Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dinilai Belum Beri Efek Jera

Jum'at, 07 Desember 2018 - 05:42 WIB
Pencabutan Hak Politik...
Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dinilai Belum Beri Efek Jera
A A A
JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kembali memutuskan pencabutan hak politik terhadap terpidana perkara korupsi dari unsur penyelenggara negara. Teranyar, majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mencabut hak politik Gubernur Jambi nonaktif, Zumi Zola Zulkifli, selama lima tahun setelah terdakwa selesai menjalani hukuman penjara.

Menanggapi putusan hakim ini, Ketua ‎Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM)‎ Oce ‎Madril menilai, tuntutan dan vonis pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terhadap para terdakwa ‎penyelenggara negara, baik kepala daerah, anggota DPR, maupun anggota DPRD, merupakan keniscayaan.

Pada satu sisi, Oce mengapresiasi KPK yang mengajukan tuntutan dan majelis hakim yang menjatuhkan pidana tambahan untuk Zumi Zola Zulkifli. Hanya di sisi lain, kata Oce, publik sebenarnya berharap putusan pencabutan hak politik lebih tegas. Alasannya, jika pencabutan hak politik hanya dua atau tiga atau empat atau lima tahun, boleh jadi akan tidak terlalu berarti. Bahkan makna dari esensi melindungi masyarakat justru tidak terlalu terasa. (Baca juga: Zumi Zola Terima Divonis Enam Tahun Penjara dan Denda Rp500 Juta)

"Seharusnya pencabutan hak politik itu bukan sekian tahun, tapi mereka dilarang ikut pemilu atau pilkada selama dua hingga tiga kali. Karena esensi dari hak politik itu adalah terwujud dari ikut pemilu nasional atau pemilu kepala daerah. Jadi kalau mereka (terdakwa yang kemudian menjadi terpidana) dilarang mengikuti dua atau tiga kali, itu menurut saya akan jauh lebih baik," tegas Oce saat dihubungi KORAN SINDO, Kamis (6/12/2018) malam.

Karena itu, dia menyarankan agar KPK melalui JPU dalam melakukan tuntutan, dan majelis hakim yang menjatuhkan pidana, perlu merubah model pencabutan hak politik bagi terpidana perkara korupsi. Bukan hanya hitungan berapa tahun tapi dua hingga tiga kali pemilu. Dengan begitu, maka para politikus baik sebagai sebagai politikus semata maupun merangkap sebagai kepala daerah, DPR, dan DPRD, yang akan atau berkeinginan melakukan korupsi, pasti berpikir ulang.

"Mereka yang sudah terbukti melakukan korupsi juga akan bentul-betul merasakan dampak secara politik. Kalau hanya lima tahun pencabutannya, kan itu hanya satu kali pemilu. Saya kira satu kali pemilu juga enggak signifikan," pungkasnya. (Baca juga: Pengamat: Biarkan Pengadilan yang Cabut Hak Politik Eks Koruptor)

Untuk diketahui, sebelum Zumi Zola, Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut hak politik mantan Ketua DPR Setya Novanto selama lima tahun. (Baca juga: Hakim Tipikor Juga Cabut Hak Politik Setya Novanto)

Selain itu, Pengadilan Tipikor Jakarta telah mencabut hak politik Bupati Bener Meriah nonaktif, Ahmadi, selama ‎dua tahun. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta juga memvonis Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I dan anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Golkar, dengan pidana tambahan pencabutan hak politik selama lima tahun.‎

Lalu, mencabut hak politik Bupati Lampung Tengah non aktif, Mustafa, selama dua tahun.‎ Di pengadilan yang sama, hakim juga mencabut hak politik Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng) dari Fraksi PDIP sekaligus Ketua DPC PDIP Lamteng J Natalis Sinaga, selama dua tahun.

Kemudian memvonis anggota Badan Anggaran (Banggar) dari Fraksi PDIP Rusliyanto dengan pencabutan hak politik selama dua tahun. Selanjutnya, Wali Kota Kendari 2012-2017 sekaligus calon Gubernur Sulawesi Tenggara, dicabut hak politiknya selama dua tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK sangat menghormati putusan hakim terkait pencabutan hak politik terpidana korupsi. Apalagi selama beberapa tahun terakhir KPK memang selalu menerapkan tuntutan pencabutan hak politik bagi para terdakwa korupsi.

"Pencabutan hak politik penting, bahkan KPK berharap ini bisa menjadi standar di seluruh kasus korupsi yang melibatkan aktor politik. Karena hal itu berangkat dari pemahaman ketika yang dipilih oleh rakyat melakukan korupsi, itu sama saja artinya menghianati kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat tersebut," tegas Febri.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0024 seconds (0.1#10.140)