Dana Parpol dari Negara
A
A
A
Yuniar Riza Hakiki Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII
ISU pendanaan partai politik (parpol) dari anggaran negara (APBN) kembali mengemuka. Wacana yang dikemukakan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada acara International Bussines Integrity Conference ini mendapat respons positif dari sejumlah aktor politik. Gagasan ini diperkuat lantaran tingginya biaya politik yang dibutuhkan parpol, sementara sumber pemasukan parpol relatif minim. Kondisi ini sering kali memicu sebagian besar kader parpol terpaksa melakukan tindakan koruptif demi mendanai kebutuhan parpolnya.
Bagi sebuah negara demokrasi, lazim apabila parpol menjadi instrumen utama yang menjembatani akses politik rakyat secara legal untuk menuju dan mendapatkan kendali atas suprastruktur politik negara. Dengan adanya parpol, jabatan-jabatan politik yang semula hanya menjadi previllage bagi kelompok sosial tertentu, namun menjadi bisa diakses dari, dan, oleh semua kalangan masyarakat tanpa melihat kelas dan stratifikasi sosial (Sigit Pamungkas: 2011).
Dilema Anggaran
Di Indonesia, parpol merupakan satu-satunya infrastruktur politik yang bisa menjadi peserta pemilu dan mengusulkan pasangan calon presiden/wakil presiden (UUD NRI 1945). Praktis, apabila dikatakan bahwa parpol merupakan pusat rekrutmen dan sirkulasi elite politik yang akan menentukan tujuan politik negara. Untuk itu, agar sistem kepartaian mampu menopang jalannya demokrasi dan stabilitas politik secara kokoh, maka pelembagaan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi partai menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan.
Sayangnya, dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, parpol sering terkendala anggaran. Awalnya, untuk menanggulangi permasalahan ini, parpol menghimpun sumbangan dana dari anggota namun karena jumlah anggota yang mampu menyumbang terbatas, kemudian parpol menerima dana sumbangan dari perseorangan nonanggota. Guna memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, parpol terus-menerus menerima sumbangan dari lembaga bisnis atau perusahaan. Celakanya, sumbangan-sumbangan dana itu justru mengancam kemandirian parpol dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Meski demikian, akankah mendanai parpol dari APBN bisa berdampak produktif dan tak rentan penyalahgunaan oleh parpol? Sebenarnya jika melihat negara-negara di Eropa Barat, sejak tahun 1970-an secara bertahap justru menerapkan dua kebijakan, pertama , membatasi sumbangan perseorangan dan perusahaan kepada parpol; kedua , memberi bantuan keuangan atau subsidi keuangan kepada parpol, baik untuk kegiatan operasional maupun untuk dana kampanye (Didik Supriyanto:2012). Hal ini untuk mencegah terjadinya disorientasi parpol dalam memperjuangkan kepentingan politik rakyat secara nasional.
Merespons wacana optimalisasi pendanaan parpol dari APBN, mestinya publik tak perlu terlampau cemas. Sebab anggaran yang tersalurkan pada parpol justru akan lebih mudah diawasi lembaga-lembaga negara pengawas sirkulasi keuangan, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk masyarakat secara mandiri, dapat melakukan pengawasan seiring dengan implementasi keterbukaan informasi publik (UU 14/2018). Sebab anggaran yang bersumber dari APBN merupakan objek pengawasan lembaga-lembaga tersebut dan sirkulasi keuangannya juga lebih mudah terkontrol.
Syarat Ketat
Hanya saja, penyaluran berikut penggunaan dananya perlu dibatasi ketat sesuai peraturan perundang-undangan. Sebaiknya pemerintah konsisten bahwa parpol yang hendak menerima anggaran dari APBN hanya parpol memiliki kursi di parlemen dengan penghitungan berdasar jumlah perolehan suara. Praktik sebelumnya, parpol juga harus mengajukan permohonan bantuan keuangan secara tertulis pada pemerintah disertai persyaratan administrasi, membuat rencana penggunaan dana, serta membuat laporan realisasi penerimaan. Bahkan, penggunaan bantuan dana parpol ini juga harus digunakan untuk menunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat parpol (PP 1/2018).
Ke depan, pemerintah juga perlu mengatur lebih tegas mengenai; pertama, pembatasan jenis belanja parpol untuk mencegah pengeluaran berlebih-lebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan partai. Kedua, menentukan bentuk-bentuk kegiatan parpol agar kegiatan partai terarah sebagaimana fungsinya. Ketiga, mengatur mekanisme pengelolaan pengeluaran partai politik yang transparan (terbuka) dan akuntabel sebagai pertanggungjawaban. Keempat, menentukan dan menetapkan sanksi tegas bagi parpol yang tidak mempertanggungjawabkan atau menyalahgunakan anggaran dari APBN, misalnya sanksi penghentian pendanaan hingga pembubaran.
ISU pendanaan partai politik (parpol) dari anggaran negara (APBN) kembali mengemuka. Wacana yang dikemukakan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada acara International Bussines Integrity Conference ini mendapat respons positif dari sejumlah aktor politik. Gagasan ini diperkuat lantaran tingginya biaya politik yang dibutuhkan parpol, sementara sumber pemasukan parpol relatif minim. Kondisi ini sering kali memicu sebagian besar kader parpol terpaksa melakukan tindakan koruptif demi mendanai kebutuhan parpolnya.
Bagi sebuah negara demokrasi, lazim apabila parpol menjadi instrumen utama yang menjembatani akses politik rakyat secara legal untuk menuju dan mendapatkan kendali atas suprastruktur politik negara. Dengan adanya parpol, jabatan-jabatan politik yang semula hanya menjadi previllage bagi kelompok sosial tertentu, namun menjadi bisa diakses dari, dan, oleh semua kalangan masyarakat tanpa melihat kelas dan stratifikasi sosial (Sigit Pamungkas: 2011).
Dilema Anggaran
Di Indonesia, parpol merupakan satu-satunya infrastruktur politik yang bisa menjadi peserta pemilu dan mengusulkan pasangan calon presiden/wakil presiden (UUD NRI 1945). Praktis, apabila dikatakan bahwa parpol merupakan pusat rekrutmen dan sirkulasi elite politik yang akan menentukan tujuan politik negara. Untuk itu, agar sistem kepartaian mampu menopang jalannya demokrasi dan stabilitas politik secara kokoh, maka pelembagaan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi partai menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan.
Sayangnya, dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, parpol sering terkendala anggaran. Awalnya, untuk menanggulangi permasalahan ini, parpol menghimpun sumbangan dana dari anggota namun karena jumlah anggota yang mampu menyumbang terbatas, kemudian parpol menerima dana sumbangan dari perseorangan nonanggota. Guna memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, parpol terus-menerus menerima sumbangan dari lembaga bisnis atau perusahaan. Celakanya, sumbangan-sumbangan dana itu justru mengancam kemandirian parpol dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Meski demikian, akankah mendanai parpol dari APBN bisa berdampak produktif dan tak rentan penyalahgunaan oleh parpol? Sebenarnya jika melihat negara-negara di Eropa Barat, sejak tahun 1970-an secara bertahap justru menerapkan dua kebijakan, pertama , membatasi sumbangan perseorangan dan perusahaan kepada parpol; kedua , memberi bantuan keuangan atau subsidi keuangan kepada parpol, baik untuk kegiatan operasional maupun untuk dana kampanye (Didik Supriyanto:2012). Hal ini untuk mencegah terjadinya disorientasi parpol dalam memperjuangkan kepentingan politik rakyat secara nasional.
Merespons wacana optimalisasi pendanaan parpol dari APBN, mestinya publik tak perlu terlampau cemas. Sebab anggaran yang tersalurkan pada parpol justru akan lebih mudah diawasi lembaga-lembaga negara pengawas sirkulasi keuangan, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk masyarakat secara mandiri, dapat melakukan pengawasan seiring dengan implementasi keterbukaan informasi publik (UU 14/2018). Sebab anggaran yang bersumber dari APBN merupakan objek pengawasan lembaga-lembaga tersebut dan sirkulasi keuangannya juga lebih mudah terkontrol.
Syarat Ketat
Hanya saja, penyaluran berikut penggunaan dananya perlu dibatasi ketat sesuai peraturan perundang-undangan. Sebaiknya pemerintah konsisten bahwa parpol yang hendak menerima anggaran dari APBN hanya parpol memiliki kursi di parlemen dengan penghitungan berdasar jumlah perolehan suara. Praktik sebelumnya, parpol juga harus mengajukan permohonan bantuan keuangan secara tertulis pada pemerintah disertai persyaratan administrasi, membuat rencana penggunaan dana, serta membuat laporan realisasi penerimaan. Bahkan, penggunaan bantuan dana parpol ini juga harus digunakan untuk menunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat parpol (PP 1/2018).
Ke depan, pemerintah juga perlu mengatur lebih tegas mengenai; pertama, pembatasan jenis belanja parpol untuk mencegah pengeluaran berlebih-lebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan partai. Kedua, menentukan bentuk-bentuk kegiatan parpol agar kegiatan partai terarah sebagaimana fungsinya. Ketiga, mengatur mekanisme pengelolaan pengeluaran partai politik yang transparan (terbuka) dan akuntabel sebagai pertanggungjawaban. Keempat, menentukan dan menetapkan sanksi tegas bagi parpol yang tidak mempertanggungjawabkan atau menyalahgunakan anggaran dari APBN, misalnya sanksi penghentian pendanaan hingga pembubaran.
(kri)