak saling kenal, namun bisa berbagi gagasan dan perasaan dalam topik sama, tanpa garis komando, dan tanpa figur pemimpin.
Masing-masing bebas menulis dan berkomentar apa saja yang dimaui, termasuk tulisan bernada pujian, cacian, hoaks, dan provokasi. Dari yang pernyataan jorok-jorok sampai khotbah keagamaan. Bahkan, sering diramaikan dengan foto dan gambar yang lucu-lucu dan sarkastik.
Fenomena meluasnya crowd mentality dalam dunia medsos ini cukup memprihatinkan ketika ada kelompok-kelompok radikalis dan ekstremis secara sadar memanipulasi sentimen keagamaan untuk tujuan politik.
Kalangan generasi Y dan Z yang sangat fanatik menggunakan gawai sangat rentan jadi sasaran provokasi ini. Mereka tidak terbiasa membaca teori-teori ilmu sosial dan keagamaan dengan membaca buku rujukan yang tebal, melainkan menyandarkan bacaannya pada informasi di dunia medsos yang serba singkat, instan, dan kadang dangkal serta hoaks. Mereka menjadi sasaran empuk bagi penyebaran paham yang mengarah pada pemikiran eksklusif dan radikal.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SEJAK dibuka lebar-lebar ruang demokrasi pasca-Orde Baru, muncul fenomena baru dalam masyarakat kita, yaitu senang melakukan demo dan berkerumun secara masif. Dengan dalih kebebasan mimbar, maka bermunculan berbagai forum diskusi, seminar, pengajian akbar, dan demonstrasi. Demonstrasi pun tidak perlu izin, cukup memberi tahu pada aparat kepolisian.
Para orator aktivis LSM, ormas, parpol, dan ulama, memiliki panggung baru yang mengantarkan mereka menjadi selebritas panggung. Popularitas mereka semakin terdongkrak dan meroket jika mampu menggandeng televisi.
Sementara itu, para pimpinan perusahaan sering dibuat bingung karena para buruh atau karyawan mudah melakukan demo dan mengajukan tuntutan kenaikan gaji yang tidak selalu rasional atau realistik dengan kondisi keuangan perusahaan.
Dalam kehidupan politik, salah satu tradisi dan ritual demokrasi adalah mengumpulkan massa untuk show off dan meraih dukungan. Berbagai kiat dilakukan politisi agar bisa menghimpun massa sebanyak mungkin, di antaranya dengan insentif hiburan berupa musik bersama artis ternama.
Tapi, di Indonesia ada pula panggung dan daya tarik lain untuk mengumpulkan massa, yaitu mimbar ceramah keagamaan dengan menghadirkan selebritas ulama atau ulama selebritas. Penceramah agama selebritas ini sesungguhnya tidak hanya khas Indonesia. Di Amerika Serikat (AS) juga terdapat tokoh-tokoh gereja yang bisa memukau pendengar ketika berorasi di atas panggung.
Fenomena kerumunan massa ini sudah lama menjadi perhatian para peminat studi psikologi sosial. Dulu di Eropa pada abad ke-19 fenomena ini mulai muncul.
Ketika lahir kota baru akibat dari pembangunan pusat-pusat industri di Inggris, Prancis, dan Italia, banyak orang desa hijrah ke kota untuk mencari pekerjaan sebagai buruh pabrik. Nasib buruh yang merasa tenaganya dieksploitasi pemilik kapital telah mendorong munculnya solidaritas dari mereka yang merasa senasib. Gerakan dan demo buruh muncul sebagai fenomena baru, satu hal tidak terjadi pada masyarakat petani Eropa.
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian, para psikolog sosial menyimpulkan bahwa sikap asli individu akan berubah ketika bergabung ke dalam kerumunan massa. Mereka cenderung bersikap emosional, mudah diprovokasi, dan ditunggangi pihak lain yang tidak dikenal.
Standar baik dan buruk menjadi kabur ketika dilakukan orang banyak. Orang yang ramai-ramai melakukan demonstrasi, bahkan ketika melakukan perusakan, mereka tidak merasa bersalah.
Maka itu, setiap ada pertandingan final sepak bola, polisi selalu berjaga-jaga. Terlebih jika yang bertanding adalah Persija lawan Persib yang masing-masing suporternya sangat fanatik.
Kerumunan massa diibaratkan jerami kering, ketika disulut api provokasi akan menimbulkan kebakaran luas hanya dalam waktu singkat. Beberapa isu yang mudah menyulut emosi massa adalah isu ketidakadilan, terlebih jika dibumbui dengan sentimen etnis dan agama.
Sekarang ini muncul fenomena baru the new psychology of crowds, yaitu kerumunan dalam dunia medsos atau virtual crowd. Mereka berkerumun dalam dunia medsos tanpa seleksi dan rambu-rambu, bebas keluar masuk, tidak saling kenal, namun bisa berbagi gagasan dan perasaan dalam topik sama, tanpa garis komando, dan tanpa figur pemimpin.
Masing-masing bebas menulis dan berkomentar apa saja yang dimaui, termasuk tulisan bernada pujian, cacian, hoaks, dan provokasi. Dari yang pernyataan jorok-jorok sampai khotbah keagamaan. Bahkan, sering diramaikan dengan foto dan gambar yang lucu-lucu dan sarkastik.
Fenomena meluasnya crowd mentality dalam dunia medsos ini cukup memprihatinkan ketika ada kelompok-kelompok radikalis dan ekstremis secara sadar memanipulasi sentimen keagamaan untuk tujuan politik.
Kalangan generasi Y dan Z yang sangat fanatik menggunakan gawai sangat rentan jadi sasaran provokasi ini. Mereka tidak terbiasa membaca teori-teori ilmu sosial dan keagamaan dengan membaca buku rujukan yang tebal, melainkan menyandarkan bacaannya pada informasi di dunia medsos yang serba singkat, instan, dan kadang dangkal serta hoaks. Mereka menjadi sasaran empuk bagi penyebaran paham yang mengarah pada pemikiran eksklusif dan radikal.
(poe)