Kabut Tebal Korupsi

Jum'at, 14 Desember 2018 - 07:38 WIB
Kabut Tebal Korupsi
Kabut Tebal Korupsi
A A A
Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

KABUT tebal pemberantasan korupsi tak kunjung beranjak dari negeri ini. Menjelang tutup tahun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (12/12/2018). Enam orang ditangkap termasuk Bupati Cianjur, Jawa Barat, Irvan Rivano Muchtar terkait kasus alokasi dana pendidikan. Diamankan pula Rp1,5 miliar yang dikumpulkan dari para kepala sekolah (SINDOnews.com 12/12/2018 ). Irvan merupakan kepala daerah ke-21 yang terjaring OTT KPK tahun ini.

Padahal Presiden Joko Widodo di acara pembukaan Hari Antikorupsi Sedunia di Hotel Bidakara, Jakarta (4 Desember 2018), telah menegaskan betapa pentingnya etika dan budaya dalam birokrasi serta korporasi, yakni menghargai kesederhanaan, moralitas publik, dan keadilan sosial yang dipandu keteladanan pemimpin. Ini sejatinya titik tonggak untuk melahirkan perilaku pemimpin yang hormat pada nurani dan keadilan rakyat, bukan sibuk menggelembungkan kantong-kantong kekuasaan dengan rente dan kapital haram.

Maka itu, tak mengagetkan jika hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia bersama Indonesia Corruption Watch (pada 8-24 Oktober 2018) di enam provinsi (Aceh, Sumatera Utara, Riau, Banten, Jawa Timur, dan Maluku) menunjukkan 52% responden menilai tingkat korupsi meningkat, sedangkan 21% responden menilai tingkat korupsi menurun, dan 24% responden menilai tingkat korupsi tidak mengalami perubahan.

Tidak hanya itu, kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK belakangan termasuk OTT kepala daerah yang terjadi hampir tiap minggu telah menyebabkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia versi lembaga Transparency International stagnan pada dua tahun terakhir (2016-2017) dengan skor 3,7.

Depolitisasi

Mohammad Hatta pernah mengatakan, Indonesia jangan menjadi negara kekuasaan, tetapi negara pengurus, agar tidak ada rakyat yang lapar, agar pemimpinnya lebih dekat dengan rakyat, bukan sibuk menumpuk harta. Seruan Bung Hatta tersebut sepertinya makin kehilangan vibrasi dan spiritualitas dalam ritual pentadbiran hari-hari ini. Kini para pemimpin termasuk kepala daerah lebih sibuk berkaca pada pementingan kursi kekuasaan dan kesejahteraan diri/kelompoknya sendiri ketimbang bertungkus-lumus melayani rakyat yang telah memilihnya.

Ini juga membuktikan bahwa perkembangan demokratisasi dan desentralisasi yang diharapkan bakal melahirkan keadilan serta kesejahteraan ekonomi ternyata masih sebatas harapan semu. Nyatanya, bukan pemurnian tujuan kekuasaan lewat kanalisasi kue-kue ekonomi untuk difokuskan pada kemaslahatan publik, yang terlihat vulgar saat ini justru depolitisasi (Nordholt & Klinken, 2007). Yakni, sebuah penurunan kualitas politik-pemerintahan (regulasi, tata aturan, mekanisme, dan proses politik) yang kemudian mereduksi kontrol keberpihakan kekuasaan pada urusan-urusan riil kerakyatan, karena dibelokkan fungsinya oleh mesin kekuatan politik pragmatis dan konspiratif.

Depolitisasi itu melahirkan "orang-orang kuat" yang menjadikan dirinya sebagai sentrum atas segala sistem, kekuasaan dan kapital dengan memperalat proses politik, memobilisasi rakyat pemilih yang pragmatis, termasuk mengapitalisasi proses pilkada yang sarat transaksi politik-ekonomi di "pasar gelap kekuasaan". Karena informasi bersifat asimetris, rakyat sangat sulit mengetahui praktik politik seperti apa yang dilembagakan dalam "pasar gelap" itu, selain merasakan terus-menerus konsekuensi dari gagalnya distribusi kesejahteraan yang dijalankan sang kepala daerah.

Kegagalan itu berupa makin sulitnya hidup rakyat, terbatasnya akses terhadap pekerjaan, hingga ketimpangan ekonomi. Pada sisi bersamaan, kita melihat banyak elite daerah justru hidup berfoya-foya, memiliki harta fantastik dengan barisan kerajaan bisnis-politiknya.

Berdasarkan survei yang dirilis Internasional NGO Forum on Indonesiaan Development (INFID), Indeks Ketimpangan Sosial Indonesia pada 2018 berada di skor 6 meningkat sebesar 0,4 dibanding tahun 2017 (5,6). Dalam survei ini, warga memersepsi ada 6 ranah menjadi sumber ketimpangan, karena ketimpangan paling tinggi ada pada aspek penghasilan (72,6%), berikut aspek kesempatan mendapatkan pekerjaan (67,1%), aspek harta benda yang dimiliki (63,4%), dan kepemilikan tempat tinggal (61,8%). Minimnya indikator kesejahteraan tersebut memang berbanding terbalik dengan prosesi demokrasi pilkada langsung yang secara filosofis telah membuka ruang bagi aktualisasi kedaulatan politik rakyat untuk memilih langsung pemimpin yang dekat dan dipercayainya.

Maka itu, kita tak habis pikir kenapa dengan realitas hidup rakyat yang "jomplang" tersebut, muncul keinginan dari Menteri Keuangan mau menaikkan gaji kepala daerah demi mengerem laju hasrat korupsi mereka. "Alibi" ini dipastikan akan makin memperbesar kecenderungan korupsi para elite di daerah karena genetika-historis kekuasaan pada dasarnya tamak dan opiumistik.

Pemicu

Hasil riset Abdiweli M Ali dan Hodan S Isse (2003) berujudul "Determinants od Economic Corruption" menunjukkan faktor-faktor yang mengontribusikan korupsi di 10 negara, yakni 1) pendidikan, 2) rezim politik berkuasa, 3) bentuk pemerintahan, 4) etnisitas, 5) efektivitas yudisial, 6) tingkat kebebasan politik. Jadi secara signifikan, faktor gaji tidak terlalu berkorelasi dengan tingginya kasus rasuah. Ini diperkuat dengan pengalaman kasus Gayus, hakim M Akil Mochtar, atau sejumlah hakim di pengadilan tinggi bergaji Rp50 juta/bulan, tapi masih nekat korupsi.

Bagi Ali dan Isse, pendidikan yang tinggi akan makin membuka peluang seseorang memiliki resistansi kuat terhadap berbagai pelanggaran hukum. Di sini kepemilikan daya tahan etika dan moralitas menjadi faktor penting dalam memahami konsekuensi buruk dari korupsi. Selain itu, menurut mereka faktor rezim (sistem) politik juga menjadi faktor determinan berurat-akarnya praktik korupsi. Persis pada kelemahan aspek inilah kemudian korupsi di Indonesia begitu mudah direproduksi dari waktu ke waktu.

Mahalnya sistem pembiayaan politik dalam kandidat kepala daerah kerap menjadi pemicu lahirnya godaan korupsi. Menurut data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), ada empat sumber pengeluaran membuat biaya politik mahal, yakni biaya pencalonan kepala daerah, dana untuk kampanye, biaya konsultasi dan survei pemenangan, serta praktik jual beli suara. Untuk biaya konsultasi misalnya, menurut salah seorang konsultan politik, biaya survei level kabupaten/kota 400 responden antara Rp120-150 juta sekali survei, sedangkan untuk survei provinsi bisa mencapai Rp225-230 juta.

Semakin besar elektabilitas kandidat semakin rendah biaya konsultan, begitu pun sebaliknya. Sayangnya, karena sistem pengaderan di partai kita lemah, karbitan, non-meritokratis, para calon kepala daerah harus butuh "bahan bakar" mahal demi mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya demi mempermulus kemenangan politiknya di pilkada, tetapi dengan implikasi jual-beli sumber daya dan kebijakan setelah menjabat yang mengorbankan nasib serta masa depan rakyat.

Untuk jual-beli suara, kreativitas calon kepala daerah untuk "menaklukkan" pemilih jangan ditanya. Bagaimanapun uang masih menjadi magnet bagi pemilih, sebagaimana survei Indo Barometer pada Pilgub Banten 2017 karena 45,6% mengaku akan memilih calon yang memilih uang. Dulu ada namanya "serangan fajar", membagikan fulus menjelang pemungutan suara, kini bukan hanya dibagi di awal saja, tapi juga dibagi setelah pencoblosan lewat sistem "pascabayar".

Kalau sistem yang cacat tersebut tidak terus diperangi dan partai hanya sibuk mempromosikan calon pemimpin yang gila kuasa ketimbang bermental "pengurus", sulit bagi daerah melepaskan dirinya dari jerat korupsi. Sekalipun KPK bekerja siang-malam menangkap koruptor atau para kepala daerah diguyur gaji tinggi. Sistem di kepartaian (pendanaan parpol yang transparan dan akuntabel, rekrutmen dan kaderisasi terstruktur dan berjenjang, serta penegakan kode etik-moral) harus direformasi, diintegrasi dalam spirit penegakan hukum melawan korupsi termasuk pula di institusi birokrasi. Kita yakin, jika reformasi kepartaian tersebut dijalankan serius, berkesinambungan tanpa jeda, maka peluang melumpuhkan dan mematikan penyebaran korupsi di level elite (daerah) akan terbuka lebar.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0769 seconds (0.1#10.140)