Krisis Kepemimpinan Macron
A
A
A
Rakhmat Hidayat
Pengajar Prodi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & alumni Université Lumiere Lyon 2, Prancis
PARIS menjadi sorotan dunia internasional pada beberapa minggu terakhir. Tiga demo yang berakhir rusuh terjadi di jantung kota Paris pada 17 dan 24 November serta 1 Desember. Selama tiga demonstrasi tersebut, ribuan warga yang tergabung dalam rompi kuning (gilets jaunes) melakukan protes dan demonstrasi di dekat dengan Istana Presiden Champ-Elysee. Protes di Paris berlangsung rusuh dan membuat suasana mencekam. Beberapa toko, butik dan restoran di sekitar kawasan wisata Ellysee hancur berantakan.
Pada saat demo 24 November dihadiri sekitar 8.000 rompi kuning yang berdemonstrasi sementara demonstrasi 1 Desember, kondisi Paris lebih mencekam dibandingkan dengan demo sebelumnya. Sekitar 130 orang terluka dan hampir 400 orang ditangkap pihak kepolisian karena dianggap melakukan kerusuhan. Beberapa media menyebut kerusuhan ini sebagai “zona perang” (zone de guerre).Demonstrasi yang dilakukan kekerasan dan perusakan toko-toko dan butik di kawasan Champ Ellysee lebih banyak disertai dengan aksi vandalisme yang dipusatkan di depan pusat wisata Arc de Triomphe. Kedua demonstrasi terakhir dianggap besar dalam beberapa tahun terakhir di Paris dan menyebar di kota-kota lainnya seperti Lyon, Marseille, Lille, Bourdeaux, Toulouse dan kota-kota lainnya. Para demonstran menyampaikan tuntutan yang sama yaitu “Macron demission” atau Macron mundur.
Pada saat kerusuhan berlangsung di Paris awal Desember, Macron yang menjadi sasaran tujuan sedang berada di Argentina guna menghadiri KTT G-20. Saking mencekamnya, Macron harus memberikan pernyataan khususnya dalam acara tersebut. Macron kembali menegaskan mengecam perilaku kekerasan yang terjadi dalam kerusuhan terakhir. Dia menyebut kondisi itu sebagai chaos.Pada Minggu (2/12) setelah kepulangan dari Argentina, Macron langsung mendatangi tempat berlangsungnya kerusuhan sambil mengecek kerusakan-kerusakan yang dialami toko-toko dan memberikan semangat kepada kepolisian dan petugas yang sudah mengamankan selama demo berlangsung.
Macron pada Senin (3/12) melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa petinggi partai politik untuk membicarakan krisis yang berlangsung. Partai yang diundang adalah Partai Sosialis, Partai Republik dan termasuk Marine Le Pen diundang dalam pertemuan tersebut selain perwakilan rompi kuning.Kalangan oposisi sendiri yang diwakili Jean-Luc Melenchon dan Marine Le Pen mengusulkan antisipasi pemilu sebagai jalan keluar dari krisis yang berlangsung. Pada kondisi ini sebenarnya menunjukkan bahwa Macron berada pada posisi yang krisis dan terancam mengalami delegitimasi publik dari berbagai kelompok.
Gerakan protes rompi kuning di Paris adalah puncak dari amarah dan kekecewaan warga terhadap kebijakan Macron. Dalam beberapa hari itu, saya mengamati dengan intens pergerakan rompi kuning tersebut dari beberapa media streaming Prancis. Stasiun BFM TV adalah media yang gencar melaporkan demonstrasi tersebut. Seminggu sebelumnya, para pekerja yang tergabung dengan rompi kuning melakukan aksi blokade di berbagai daerah sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Macron yang menaikkan harga BBM.Mereka juga menuntut turunnya Macron dari kursi Presiden Prancis karena dianggap gagal mengelola ekonomi di Prancis. Rompi kuning adalah identitas dan simbolik yang langsung menjadi fenomenal di masyarakat Prancis saat ini. Awalnya adalah para supir yang paling merasakan dampak kenaikan harga BBM. Dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari, para supir tersebut diwajibkan membawa rompi kuning yang wajib tersedia di kendaraan/mobilnya. Tak pelak, gerakan rompi kuning kemudian menjadi simbol perlawanan dari masyarakat kelas menengah terhadap kebijakan Macron.
Transisi Ekologis
Macron saat ini sedang gencar melakukan kampanye perubahan iklim bersama beberapa pemimpin dunia terutama Eropa. Salah satunya adalah apa yang disebut inisiatif penelitian iklim global. Slogan yang diusungnya adalah “Make Our Planet Great Again’’, mirip dengan slogan kampanye Donald Trump. Program ini adalah lanjutan Macron untuk program Kesepakatan Perubahan Iklim Paris pada 2015.Kebijakan kenaikan BBM diduga adalah skenario dari lanskap kebijakan Macron untuk mengalihkan warga menggunakan transportasi publik disertai dengan insentif bagi warga untuk menggunakan mobil listrik. Inilah yang kemudian diprotes karena ternyata di lapangan hal tersebut kontraproduktif, karena bisa menurunkan daya beli masyarakat. Isu kenaikan BBM bukan satu-satunya faktor yang membuat gerakan ini fenomenal.Isu BBM hanya pintu masuk dari berbagai masalah lainnya seperti pajak maupun biaya hidup yang semakin meningkat. Macron menyebut ini sebagai transisi ekologis dan sosial yang menjadi kebijakan utama kabinetnya. Kebijakan ini akan diterapkan selama tiga bulan ke depan sebagai respons terhadap tuntutan gerakan rompi kuning. Dia menyebut bahwa kenaikan harga BBM dan mengalihkan ke transportasi publik menjadi pertanda dari yang disebutnya sebagai alarm lingkungan.
Krisis Kabinet Macron
Macron dihadapkan pada beberapa posisi. Pertama, dia dihadapkan pada koalisi gerakan rompi kuning yang menyebar di berbagai daerah. Kedua, pemimpin-pemimpin partai politik oposisi memiliki titik temu dengan gerakan rompi kuning. Ketiga,masyarakat umum yang memiliki simpatik kepada gerakan rompi kuning. Sebelum demonstrasi 1 Desember, sebuah survei menunjukkan dukungan mayoritas publik terhadap gerakan rompi kuning karena dianggap menyuarakan aspirasi kepentingan publik ditengah tekanan ekonomi.
Macron baru menjabat presiden selama 18 bulan. Dia terpilih dalam pemilu presiden (pilpres) Minggu, 7 Mei 2017. Kemenangan Macron pada saat itu membuat pemilu lebih menarik. Pertama, untuk kesekian kalinya kandidat Marine Le Pen mencalonkan diri dan lolos hingga putaran kedua yang bersaing dengan Macron. Le Pen dicalonkan oleh Partai National Front.Posisi Le Pen dengan tawaran program-programnya menjadi ancaman dan kekhawatiran bagi publik Prancis khususnya dan Eropa umumnya. Le Pen dikenal sebagai politisi sayap kanan yang anti imigran dan membawa program andalannya yaitu membawa Prancis keluar dari Uni Eropa. Yang lebih mengkhawatirkan adalah posisi Le Pen hingga putaran kedua juga terpengaruh oleh kemenangan Donald Trump pada 2016. Fenomena ini kemudian kita kenal sebagai Trump Effect. Kekhawatiran yang muncul adalah kemenangan Le Pen yang mewakili kelompok konservatisme kanan yang anti imigran.
Kedua, saat itu kehadiran sosok Macron yang masih berusia 39 tahun mewakili politisi muda non ideologis yang membuat publik Prancis memiliki pilihan alternatif. Macron menegasikan politisi-politisi senior yang dianggap mapan dan lebih konservatif seperti Francois Fillon, Jean-Luc Melenchon atau Benoit Hamon. Hal ini menarik karena dalam peta politik Prancis, kehadiran Macron mendekonstruksi kemapanan politik yang dianggap tidak membawa angin perubahan. Kemenangan Macron mewakili generasi baru politisi Prancis. Pada level ini, apa yang dilakukan Macron merefleksikan apa yang disebut politik degerontokrasi politik.
Munculnya gerakan rompi kuning adalah ujian bagi Macron mencari jalan terbaik. Macron beberapa kali mengeluarkan pernyataannya untuk menolak kekerasan yang dilakukan dalam aksi-aksi protes warga. Akar sosial dari gerakan rompi kuning adalah masalah ekonomi yaitu tingginya angka pengangguran. Pada kepemimpinan Francois Hollande, tercatat Prancis mengalami angka pengangguran terburuk selama 16 tahun terakhir. Jumlah pengangguran mencapai 10% dari total angkatan kerja.Sejak 2016, Prancis sudah mengalami resesi dan terus terasa hingga akhir periode Hollande. Meski demikian, angka pengangguran ini menurut kalangan ekonom masih di bawah tingkat pengangguran rata-rata negara pengguna mata uang Euro sebesar 11,4%. Dalam konteks ekonomi Uni Eropa, Prancis adalah negara terbesar kedua di antara anggota Uni Eropa. Macron diuji kemampuannya dalam bidang ekonomi-industri untuk mengurangi angka pengangguran tersebut.
Dalam minggu ini, Macron dan kabinetnya terus berkonsolidasi dalam mematangkan kebijakan kenaikan harga BBM tersebut. Di sisi lain, gerakan rompi kuning juga terus bergerak di berbagai daerah. Ada dua kemungkinan, (1) eskalasi gerakan rompi kuning akan semakin meningkat karena mereka terus berkonsolidasi di berbagai daerah, (2) eskalasinya akan reda karena gerakan ini memang cair, non struktur dan tidak terlembagakan. Mereka akan reda karena sangat mungkin juga mereka menerima resistensi dari kelompok masyarakat lainnya.
Kredibilitas Macron dan kabinetnya akan menjadi pertaruhan. Hal tersebut terlihat dengan aparat keamanan yang sudah melakukan represif seiring dengan kekerasan yang marak dalam tiga demonstrasi di Paris. Tak ada pilihan lain bagi Macron untuk menghadapi gerakan secara elegan dan cerdas sebagai akumulasi ekspresi dari warganya.
Pengajar Prodi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & alumni Université Lumiere Lyon 2, Prancis
PARIS menjadi sorotan dunia internasional pada beberapa minggu terakhir. Tiga demo yang berakhir rusuh terjadi di jantung kota Paris pada 17 dan 24 November serta 1 Desember. Selama tiga demonstrasi tersebut, ribuan warga yang tergabung dalam rompi kuning (gilets jaunes) melakukan protes dan demonstrasi di dekat dengan Istana Presiden Champ-Elysee. Protes di Paris berlangsung rusuh dan membuat suasana mencekam. Beberapa toko, butik dan restoran di sekitar kawasan wisata Ellysee hancur berantakan.
Pada saat demo 24 November dihadiri sekitar 8.000 rompi kuning yang berdemonstrasi sementara demonstrasi 1 Desember, kondisi Paris lebih mencekam dibandingkan dengan demo sebelumnya. Sekitar 130 orang terluka dan hampir 400 orang ditangkap pihak kepolisian karena dianggap melakukan kerusuhan. Beberapa media menyebut kerusuhan ini sebagai “zona perang” (zone de guerre).Demonstrasi yang dilakukan kekerasan dan perusakan toko-toko dan butik di kawasan Champ Ellysee lebih banyak disertai dengan aksi vandalisme yang dipusatkan di depan pusat wisata Arc de Triomphe. Kedua demonstrasi terakhir dianggap besar dalam beberapa tahun terakhir di Paris dan menyebar di kota-kota lainnya seperti Lyon, Marseille, Lille, Bourdeaux, Toulouse dan kota-kota lainnya. Para demonstran menyampaikan tuntutan yang sama yaitu “Macron demission” atau Macron mundur.
Pada saat kerusuhan berlangsung di Paris awal Desember, Macron yang menjadi sasaran tujuan sedang berada di Argentina guna menghadiri KTT G-20. Saking mencekamnya, Macron harus memberikan pernyataan khususnya dalam acara tersebut. Macron kembali menegaskan mengecam perilaku kekerasan yang terjadi dalam kerusuhan terakhir. Dia menyebut kondisi itu sebagai chaos.Pada Minggu (2/12) setelah kepulangan dari Argentina, Macron langsung mendatangi tempat berlangsungnya kerusuhan sambil mengecek kerusakan-kerusakan yang dialami toko-toko dan memberikan semangat kepada kepolisian dan petugas yang sudah mengamankan selama demo berlangsung.
Macron pada Senin (3/12) melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa petinggi partai politik untuk membicarakan krisis yang berlangsung. Partai yang diundang adalah Partai Sosialis, Partai Republik dan termasuk Marine Le Pen diundang dalam pertemuan tersebut selain perwakilan rompi kuning.Kalangan oposisi sendiri yang diwakili Jean-Luc Melenchon dan Marine Le Pen mengusulkan antisipasi pemilu sebagai jalan keluar dari krisis yang berlangsung. Pada kondisi ini sebenarnya menunjukkan bahwa Macron berada pada posisi yang krisis dan terancam mengalami delegitimasi publik dari berbagai kelompok.
Gerakan protes rompi kuning di Paris adalah puncak dari amarah dan kekecewaan warga terhadap kebijakan Macron. Dalam beberapa hari itu, saya mengamati dengan intens pergerakan rompi kuning tersebut dari beberapa media streaming Prancis. Stasiun BFM TV adalah media yang gencar melaporkan demonstrasi tersebut. Seminggu sebelumnya, para pekerja yang tergabung dengan rompi kuning melakukan aksi blokade di berbagai daerah sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Macron yang menaikkan harga BBM.Mereka juga menuntut turunnya Macron dari kursi Presiden Prancis karena dianggap gagal mengelola ekonomi di Prancis. Rompi kuning adalah identitas dan simbolik yang langsung menjadi fenomenal di masyarakat Prancis saat ini. Awalnya adalah para supir yang paling merasakan dampak kenaikan harga BBM. Dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari, para supir tersebut diwajibkan membawa rompi kuning yang wajib tersedia di kendaraan/mobilnya. Tak pelak, gerakan rompi kuning kemudian menjadi simbol perlawanan dari masyarakat kelas menengah terhadap kebijakan Macron.
Transisi Ekologis
Macron saat ini sedang gencar melakukan kampanye perubahan iklim bersama beberapa pemimpin dunia terutama Eropa. Salah satunya adalah apa yang disebut inisiatif penelitian iklim global. Slogan yang diusungnya adalah “Make Our Planet Great Again’’, mirip dengan slogan kampanye Donald Trump. Program ini adalah lanjutan Macron untuk program Kesepakatan Perubahan Iklim Paris pada 2015.Kebijakan kenaikan BBM diduga adalah skenario dari lanskap kebijakan Macron untuk mengalihkan warga menggunakan transportasi publik disertai dengan insentif bagi warga untuk menggunakan mobil listrik. Inilah yang kemudian diprotes karena ternyata di lapangan hal tersebut kontraproduktif, karena bisa menurunkan daya beli masyarakat. Isu kenaikan BBM bukan satu-satunya faktor yang membuat gerakan ini fenomenal.Isu BBM hanya pintu masuk dari berbagai masalah lainnya seperti pajak maupun biaya hidup yang semakin meningkat. Macron menyebut ini sebagai transisi ekologis dan sosial yang menjadi kebijakan utama kabinetnya. Kebijakan ini akan diterapkan selama tiga bulan ke depan sebagai respons terhadap tuntutan gerakan rompi kuning. Dia menyebut bahwa kenaikan harga BBM dan mengalihkan ke transportasi publik menjadi pertanda dari yang disebutnya sebagai alarm lingkungan.
Krisis Kabinet Macron
Macron dihadapkan pada beberapa posisi. Pertama, dia dihadapkan pada koalisi gerakan rompi kuning yang menyebar di berbagai daerah. Kedua, pemimpin-pemimpin partai politik oposisi memiliki titik temu dengan gerakan rompi kuning. Ketiga,masyarakat umum yang memiliki simpatik kepada gerakan rompi kuning. Sebelum demonstrasi 1 Desember, sebuah survei menunjukkan dukungan mayoritas publik terhadap gerakan rompi kuning karena dianggap menyuarakan aspirasi kepentingan publik ditengah tekanan ekonomi.
Macron baru menjabat presiden selama 18 bulan. Dia terpilih dalam pemilu presiden (pilpres) Minggu, 7 Mei 2017. Kemenangan Macron pada saat itu membuat pemilu lebih menarik. Pertama, untuk kesekian kalinya kandidat Marine Le Pen mencalonkan diri dan lolos hingga putaran kedua yang bersaing dengan Macron. Le Pen dicalonkan oleh Partai National Front.Posisi Le Pen dengan tawaran program-programnya menjadi ancaman dan kekhawatiran bagi publik Prancis khususnya dan Eropa umumnya. Le Pen dikenal sebagai politisi sayap kanan yang anti imigran dan membawa program andalannya yaitu membawa Prancis keluar dari Uni Eropa. Yang lebih mengkhawatirkan adalah posisi Le Pen hingga putaran kedua juga terpengaruh oleh kemenangan Donald Trump pada 2016. Fenomena ini kemudian kita kenal sebagai Trump Effect. Kekhawatiran yang muncul adalah kemenangan Le Pen yang mewakili kelompok konservatisme kanan yang anti imigran.
Kedua, saat itu kehadiran sosok Macron yang masih berusia 39 tahun mewakili politisi muda non ideologis yang membuat publik Prancis memiliki pilihan alternatif. Macron menegasikan politisi-politisi senior yang dianggap mapan dan lebih konservatif seperti Francois Fillon, Jean-Luc Melenchon atau Benoit Hamon. Hal ini menarik karena dalam peta politik Prancis, kehadiran Macron mendekonstruksi kemapanan politik yang dianggap tidak membawa angin perubahan. Kemenangan Macron mewakili generasi baru politisi Prancis. Pada level ini, apa yang dilakukan Macron merefleksikan apa yang disebut politik degerontokrasi politik.
Munculnya gerakan rompi kuning adalah ujian bagi Macron mencari jalan terbaik. Macron beberapa kali mengeluarkan pernyataannya untuk menolak kekerasan yang dilakukan dalam aksi-aksi protes warga. Akar sosial dari gerakan rompi kuning adalah masalah ekonomi yaitu tingginya angka pengangguran. Pada kepemimpinan Francois Hollande, tercatat Prancis mengalami angka pengangguran terburuk selama 16 tahun terakhir. Jumlah pengangguran mencapai 10% dari total angkatan kerja.Sejak 2016, Prancis sudah mengalami resesi dan terus terasa hingga akhir periode Hollande. Meski demikian, angka pengangguran ini menurut kalangan ekonom masih di bawah tingkat pengangguran rata-rata negara pengguna mata uang Euro sebesar 11,4%. Dalam konteks ekonomi Uni Eropa, Prancis adalah negara terbesar kedua di antara anggota Uni Eropa. Macron diuji kemampuannya dalam bidang ekonomi-industri untuk mengurangi angka pengangguran tersebut.
Dalam minggu ini, Macron dan kabinetnya terus berkonsolidasi dalam mematangkan kebijakan kenaikan harga BBM tersebut. Di sisi lain, gerakan rompi kuning juga terus bergerak di berbagai daerah. Ada dua kemungkinan, (1) eskalasi gerakan rompi kuning akan semakin meningkat karena mereka terus berkonsolidasi di berbagai daerah, (2) eskalasinya akan reda karena gerakan ini memang cair, non struktur dan tidak terlembagakan. Mereka akan reda karena sangat mungkin juga mereka menerima resistensi dari kelompok masyarakat lainnya.
Kredibilitas Macron dan kabinetnya akan menjadi pertaruhan. Hal tersebut terlihat dengan aparat keamanan yang sudah melakukan represif seiring dengan kekerasan yang marak dalam tiga demonstrasi di Paris. Tak ada pilihan lain bagi Macron untuk menghadapi gerakan secara elegan dan cerdas sebagai akumulasi ekspresi dari warganya.
(whb)